Brahma Lelare: Patung Bayi Sakral dengan Aura Angkernya sangat Terasa
Patung Brahma Lelare, patung bayi paling terkenal di Bali, merupakan salah satu patung yang sangat diakui kesakralannya. Patung berbentuk bayi dengan tinggi 6 meter dan lebar 4 meter ini dijadikan sebagai stana pemujaan yang ditujukan kepada Dewa Brahma sebagai Ida Bhatara Wisesaning Jagat. Patung Brahma Lelare sangat dimaknai keberadaannya sehingga makna-makna mendalam sangat diutamakan dari proses pembuatannya, seperti makna dari lokasi penempatan, posisi patung, hari peletakan batu pertama, asal muasal batu yang digunakan, dan lokasi pembuatan maket. Pada hari-hari tertentu, patung ini akan memberikan aura dan kisah mistis, misalnya, adanya suara tangisan anak bayi dan mata dari patung yang dipercaya dapat melihat ke kanan dan ke kiri.
Patung merupakan sebuah karya seni tiga dimensi yang dipahat atau dibuat oleh manusia dengan meniru bentuk makhluk seperti manusia atau meniru bentuk-bentuk lainnya. Salah satu patung paling terkenal di Bali tepatnya di Kabupaten Gianyar, kabupaten yang terkenal dengan sebutan kota seninya, adalah patung Brahma Lelare. Patung Brahma Lelare terletak di pertigaan Jalan Raya Sakah, Desa Batuan Kaler, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar. Lokasi ini menghubungkan Jalan Raya Kota Gianyar dengan Jalan Raya Mas menuju Kawasan Wisata Ubud Gianyar. Karena bentuknya yang menyerupai bayi dan lokasinya yang terletak di Jalan Raya Sakah, maka patung ini juga biasa disebut sebagai patung Bayi, patung Sakah, atau patung Bayi Sakah.
Kata “Brahma” pada Brahma Lelare merujuk pada kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam menciptakan, sedangkan kata “Lelare” merupakan sebuah kata dalam bahasa Bali yang mendapatkan awalan “Le” dengan kata dasar “Lare” yang artinya anak kecil. Patung Brahma Lelare menggambarkan manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang mahasakti dalam melakukan penciptaan yang kemudian dihubungkan dengan Dewa Brahma sebagai salah satu Dewa Tri Murti yaitu sebagai dewa pencipta. Selain berperan untuk memberikan nilai estetika, patung Brahma Lelare juga dijadikan sebagai stana pemujaan yang ditujukan kepada Dewa Brahma sebagai Ida Bhatara Wisesaning Jagat.
Patung Brahma Lelare dibangun karena adanya instruksi dari Tjokorda Raka Dherana, SH selaku Bupati Gianyar periode 1983-1993. Disampaikan bahwa patung-patung akan dibangun di beberapa perempatan dan pertigaan di Kabupaten Gianyar yang bentuknya akan disesuaikan dengan selera masyarakat setempat. Kala itu, Brahma Lelare dipilih untuk dijadikan patung karena adanya ide yang berasal dari mendiang Ida Bagus Putera yang merupakan kawan sekaligus seseorang yang masih memiliki hubungan keluarga dekat dengan inisiator pembangunan Patung Brahma Lelare, Ida Bagus Mangku Ambara. Ide yang dimaksud berasal dari mimpi mendiang mengenai patung bayi kecil yang selanjutnya dikenal dengan nama Brahma Lelare.
Tampak Samping Patung Brahma Lelare (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)
Patung Brahma Lelare akan sangat valid bila dikatakan sebagai patung dengan makna yang sangat mendalam. Hal ini dikarenakan setiap detail pembuatannya baik itu dari lokasi penempatan, posisi patung, hari peletakan batu pertama, asal muasal batu yang digunakan, dan lokasi pembuatan maket semuanya dipilih dengan mengutamakan makna-makna yang ingin dicapai. Jika ditinjau dari lokasi penempatannya, awalnya, patung ini akan diletakkan di depan Pura Taman Pule Pakraman Mas. Karena posisinya yang kurang bersejarah dan bukan terletak di perempatan (catuspata) atau pertigaan sesuai yang diinginkan dalam instruksi Bupati Gianyar, maka lokasi yang dipilih selanjutnya ialah Banjar Blahtanah. Banjar Blahtanah dipilih menjadi lokasi penempatan patung Brahma Lelare karena adanya hubungan dengan keberadaan Pura Hyang Tiba yang terletak di bagian barat patung yang diyakini sebagai tempat turunnya dewa-dewi dari kahyangan. Tepat di titik di mana patung ini dibangun, sebelumnya merupakan sebuah gundukan tanah berbentuk segitiga yang terdapat sebuah pelinggih kecil. Alih-alih dihancurkan, pelinggih yang bernama pelinggih Dugul ini dibiarkan keberadaannya dan dijadikan pondasi dari patung Brahma Lelare.
