Menilik Pura Hyang Tiba Batuan : Situs Pemujaan Warisan Sejarah Bali Kuno
Pura Hyang Tiba, Permata Sejarah di Gianyar, Bali, menawarkan suasana sakral dan tenang. Dengan koleksi arca-arca kuno, beji suci, dan warisan budaya yang kaya sejak abad ke-10, Pura Hyang Tiba menjadi destinasi menarik bagi pengunjung yang ingin menjelajahi kekayaan sejarah dan budaya Bali.
Pura Hyang Tiba merupakan salah satu situs suci yang terletak di Desa Sakah, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali. Pura ini memiliki kedekatan geografis dengan Pura Canggi dan Pura Puseh Batuan, yang semuanya merupakan bagian integral dari kekayaan budaya desa tersebut. Keberadaan Pura Hyang Tiba dianggap sebagai saksi bisu perjalanan panjang sejarah peradaban Bali, dengan jejak peninggalan yang masih terjaga hingga kini. Beberapa catatan sejarah menyebutkan bahwa Pura Hyang Tiba pertama kali dibangun pada tahun 829 Saka atau sekitar 907 Masehi, pada masa pemerintahan Sri Haji Dharmawangsapangkaja. Informasi ini didapatkan dari naskah Rontal Prakempa milik I Ketut Rinda serta sejumlah prasasti kuno. Namun, sumber lain seperti Prasasti Serai AII yang dikeluarkan oleh Raja Udayana pada tahun 915 Saka atau 993 Masehi menyebutkan bahwa pura ini didirikan pada abad ke-10. Perbedaan catatan ini memperkaya sejarah pura yang menggambarkan dinamika perkembangan kerajaan Bali kala itu.
Arca Sapi pada Pura Hyang Tiba (Sumber: Koleksi Pribadi)
Salah satu penanda arsitektural yang menonjol di Pura Hyang Tiba adalah sepasang arca Dwarapala yang terletak di depan gapura kuno. Arca ini berbentuk dua ekor gajah yang berdiri di atas hiasan candrasangkala, sebuah simbol penanda tahun dalam tradisi Bali, yang mengukir angka 1258 Saka atau 1336 Masehi. Arca Dwarapala sendiri merupakan penjaga gerbang dalam mitologi Hindu, yang sering digambarkan dalam bentuk makhluk raksasa atau hewan yang dipercaya memiliki kekuatan magis untuk melindungi tempat suci dari pengaruh buruk. Dalam konteks Pura Hyang Tiba, arca Dwarapala ini memperlihatkan peran pentingnya sebagai penjaga spiritual pura, menambah nilai sakral dan mistis yang melingkupi situs ini. Selain arca gajah, terdapat pula sepasang arca sapi yang menghiasi kompleks pura. Arca sapi dalam tradisi Hindu Bali memiliki hubungan erat dengan Dewa Siwa, di mana sapi Nandi sering kali digambarkan sebagai wahana (kendaraan) Dewa Siwa. Kehadiran arca-arca ini memperkaya makna religius dari Pura Hyang Tiba, mencerminkan hubungan yang mendalam antara spiritualitas dan seni ukir tradisional Bali.
Bagian Tengah Pura Hyang Tiba (Sumber : Koleksi Pribadi)
Bagian tengah Pura Hyang Tiba merupakan area yang penting dan penuh makna, karena di sinilah berbagai bangunan suci berdiri untuk keperluan ritual keagamaan. Halaman tengah ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu bagian utara dan bagian selatan, yang dipisahkan oleh Candi Bentar. Candi Bentar ini tidak hanya berfungsi sebagai pembatas, tetapi juga memiliki tangga yang dihiasi dengan ukiran naga, simbol kekuatan dan pelindung dalam kepercayaan Hindu Bali. Di bagian utara halaman tengah, terdapat sejumlah bangunan suci seperti Tungkub Tegal, Bedugul, Gedong Penyimpenen, dan Sapta Petala, yang masing-masing berfungsi dalam berbagai aspek peribadatan. Di sisi selatan, terdapat bangunan penting seperti Pelinggih Ratu Hyang Api dan Sakti Dewa Brahma, tempat pemujaan bagi dewa-dewa yang memiliki peran penting dalam kosmologi Hindu Bali. Area tengah ini menjadi ruang transisi antara bagian luar dan dalam pura, di mana umat Hindu dapat melakukan persiapan spiritual sebelum melangkah ke area yang lebih sakral di halaman dalam. Keberadaan bangunan-bangunan ini menunjukkan betapa kompleksnya fungsi dan simbolisme dalam tata ruang Pura Hyang Tiba, menjadikannya tempat yang tidak hanya indah secara visual, tetapi juga kaya akan nilai spiritual.
