Tradisi Nandan Desa Gunaksa, Menaikkan Status Leluhur dari Dewa Hyang Menjadi Sri

Upacara Nandan atau Nebas Pitra di Gunaksa, Tutuan, merupakan tradisi unik yang diwariskan dari desa tua Tutuan. Setiap tahunnya, pada bulan Tilem Sasih Kedasa, warga Gunaksa mengadakan upacara tersebut, yang merupakan bagian dari pitra puja atau penghormatan terhadap roh leluhur. Prasasti Tutuan menyimpan kisah tentang I Surakerta, leluhur Tutuan, yang membunuh sapi berkah Sapu Jagat, mengakibatkan kutukan yang mewajibkan keturunannya melaksanakan upacara padandanan setiap tahunnya. Rangkaian upacara tersebut melibatkan serangkaian persiapan dan pelaksanaan untuk membebaskan roh leluhur dari kutukan Rare Angon, dengan harapan meningkatkan status mereka menjadi Sri yang terus memberikan kesejahteraan.

Mar 23, 2025 - 06:03
Mar 23, 2025 - 07:25
Tradisi Nandan Desa Gunaksa, Menaikkan Status Leluhur dari Dewa Hyang Menjadi  Sri
Lumbung Nandan Desa Gunaksa (Sumber: Koleksi Penulis)

Upacara Nandan atau Nebas Pitra yang diwariskan oleh Warga Tutuan Pretisentana Sire Dalem Mangori, desa tua di Kecamatan Dawan, Kabupaten Klungkung, menampilkan keunikan tersendiri. Setiap tahun, pada setiap tilem sasih kedasa, upacara Nebas Pitra atau yang biasa disebut Nandan, diadakan Desa Gunaksa yang dikelilingi oleh bukit-bukit tersebut. Meskipun belum banyak sumber yang dapat memberikan informasi mendalam tentang alasan di balik penyelenggaraan upacara ini, catatan prasasti Tutuan yang kini tersimpan di Pura Bukit Buluh, Desa Gunaksa, mengindikasikan bahwa tradisi Nandan ini merupakan bagian dari upacara pitra puja atau upacara penghormatan terhadap roh leluhur. Dalam catatan tersebut, Nandan dijelaskan sebagai upacara naur sosot atau naur danda sang pitara. Meskipun beberapa warga di luar Desa Gunaksa turut serta dalam penyelenggaraan upacara ini, umumnya upacara Nandan hanya diadakan oleh warga Tutuan. Namun, tidak terdapat catatan yang menjelaskan mengapa warga Tutuan di Gunaksa melaksanakan upacara naur sosot tersebut.

Puja Lingga di Setra Adat Gunaksa (Sumber: Koleksi Penulis)

Prasasti Tutuan hanya mencatat sebuah mitos yang mengisahkan kealpaan seorang leluhur dari warga Tutuan bernama I Surakerta. Dalam kisah tersebut, I Surakerta terlibat dalam tindakan membunuh sapi milik I Rare Angon, yang merupakan anak Ni Berit Kuning dari pernikahannya dengan Prabhu Airlangga. Sapi yang menjadi korban tersebut bernama Sapu Jagat. Konon, sapi ini memiliki keunggulan gaib, terbukti dengan ekornya yang dikatakan sampai menyentuh tanah, sehingga dikenal dengan sebutan I Sapu Jagat (apan ikutnia nyapu jagat).

Sapi ini diyakini memiliki keistimewaan tertentu bagi siapa pun yang meminjam sapi ini untuk membajak, akan merasakan manfaatnya. Tanah yang dibajak menjadi subur, hasil panen melimpah, dan tanaman dijauhkan dari serangan hama. Keberkahannya membuat I Sapu Jagat dianggap sebagai pembawa berkah bagi para petani yang menggunakan jasanya.