Proses pembuatan patung dimulai pada akhir tahun 1989 dan rampung pada bulan Maret 1990. Artinya diperlukan sekitar 90 hari atau tiga bulan untuk menyelesaikan patung dengan berat 13 ton ini. Patung Brahma Lelare memiliki tinggi sekitar 6 meter dengan lebar sekitar 4 meter dan mengambil posisi menghadap ke arah selatan yang mewakili arah mata angin dari Dewa Brahma. Berdasarkan hitungan kalender Bali, piodalan di patung ini jatuh pada Anggarakasih (Selasa) Kliwon wuku Medangsia. Hari tersebut juga merupakan hari peletakan batu pertama atau ngawit mepulung dasar yang bertepatan dengan piodalan di Pura Dalem Pakraman Mas. Pura ini merupakan pura yang digunakan untuk memuja Ida Bhatara Siwa dan Dewi Durga sebagai saktinya. Hari tersebut dipilih sebagai hari untuk peletakan batu pertama dikarenakan adanya harapan agar teja (sinar suci) dari Dewa Siwa akan menyinari ketaksuan patung Brahma Lelare yang akan dibangun.
Tampak Samping Patung Brahma Lelare dengan Tiga Pohon Pule (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)
Patung Brahma Lelare menggunakan bahan dasar batu cadas yang didapat dari Sungai Petanu di Desa Bedulu, Kabupaten Gianyar. Batu cadas dari Sungai Petanu ini dipilih karena dianggap mempunyai nilai gaib yang erat kaitannya dengan legenda Prabu Mayadenawa. Kala itu Sang Raja Mayadenawa terbunuh oleh anak panah Dewa Indra, dan darah dari Sang Raja kemudian dipercaya mengalir ke Sungai Petanu sehingga mengakibatkan padi-padi di sekitarnya menjadi berwarna merah karena diairi oleh air yang bercampur darah. Oleh karenanya, warna merah yang sangat identik dengan Dewa Brahma menjadi alasan kenapa memilih batu cadas dari lokasi ini. Tempat duduk dari Brahma Lelare disusun oleh bongkahan batu karang yang didapat dari Pantai Pura Geger di Desa Sawangan, Nusa Dua yang mempresentasikan simbol tulang bumi. Pemilihan bahan-bahan ini memang dilakukan untuk mewakili unsur pegunungan (batu cadas) dan unsur samudra atau segara (batu karang).
Maket dari patung Brahma Lelare dibuat di sebuah wantilan pura yang cukup terkenal, yaitu Pura Masceti. Lokasi ini diyakini akan memberikan sinar suci ketika repilika atau maket patung sedang dikerjakan. Mengingat kata “Mas” pada Masceti berarti sinar keemasan dan “Ceti” artinya sinar dari Sang Hyang Widhi. Patung Brahma Lelare lebih lanjut menggambarkan seorang anak bayi yang duduk tegak lurus dengan dua tangan yang diletakkan di paha. Lebih jelas, tangan kanan diletakkan di atas paha dengan sikap tangan yang dikepal menghadap kedepan sebagai arah dari penciptaan. Jari-jari di tangan kiri menempel di sebelah paha kiri yang menjadi simbol untuk menopang badan yang tegak lurus. Kedua kaki dalam posisi bersila dan ujung-ujung jarinya saling bertemu. Patung ini dapat dibagi menjadi tiga bagian yang mewakili perwujudan tiga dunia yang disebut dengan Tri Loka. Bagian kepala yang botak menyimbolkan alam “Svah” atau alamnya para dewa. Bagian badan menyimbolkan alamnya para manusia yaitu “Bvah”, dan yang terakhir yaitu bagian sekitar kaki yang mewakili alam “Bhur”. Badannya yang gemuk dengan perut yang buncit memiliki perwujudan yang mirip dengan Dewa Ganesha yang memberikan perlindungan kepada bhakta-nya. Patung ini dikelilingi oleh 3 pohon pule besar yang masing-masing diberi kain berwarna merah, kuning, dan putih. Warna ini sering dikaitkan dengan Dewa Tri Murti, yaitu Dewa Brahma sebagai pencipta, Dewa Wisnu sebagai pemelihara, dan Dewa Siwa sebagai pralina (pelebur).
Tampak Belakang Patung Brahma Lelare dengan Tiga Pohon Pule (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)
Tidak semua patung khususnya patung yang ada di Bali digunakan untuk media penyembahan. Misalnya, apabila suatu hasil karya seni yang mungkin saja mewakili simbol tertentu, tidak akan diyakini kesakralannya apabila tidak melalui proses upacara. Umumnya patung-patung yang terdapat di pertigaan atau perempatan di Bali yang berupa patung penjaga (bhuta) didirikan dengan tujuan untuk menjaga tempat tersebut agar terhindar dari kecelaaan lalu lintas, juga untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat yang berada di sekitarnya. Patung Brahma Lelare memang dibangun dengan tujuan untuk disakralkan. Sehingga ada eedan (berurutan atau urutan) upacara agama yang harus dilakukan dengan lengkap untuk menghadirkan kesakralannya. Eedan upacara yang dimaksud ialah harus melalui Mulang Dasar, Nanem Pendeman (pancadatu), Pengurip, Melaspas, Pasupati, dan Piodalan.
Masyarakat setempat bahkan penduduk luar Desa Batuan Kaler sangat menghormati kesakralan patung ini. Ada cukup banyak penduduk luar desa yang sengaja bersembahyang di patung Brahma Lelare untuk memohon putra bagi mereka yang belum dikaruniai keturunan. Ada juga beberapa dukun pengobatan yang sering sembahyang untuk memohon kesaktian untuk menjalankan pengobatan tradisionalnya. Cerita-cerita mistis juga kerap terjadi, misalnya ada suara tangisan bayi dihari-hari tertentu dan mata patung yang dipercaya dapat melihat ke kanan dan ke kiri.