Pura Samuan Tiga : Pangkal Filsafat Ajaran Tri Murti dan Pura Kahyangan Tiga di Bali
Bali dijuluki sebagai pulau seribu pura, satu kalimat klise yang selalu terbersit ketika mendengar kata Bali. Hal ini menandakan bagaimana keberadaan pura sebagai tempat suci umat beragama hindu selalu mengiringi tapak jejak kehidupan masyarakat di tanah Bali. Berdirinya bangunan pura di Bali bukanlah suatu kebetulan melainkan atas filsafat keagamaan yang sakral dan hasil dari peristiwa sejarah. Sejarah Pura Samuan Tiga memperkenalkan konsep ajaran Tri Murti yang kemudian membawa perubahan pada konsep bangunan pura di Bali yang saat ini dikenal sebagai Pura Kahyangan Tiga.
Pura samuan tiga terletak di Desa Bedulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar. Pura Samuan Tiga secara etimologi terdiri dari dua kata yaitu “Samuan” berarti rapat, pesamuan atau pertemuan, sedangkan “Tiga” merujuk pada angka bilangan tiga. Pura Samuan Tiga adalah tempat pertemuan (pesamuan) antara tiga pihak penting aliran keagamaan Hindu (sekte) di Bali. Sebagai salah satu pura dengan sejarah historis yang kental dan diyakini sebagai cikal bakal lahirnya konsep pemujaan Tri Murti, Pura Samuan tiga pada awalnya dikenal sebagai pura Gunung Goak. Mulanya, pada sekitar akhir abad ke-10 atau awal abad ke-11 Masehi, muncul banyak kekhawatiran yang terjadi karena banyaknya aliran keagamaan Hindu (sekte) yang berkembang di Bali. Kala itu, penduduk Bali menganut sadsekta (enam aliran) diantaranya: Sambhu, Khala, Brahma, Wisnu, Bhayu dan Iśwara. Masing-masing sekte tersebut memiliki kecenderungan menonjolkan dirinya sendiri dan bahkan sampai merendahkan sekte-sekte lainnya dikarenakan masing masing sekte ingin memegaruhi dan mengambil simpati masyarakat. Ratu Mahendradatta melihat ini sebagai sebuah ancaman dan ketidakstabilan dalam tatanan masyarakatnya. Maka dipanggillah Mpu Kuturan untuk membuat pertemuan (pesamuan) yang diikuti oleh tiga kelompok besar sekte keagamaan Hindu, yaitu: Sekte Śiva Śiddhanta, Budha Mahayana dan Sadsekte Bali Aga. Hasil dari pertemuan itu pun melahirkan “Keputusan Samuantiga” sebagai landasan filosofis berdirinya desa-desa pakraman/desa adat dengan Kahyangan Tiga dan Kemulan Rong Telu sebagai implementasi konsep pemujaan Tri Mūrti di Bali. Dalam agama Hindu, Tri Murti terdiri dari Brahma, Wisnu dan Siwa. Dengan munculnya konsep pemujaan ketiga Dewa tersebut, maka dibuatkanlah gagasan tempat pemujaan Kahyangan Tiga yaitu Pura Puseh, Pura Dalem, Pura Desa atau biasanya disebut Bale Agung. Konsep Kahyangan Tiga ini kemudian dibawa ke dalam sistem sosial masyarakat dan menjadi pilar utama berdirinya desa adat/desa pakraman di Bali.
Candi Bentar Pura Samuan Tiga (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)
Struktur bangunan dari Pura Samuan Tiga terbagi atas enam mandala yang tersusun dari jaba ke jeroan dengan susunan yang semakin meninggi. Enam mandala (tingkatan) yang dimaksudkan tersebut ialah Jaba Mandala, Mandala Ratu Agung Sakti, Mandala Bhatara Ratu Agung, Mandala Batan Manggis, Mandala Samanggen, Mandala Utama (jeroan). Jaba Mandala merupakan jalan menuju Desa Taman Sari dan juga merupakan tempat parkir bagi pemedek (Masyarakat yang bersembahyang). Masuk ke areal pura, di sebelah barat tangga turun ke Mandala Utama akan dijumpai pelinggih pengaksian. Dimana terdapat arca-arca yang memakai hiasan tengkorang yang biasa disebut sebagai hiasan bairawa.
Pada mandala kedua yaitu Mandala Ratu Agung Sakti yang berada di sebelah kanan pintu masuk utama. Disana terdapat beberapa peninggalan batu-batu bintang, beberapa arca dan unsur unsur bangunan. Memasuki mandala ketiga yaitu Mandala Bhatara Ratu Agung merupakan tempat pemujaan yang difokuskan kepada Bhatara Ratu Agung. Adapula pelinggih penerengan sekar yang merupakan peninggalan masa penjajahan. Adapula pengaruman yang merupakan tempat bhatara yang datang pada saat upacara berlangsung dan tepat ditengahnya pemedek melaksanakan persembahyangan kepada ida bhatara.
Mandala Batan Manggis adalah mandala keempat yaitu tempat parekan sebelum ngayah siat sampian melakukan persembahyangan dan terdapat pula peninggalan seperti batu pemujaan dari beberapa sekte-sekte terdahulu. Mandala kelima ialah Mandala Samanggen yaitu tempat masyarakat ngayah membuat kelengkapan piodalan. Mandala terakhir adalah Mandala Utama (jeroan) yaitu tingkatan mandala tertinggi dimana terdapat sejumlah pelinggih tempat bhatara berstana atau melinggih, kemudian terdapat pula peninggalan arkeologi berupa lingga yoni yang merupakan salah satu bukti dari sekte pasuparta. Adapula arca wisnu yang berasal dari sekte wisnu yang berkembang di Bali pada saat itu.