Berdasarkan sumber lisan, diceritakan bahwa I Surakerta, yang konon berumah di Dauh Bingin dan diyakini berlokasi di kompleks Pura Batur, dekat Banjar Patus, Desa Gunaksa, digambarkan sebagai sosok yang tidak pernah bersyukur, tamak, dan rendah budi. Cerita mengenai perilakunya menyiratkan bahwa I Surakerta telah sering meminjam sapi Ki Sapu Jagat, namun tetap loba dalam tindakannya. Ia bahkan memaksa meminjam sapi tersebut sehingga petani lain tidak mendapat giliran. Suatu hari, ketika I Rare Angon menolak permintaannya, I Surakerta marah dan membunuh Rare Angon tanpa alasan yang jelas, tanpa memperdulikan status brahmantya dan tanpa ampun (tan tiba brahmantyania, neher tinuwek anggania Rare Angon). Sapi pun diambil paksa, dibunuh, dan disakiti (pinejahan linara-lara).

Puja Lingga di Pura Dalem Pakenca Gunaksa (Sumber: Koleksi Penulis)

Sebelum I Rare Angon jatuh ke tanah, ia mengeluarkan kutukan yang berbunyi, "Duh engkau, Surakerta! Di luar batas perilakumu, tidak ada balas budi, hatimu gelap. Saya sungguh tak bersalah padamu, mengapa kau membunuh diriku. Sekarang kau kena kutuk diriku 'Jah tasmat!' Semua keturunan I Surakerta dan kerabatnya diwajibkan menghaturkan upacara pedandanan, yang dilakukan saat bulan mati sasih Kedasa." Kutukan ini diucapkan sebagai akibat dari perbuatan buruk I Surakerta terhadap I Rare Angon. Dengan kutukan ini, seluruh keturunan I Surakerta dan kerabatnya diharuskan untuk melaksanakan upacara pedandanan sebagai upaya untuk menghapuskan dosa dan membayar hutang roh leluhur. Upacara ini ditetapkan dilakukan setiap tahun pada bulan mati sasih Kedasa sebagai bentuk penghormatan dan pembebasan terhadap roh I Rare Angon.

Teks asli Kanda Purwanma Tutuan berbunyi sebagai berikut: "Ih Surakerta, tan piangga denta mambek, tan hanang darma budi, kewala lupa angidep. Apan ingsun tan adruwe dosa ring kita, mawastu ingsun pinejah dening kita, mangkin moga kita kawastonan dening ingsun: 'Jah tasmat, sahananing satreh sentanan I Surakerta, tekaning saswangan ta kabeh, wenang angaturaken karya padandanan. Rikalaning tilem sasih kadasa, ring genah ingsun mapendem.

Dosa I Surakerta karena telah membunuh Rare Angon dan Sapi Sapuh Jagat menempatkan roh dirinya dan keturunannya dalam keadaan sosot, terbelit kutuk hingga tak bisa bebas, bersatu dengan Sang Maha Pencipta. Maka untuk membebaskan rohnya, ia harus menggelar upacara padandanan. Upacara ini mesti dibayar saat Ngusaba Pitra di Desa Gunaksa, berlangsung setahun sekali, saat tilem sasih Kedasa, bertempat di Pura Dalem Cungkub, konon di tempat ini Rare Angon dibunuh dan dikubur (ring genah ingsun mapendem), maka di tempat ini pula dilakukan upacara puncak Pangusaban dan Panandanan.

Biasanya masyarakat di Gunaksa, terutama warga Tutuan, menggelar upacara Nandan usai upacara pangroras, dan ada juga yang menggelar upacara setelah upacara ngantukang Dewa Hyang. Maka upacara ini menjadi satu rangkaian dengan upacara dewa yadnya, yang khusus dilakukan untuk memuliakan dan 'pembebasan leluhur. Di titik ini upacara Nandan pun dikaitkan dengan kewajiban sentana untuk membebaskan roh leluhur dari kutuk Rare Angon. Hingga kini, warga Tutuan di Gunaksa sangat percaya bahwa, Rare Angon (bukan Rare Angon anak Sang Hyang Siwa), tetapi menjadi penjaga (ameng-amengan) Batara di Pura Bukit Buluh. Sekali waktu ada warga yang melihat Rare Angon tengah meniup seruling sembari mengembala lembu Sapu Jagat. Karena alasan ini pula, Rare Angon dan Sapi Sapu Jagat diangkat menjadi lambang Desa Gunaksa.

