Alas Pala : Sebuah Narasi dan Energi Spiritual dari Kisah Pohon Berjalan
Tidak lengkap rasanya jika membicarkan Pulau Bali tanpa membahas kepercayaan-kepercayaan mistis yang masih melekat di masyarakatnya. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri ada begitu banyak legenda yang tumbuh, berkembang, dan masih dipercaya dan dihormati hingga saat ini di Bali.
Pernah mendegar legenda atau kisah spiritual dari pohon berjalan yang paling terkenal di Bali? Atau mungkin pernah mendengar tentang Alas Pala Sangeh yang dihuni oleh ratusan ekor kera abu-abu? Alas Pala atau yang juga dikenal dengan Alas Pala Sangeh merupakan sebuah hutan dengan total luas sekitar 14 hektar yang didominasi oleh pohon pala (Dipterocarpus trinervis) dengan luas mencapai 10 hektar. Pohon pala yang dimaksud bukanlah pala yang digunakan sebagai bumbu dapur melainkan salah satu jenis pepohonan penghasil kayu yang khas dari daerah tropis. Alas Pala Sangeh juga dikenal sebagai salah satu Monkey Forest yang ada di Bali. Alas Pala terletak di Desa Sangeh, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung, sebuah kabupaten di Bali yang Sangat terkenal dengan Pura Taman Ayunnya. Wisata Alas Pala telah didirikan sejak 1 Januari 1969 yang kemudian diikuti dengan beberapa pengembangan, contohnya pada tahun 1972.
Pohon Pala di Alas Pala (Sumber Foto : Koleksi Redaksi)
Keberagaman flora dan fauna yang ada di hutan ini menjadikannya sebagai salah satu destinasi wisata favorit wisatawan yang berkunjung ke Bali. Wisatawan dapat menikmati sejuknya Alas Pala sekaligus melihat keberadaan kera abu-abu (Macaca fascicularis) lucu yang jumlahnya mencapai 600 ekor. Walaupun berparas lucu, wisatawan yang datang wajib berhati-hati karena tak jarang kera berekor panjang ini akan mengganggu pengunjung. Ada juga fauna lainnya seperti Alap-alap Sapi (Falco moluccensis), Elang Brontok (Spizaetus cirrhatus), Elang Ular Bido (Spilornis cheela), Elang-alap Kawah (Falco peregrinus), Burung Hantu (Pypte alba javanica), Merbah Cerucuk (Picnonotus gouvier), Musang (Paradoxurus hermaproditus), Kucing Hutan (Felis bengalensis), dan Sendang lawe (Ciconia episcopus). Walaupun hutan lindung yang satu ini didominasi oleh pohon pala, flora lainnya seperti Amplas (Tetracera scandens), Pule (Alstonia scolaris), Buni (Antidema bunius), Cempaka Kuning (Michelia champaca), dan Kepohpoh (Buchacananania arboresncens) juga dapat ditemukan di sini.
Uniknya, di balik ketenarannya sebagai destinasi wisata hutan homogen, Alas Pala Sangeh justru menyimpan sebuah kisah spiritual yang dipercaya serta dihormati oleh masyarakat setempat. Kisah spiritual ini tidak disembunyikan dan justru menjadi nilai tambah untuk menjadi sebuah alasan untuk datang ke Alas Pala Sangeh. Desa Adat Sangeh memiliki sebuah legenda turun temurun yang kini bahkan sudah tersebar luas hingga telinga masyarakat luar. Legenda ini menceritakan seorang Putri dari Ida Bhatara ring Gunung Agung yang harus menerima hukuman cukup lama sebagai bentuk tanggung jawab dari kesalahan yang telah dilakukannya. Pulaki, pura terbesar di Bali Utara, adalah tempat Sang Putri harus menghabiskan masa hukumannya. Ketika masa hukumannya berakhir, Sang Putri berniat untuk kembali ke rumah dengan dikawal oleh sekawanan hewan seperti kera, ular, dan juga macan. Saat diperjalanan, Putri melihat hal yang tidak dapat diterima oleh logika, yaitu sebuah alas (hutan) yang berjalan dihadapannya. Alas itu tak lain dan tak bukan adalah Alas Pala yang dipercaya menempuh perjalanan menuju arah Bali Barat dari Gunung Agung di Bali Timur. Oleh karena Sang Putri melihat Alas Pala berjalan, Alas Pala ini kemudian berhenti di tempat yang sekarang dikenal dengan nama Sangeh. Sangeh merupakan hasil dari penggabungan dua kata yaitu “Sang” yang berarti orang dan “Ngeh” yang berarti melihat. Sehingga kata Sangeh dapat didefinisikan sebagai orang yang melihat.
