Pura Panti Timbrah : Menyelami Tradisi Dewa Mesraman dan Keberkahan Spiritual di Desa Paksebali
Pura Panti timbrah yang terletak di Banjar Timbrah, Desa Paksebali, Klungkung ini merupakan sebuah pura yang menjadi tempat dilaksanakannya tradisi Dewa Masraman, sebuah tradisi unik yang mencerminkan kearifan lokal Bali, khususnya dalam menjaga harmoni antara manusia, leluhur, dan lingkungan serta menggambarkan rasa syukur dan penghormatan masyarakat kepada para leluhur.

Pura panti timbrah merupakah sebuah pura yang terletak di Banjar Timbrah, Desa Paksebali, Kecamatan Dawan, Klungkung. Selain sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat setempat, pura ini juga menyimpan nilai spiritual yang sangat kental. Keberadaan pura ini memiliki makna yang mendalam sebagai tempat suci yang dihormati oleh masyarakat Banjar Timbrah sebagai asal usul dan warisan dari nenek moyang yang dahulunya berasal dari Desa Timbrah Karangasem.
Pura Panti Timbrah, berperan penting sebagai pusat pelaksanaan tradisi Dewa Masraman, sebuah ritual sakral yang dilaksanakan setiap Hari Raya Kuningan. Selain sebagai tempat pemujaan, dan sumber spiritual, pura ini juga menjadi lokasi utama dalam menjalankan tradisi Dewa Masraman.
Pura Panti Timbrah (Sumber Foto : Koleksi Pribadi)
Tradisi Dewa Masraman merupakan sebuah tradisi unik yang merupakan bagian integral dari budaya masyarakat Banjar Timbrah. Dengan serangkaian prosesi yang mendalam, Dewa Masraman menggambarkan rasa syukur dan penghormatan masyarakat kepada para leluhur yang telah memberikan bimbingan dan perlindungan kepada masyarakat.
Tradisi Dewa Masraman, yang telah diwariskan dari generasi ke generasi oleh masyarakat Banjar Timbrah, Desa Paksebali, Klungkung, diadakan setiap enam bulan sekali pada Hari Raya Kuningan di Pura Panti Timbrah, upacara ini bukan hanya sekadar ritual keagamaan, melainkan juga sebuah refleksi hubungan harmonis antara manusia, leluhur, dan alam yang terbingkai dalam konsep Tri Hita Karana.
Sejarah Dewa Masraman
Tradisi Dewa Masraman memiliki akar sejarah yang kuat, bermula dari kedatangan para pendatang dari Desa Timbrah, Karangasem, ke wilayah Paksebali. Kejadian ini berkaitan dengan peristiwa perang antara Kerajaan Karangasem dan Klungkung pada tahun 1750. Setelah kekalahan, para pendatang dari Timbrah yang merupakan keturunan wangsa, trah, dan soroh Pasek Bugbug menyatakan kesetiaannya kepada Ida Dewa Agung Raja Klungkung. Raja Karungasem memberikan mereka tempat untuk menetap di wilayah Klungkung, dan untuk menghormati asal-usul mereka, tempat tersebut dinamakan Banjar Timbrah.
Berdasarkan pada tradisi lisan, Tradisi Dewa Masraman diambil dari tradisi yang ada di Desa Panti Timbrah, Karangasem, dan tetap dilaksanakan oleh generasi penerus di Banjar Timbrah. Walaupun kini berada di wilayah Klungkung, warisan budaya dari Karangasem ini masih dilestarikan dan menjadi simbol identitas masyarakat setempat.
Tradisi Dewa Masraman (Sumber Foto : Koleksi Pribadi)
Ritual yang Sarat Makna: Dewa Masraman
Secara etimologis, kata "Dewa Masraman" berasal dari kata "mesra" yang berarti bersenang-senang, bersenda gurau, atau bermesraan. Dalam konteks upacara, Dewa Masraman menggambarkan pertemuan para Dewa yang sedang bersenda gurau dan merayakan kebersamaan mereka melalui gerakan tarian yang ditampilkan oleh masyarakat yang terlibat dalam upacara. Mereka mengangkat tandu atau jempana sebagai singgasana tempat para Dewa distanakan.