Ada "kutuk" bila upacara tidak dilakukan. Orang terpelajar tahu kutuk adalah cara paling ortodok supaya pendukung tradisi bersangkutan tetap yakin. Teks Kanda Purwana Ki Tutuan misalnya menguraikan kutuk itu begini: "Yen kita predo, moga atmania manggih sangsara tan pagenah, tiba ring kawah candra goh muka, siyu tahun ya dadi entip kawah yang tan katebas. Yan amalku hana kadyeng arep ling kui, moga amanggih karahayuan paumahan ta, tekaning atma ira manggih sadia."

Artinya: Jika engkau mangkir, semoga rohnya menemu sengsara, tak mendapat tempat, jatuh ke kawah cadra goh mukajika tidak ditebus, seribu tahun dia menjadi aking kawah. Apabila dijalankan sebagaimana berlaku sejak dulu, semoga memperoleh kerahayuan, sanak keluarga sejahtera, roh leluhur menemukan kebahagiaan.

Puja Lingga di Pura Puseh Gunaksa (Sumber: Koleksi Penulis)

Upacara Nandan di Gunaksa, Tutuan, memiliki rangkaian persiapan dan pelaksanaan yang melibatkan seluruh masyarakat. Sebulan sebelum upacara, prajuru dan manggala mengadakan paruman atau sangkepan untuk membahas persiapan ngusaba dan Nandan. Pejabat tradisional ikut hadir, meski perannya sekarang lebih sebagai saksi.

Sepuluh hari sebelum ngusaba, diadakan upacara Matuun Sang Hyang yang melibatkan dua acara penting. Pertama, nanceb kober putih sebagai tanda larangan mengubur jenazah, dan kedua, upacara matuun Sang Hyang di Pura Dalem Pakenca untuk memohon nama roh leluhur. Setelah itu, dilaksanakan upacara Nyaak dan Kurban sapi Jaga-Jaga di pelataran Buit. Upacara Nyaak melibatkan mapegatan untuk melunasi utang roh leluhur, sementara sapi Jaga-Jaga dikurbankan sebagai pengganti Sapu Jagat.

Tradisi Mejaga-Jaga Desa Adat Gunaksa (Sumber: Koleksi Penulis)

Rangkaian upacara berlanjut dengan ngeladang tangluk, sebuah upacara pemanggilan roh leluhur dari hukuman, yang dilakukan sehari sebelum acara puncak. Puspa lingga, sebagai simbol roh leluhur, turut serta dalam upacara ini. Selama ngeladang tangluk, roh-roh dianggap menjalani "hukuman" pertanian simbolis. Upacara ini juga melibatkan pembayaran kepada prajuru desa sebagai panumbas.

Acara puncak diadakan di Pura Pangulun Setra Dalem Cungkub, dengan rangkaian mapurwa daksina. Lumbung dan kumaligi, sebagai simbol roh laki-laki dan perempuan, diarak mengelilingi pelataran pura. Godel-godel yang mengantar roh dihaturkan ke palinggih Hyang Gagak, dan satu godel dibakar sebagai pamasmia. Abu puspa lingga ditanam di Pura Dalem Kangin. Upacara Nandań dianggap selesai setelah pamasmia, tinggal dilanjutkan dengan tiga kali upacara nyenuk yang dilakukan setiap tahun. Dari seluruh rangkaian upacara, terdapat makna yang tersirat bahwa warga Tutuan di Gunaksa memiliki niat untuk meningkatkan status leluhur mereka ke jenjang yang lebih tinggi, dari status Dewa Hyang menjadi Sri. Dengan harapan agar beliau senantiasa melimpahkan kesejahteraan, "ngamertanin" sentananya.