Setelah melihat bagaimana Alas Pala berjalan, Sang Putri justru mengurungkan niatnya untuk kembali ke Gunung Agung dan memilih untuk menetap selamanya di hutan ini. Putri tinggal di hutan bersama dengan sekawanan hewan yang menemaninya selama perjalanan. Tepat di tengah Alas Pala terdapat sebuah pura bernama Pura Bukit Sari yang merupakan sebuah peninggalan Kerajaan Mengwi pada abad ke-17. Pura ini dibangun sebagai tempat untuk memuja Sang Putri serta Ida Bhatara Gunung Agung. Masyarakat Desa Adat Sangeh percaya bahwa kera abu-abu yang hingga kini masih berhabitat di Alas Pala merupakan keturunan dari kera yang tinggal bersama Putri pada jaman dahulu. Mereka menganggap kera-kera ini sebagai jelmaan prajurit Putri yang dianggap sebagai kera suci. Keberadaan kera ini juga tidak boleh diganggu karena mereka dianggap membawa berkah bagi masyarakat setempat.
Kera Abu-Abu di Alas Pala (Sumber Foto : Koleksi Redaksi)
Harga kayu dari pepohonan bergenus Dipterocarpus ini bisa dikatakan cukup mahal yaitu berkisar di harga Rp1.250.000 untuk satu batang kayunya. Lebih-lebih dicuri dan ditebang untuk dijual, masyarakat setempat bahkan sangat menyakralkan pohon-pohon ini hingga tidak ada satupun dari pohon yang tumbuh pernah ditebang. Selain itu, buah dari pohon pala itu sendiri juga tidak pernah diambil sembarangan. Hal ini disebabkan oleh masyarakat yang percaya apabila pohon tersebut ditebang atau buahnya diambil sembarangan maka malapetaka atau kutukan akan menimpa orang yang melukannya. Sekalipun dalam kondisi genting, pohon pala di Alas Pala tidak akan ditebang. Sebuah kejadian pernah terjadi pada awal Januari 2010 di mana terdapat sebuah pohon pala tua yang diperkirakan akan roboh dan menimpa bangunan utama Pura Bukit Sari. Karena kepercayaan yang melekat di masyarakat, pohon tersebut tidak ditebang dan pada akhirnya roboh dengan sendirinya ke arah barat daya di antara bangunan Bale Kulkul dan Pawaregan. Untungnya hanya sedikit kerusakan yang ditimbulkan, yaitu kerusakan pada tembok luar Pawaregan.
Untuk melindungi kawasan hutan Sangeh, masyarakat adat setempat menyusun sebuah hukum adat yang berupa awig-awig (red: peraturan yang berlaku dalam suatu desa adat). Dalam Pawos 47 Awig-Awig Desa Pakraman Sangeh dinyatakan:
"Kuluwarga Desa Adat Sangeh Tan Kengi Ngusak Asik Ring Sejeroning Alas Menakadi Ngambil Taru, Rencek, Buah Pala, Menyan Lan Sane Siosan Sedurung Polih Pamutus Saking Prajuru Desa adat Sangeh."
Yang jika diterjemahkan berarti: Keluarga Desa Adat Sangeh tidak diperbolehkan merusak hal yang terkait dengan hutan seperti mengambil Pohon, Ranting, Buah Pala, Menyan, dan yang lainnya sebelum mendapatkan persetujuan Pengurus Desa Adat Sangeh.
Hukum ini memiliki peran yang Sangat penting mengingat pohon pala memiliki bentuk yang unik dan juga dikabarkan tidak dapat ditanam di tempat lain sehingga tidak ada satu orangpun yang dapat memiliki kayu dari pohon pala. Selain itu keberadaan hukum adat ini akan mengatur masyarakat desa setempat untuk tetap menghormati dan melindungi pohon pala beserta flora dan fauna lainnya yang berhabitat di Alas Pala. Mengingat bagaimana awig-awig mengikat secara personal maupun secara keyakinan masyarakat adat di Desa Sangeh, maka awig-awig juga mengatur sanksi yang diberikan ketika melanggar hukum adat yang berlaku. Disebutkan bahwa:
"Yening wenten Kuluwarga Sane mamurung Awig-Awig Desa Adat Sangeh kadanda antuk jinah bolong asli 200 kepeng."
Yang dapat diterjemahkan sebagai: Jika ada keluarga yang melanggar aturan dari awig-awig Desa Adat Sangeh maka akan dikenakan denda berupa uang asli 200 keping.
Penanda Taman Wisata Alam Sangeh (Sumber Foto : Koleksi Redaksi)
Kemudian apabila terjadi pelanggaran di kawasan hutan Sangeh, maka masyarakat terkait akan dikenakan sanksi berupa pengembalian keseimbangan secara niskala dengan melakukan serangkaian ritual-ritual adat yaitu upacara mecaru atau pembersihan secara niskala di wilayah kawasan hutan Sangeh dan di Pura Bukit Sangeh.
Menghabiskan waktu untuk bersenang-senang di Alas Pala adalah hal yang menyenangkan untuk wisatawan. Akan menjadi jauh menyenangkan bagi masyarakat adat setempat apabila wisatawan juga turut menghormati kepercayaan yang berlaku di area wisata Alas Pala. Penghormatan kepercayaan ini dapat dilakukan dengan memenuhi aturan yang berlaku seperti pengunjung atau wisatawan wanita dilarang untuk memasuki kawasan hutan jika dalam keadaan haid, berpakaian sopan dan rapi saat memasuki kawasan suci, tidak memegang atau mempermainkan monyet, dan tidak membuang sampah sembarangan.