Pelinggih Ratu Hyang Api di Bagian Selatan Pura Hyang Tiba (Sumber : Koleksi Pribadi)
Pada bagian selatan tengah pura, terdapat suatu pelinggih unik dengan nama 'Ratu Hyang Api'. Pelinggih Ratu Hyang Api di Pura Hyang Tiba merupakan salah satu tempat pemujaan yang penting dalam tradisi keagamaan Hindu Bali. Ratu Hyang Api dipandang sebagai manifestasi kekuatan api, yang melambangkan energi purifikasi dan transformasi dalam kehidupan spiritual. Dalam kepercayaan Bali, api memiliki peran sentral dalam upacara keagamaan, baik sebagai medium persembahan kepada dewa-dewa maupun sebagai simbol penyucian. Pelinggih ini terletak di bagian selatan halaman tengah pura, menandakan posisinya yang signifikan dalam struktur ritual di Pura Hyang Tiba. Umat Hindu yang datang untuk bersembahyang di pelinggih ini biasanya memohon berkah dalam bentuk kekuatan, kebijaksanaan, dan kemurnian jiwa, yang disimbolkan oleh elemen api.
Jalur Menuju Beji Suci Pura Hyang Tiba (Sumber : Koleksi Pribadi)
Jika mengikuti jalur yang ada di bagian selatan Pura Hyang Tiba, pengunjung akan dibawa menuju sebuah beji suci yang terletak di belakang pura.Jalur menuju beji di belakang Pura Hyang Tiba menawarkan pemandangan yang memukau, membentang di antara hamparan sawah tradisional yang hijau dan subur. Jalan setapak yang mengarah ke beji ini seakan membelah keindahan alam Bali yang masih alami, dengan sawah bertingkat khas sistem subak yang dikelola secara tradisional oleh masyarakat sekitar. Di sepanjang jalur ini, pengunjung dapat merasakan suasana tenang dan damai, dikelilingi oleh pepohonan rindang serta gemericik air irigasi yang mengalir di sekitar pematang sawah. Kombinasi pemandangan alam dan suasana spiritual menciptakan pengalaman perjalanan yang harmonis, menjadikan perjalanan menuju beji tak sekadar langkah fisik, tetapi juga perjalanan batin yang penuh kedamaian.
Pancoran Utama pada Beji Suci Pura Hyang Tiba (Sumber : Koleksi Pribadi)
Sesampainya di beji, pengunjung akan disambut oleh dua pancoran utama yang menjadi pusat dari sumber mata air suci. Kedua pancoran ini terhubung dengan sebuah sungai kecil yang alirannya mengalir menuju muara di bagian hilir, membawa air suci dari beji ke tempat yang lebih jauh. Air dari pancoran tersebut digunakan dalam upacara melukat, di mana umat Hindu Bali membersihkan diri secara spiritual dengan mandi di bawah pancuran air yang dipercayai membawa energi pembersih. Beji ini dikelilingi oleh tebing hijau yang menciptakan suasana teduh dan menambah kesakralan tempat tersebut. Kejernihan air yang mengalir dari pancoran-pancoran ini tidak hanya memberikan kesejukan fisik, tetapi juga simbolisasi penyucian rohani yang mendalam bagi para pengunjung dan umat yang datang berdoa.