Tradisi ini digelar setiap 210 hari sekali, tepatnya pada Hari Raya Kuningan (Saniscara Kliwon Kuningan), yang berpusat di Pura Panti Timbrah sebagai wujud bakti kepada leluhur. Upacara ini merupakan bentuk penghormatan kepada leluhur dan para Dewa yang dipuja, seperti Ida Bhatara Hyang Ratu Gumang, Ida Bhatara Hyang di Batur, Ida Bhatara Ratu Kelod Kangin, dan lain-lain. Tradisi ini dipercaya membawa berkah, perlindungan, hasil panen melimpah, dan menjauhkan masyarakat dari penyakit dan kekuatan negatif.
Tradisi Dewa Masraman (Sumber Foto : Koleksi Pribadi)
Uniknya, prosesi ini kerap disalahartikan sebagai "Dewa Mepalu" atau "Dewa Bertengkar" oleh masyarakat awam. Hal ini disebabkan oleh tampilan tandu-tandu Dewa yang tampak seperti beradu satu sama lain, diiringi teriakan-teriakan khas yang menyerupai suasana pertempuran. Namun, bagi warga Banjar Timbrah, prosesi tersebut adalah ngambeng, sebuah simbol pertemuan para Dewa yang merayakan kebersamaan setelah sekian lama tidak bertemu. Salah satu ciri khas dari ritual ini adalah keterlibatan tujuh Dewa yang disimbolkan melalui tujuh joli.
Rangkaian Tradisi Dewa Masraman
Prosesi Dewa Mesraman berlangsung selama dua hari, di mana pada hari pertama, warga berkumpul di Pura Panti Timbrah untuk mempersiapkan sarana upacara seperti penjor. Penjor, yang dihias dengan simbol burung merak dari daun lontar, ditempatkan di madya mandala sebagai lambang keseimbangan purusha dan pradhana, dengan burung merak sebagai simbol manah (pikiran) yang tulus dan ikhlas dalam menjalankan upacara.
Pada hari kedua, prosesi dimulai dengan atur piuning atau permohonan izin secara niskala di gedong tempat pratima disimpan. Pratima-pratima ini kemudian ditempatkan di jempana atau joli, sebuah tandu yang dihias, dan diusung ke madya mandala Pura Panti Timbrah. Setelah itu, tradisi megibung dilaksanakan, di mana anak-anak makan bersama sebagai simbol kebersamaan, dengan makanan berupa nasi, lawar, dan sate.
Tradisi Dewa Masraman (Sumber Foto : Koleksi Pribadi)
Setelah megibung, dilakukan prosesi mesucian, yaitu pembersihan rohani dan jasmani dengan membawa jempana ke Tukad Unda untuk disucikan. Prosesi ini bertujuan untuk menyucikan jempana sebelum diarak kembali ke pura. Ketika kembali ke pura, jempana disambut dengan tarian rejang dewa dan tari baris, yang membawa keris sebagai simbol perlindungan.
Puncak dari tradisi ini adalah arak-arakan enam jempana yang saling beradu di halaman pura. Peristiwa ini sering disalahartikan sebagai perang, tetapi sebenarnya simbol dari kegembiraan para Dewa. Hanya jempana Ida Bhatara Ratu Lingsir, yang dituakan, tidak ikut beradu dan hanya mengawasi prosesi karena dianggap lebih mulia dan tetap berada di posisi semula untuk menyaksikan jalannya upacara. Setelah selesai, jempana-jempana ini ditempatkan di utama mandala pura, dan warga melanjutkan dengan sembahyang untuk memohon berkah.
Sebagai pusat dari tradisi dewa masraman, Pura Panti Timbrah memperkuat identitas dan ikatan spiritual warga dengan leluhur, melestarikan budaya yang diwariskan sejak masa nenek moyang mereka di Desa Timbrah, Karangasem. Dengan berlangsungnya tradisi Dewa Masrama di pura ini, masyarakat Banjar Timbrah tidak hanya melaksanakan ritual keagamaan, tetapi juga menjaga keseimbangan spiritual sesuai dengan prinsip Tri Hita Karana, yang menghubungkan manusia, alam, dan Sang Pencipta.