Nyengker Setra: Melindungi Keseimbangan Energi dan Mencegah Gangguan dalam Penyelenggaraan Karya Agung

Nyengker Setra adalah ritual penting dalam konteks Karya Agung Ngenteg Linggih, Ngusabha Desa, dan Mapahayu Nini di Pura Desa Puseh, Desa Adat Mengwitani, yang bertujuan untuk menciptakan batas metafisik di sekitar kuburan agar terjaga keseimbangan dan keselamatan selama upacara. Istilah "Nyengker Setra" berasal dari bahasa Bali yang berarti "memberi batas keliling pada kuburan" melalui kekuatan mantra dan ritual spiritual.

Sep 17, 2024 - 18:43
Nyengker Setra: Melindungi Keseimbangan Energi dan Mencegah Gangguan dalam Penyelenggaraan Karya Agung
Ida Pedanda Gede Pasuruan Manuaba dari Griya Magelung Sangeh

Nyengker Setra adalah sebuah ritual yang sarat makna dan memiliki hubungan mendalam dengan kelancaran, kedamaian, serta kesucian dalam pelaksanaan Karya Agung Ngenteg Linggih, Ngusabha Desa, dan Mapahayu Nini di Pura Desa Puseh, Desa Adat Mengwitani. 

Nyengker Setra adalah istilah dalam bahasa Bali yang berasal dari kata "sengker" dan "setra".  Secara harfiah kata "sengker," berarti "memberi batas keliling," dan "setra," yang berarti "kuburan" atau "tempat pemakaman". Jadi, "Nyengker Setra" secara harfiah berarti "memberi batas keliling pada kuburan" atau "mengelilingi kuburan dengan batas".

Dalam konteks ritual "Nyengker Setra," memberi batas keliling tidak dimaksudkan sebagai penambahan pagar fisik atau struktur nyata di sekitar area setra. Sebaliknya, proses ini dilakukan melalui kekuatan mantra (puja) dan ritual spiritual yang melibatkan penggunaan doa-doa khusus dan upacara keagamaan. Ritual ini bertujuan untuk menciptakan batasan metafisik atau spiritual di sekitar kuburan, yang dipercaya dapat melindungi dan menjaga tempat tersebut dari gangguan serta memastikan keharmonisan energi di sekitar wilayah upacara.

Prosesi Nyengker Setra di Setra Pupuan Mengwitani

Masyarakat Br. Panca Dharma yang bertugas menjalankan prosesi Nyengker Setra di Setra Pupuan Mengwitani

Tujuan utama dari ritual nyengker setra ini adalah untuk menjaga keseimbangan dan keselamatan selama prosesi upacara. Pertama, ritual ini bertujuan untuk memastikan bahwa sarwa prani, dalam hal ini SIKMA atau ISIN SEMA, yaitu makhluk non-fisik yang mendiami setra, tidak keluar dari area tersebut dan tidak mengganggu manusia baik di pura maupun di luar pura. Dengan menjaga keberadaan mereka tetap di dalam setra, diharapkan tidak akan ada gangguan terhadap kegiatan manusia dalam penyelenggaraan yadnya. Kedua, ritual ini juga dimaksudkan untuk memohon kepada Dewa Yama Raja dan Bhatara di Praja Pati agar selama seluruh rangkaian upacara, dari awal hingga akhir, tidak terjadi kematian di kalangan umat. Dalam implementasinya di masyarakat, doa dan harapan ini biasanya diwujudkan dengan adanya larangan untuk melaksanakan upacara Pitra Yadnya selama karya agung berlangsung.

Pelaksanaan ritual Nyengker Setra dalam rangka karya agung di Pura Desa dan Puseh Desa Adat Mengwitani ini, dilakukan di empat setra yang berbeda, yaitu Setra Pupuan, Setra Gunung Sari, Setra Lebah, dan Setra Nyuh Gading. Titik lokasi upacara di masing-masing setra tersebut adalah lokasi khusus yang biasa dipakai sebagai tempat pembakaran mayat ketika ada orang meninggal. Dari keempat lokasi tersebut, pusat upacara yang melibatkan upakara besar terpusat di Setra Pupuan, di mana ritual ini dipimpin oleh Ida Pedanda Gede Pasuruan Manuaba dari Griya Magelung Sangeh.

Prosesi Nyengker Setra di Setra Gunung Sari Mengwitani

Prosesi Nyengker setra di Setra Lebah Mengwitani

Prosesi Nyengker Setra di Setra Nyuh Gading Mengwitani

Upacara Nyengker Setra dilaksanakan ketika ada karya agung yang biasa ditandai dengan ritual Padudusan Agung dan keberadaan upasaksi Sanggar Tawang Meruang (Rong) 3 dengan menggunakan banten "Catur Muka", sebagaimana Karya Agung Ngenteg Linggih, Ngusabha Desa lan Mapahayu Nini yang diselenggarakan di Pura Desa dan Puseh, Desa Adat Mengwitani.