Dialog Purusa dan Pradana dalam Majejiwan: Penciptaan Alam Semesta dalam Representasi Keharmonisan Kosmos
Budaya Bali terkenal dengan tradisi ritual yang kaya akan simbolisme dan makna mendalam. Salah satu ritual yang menonjol adalah tuturan majejiwan, sebuah dialog sakral yang dilakukan dalam upacara mapaselang. Sebagai bagian integral dari tradisi keagamaan, tuturan ini merefleksikan hubungan manusia dengan Tuhan, alam semesta, dan nilai-nilai sosial dalam kehidupan masyarakat Bali.

Dalam tradisi keagamaan Hindu Bali, bahasa memegang peranan penting sebagai sarana utama dalam ritual keagamaan. Salah satu bentuk tuturan yang khas adalah majejiwan, sebuah dialog sakral yang dilakukan dalam ritual Mapaselang. Ritual ini merupakan bagian dari rangkaian upacara besar seperti Mamungkah dan Ngenteg Linggih, yang menandai penyucian Pura dan penempatan Tuhan dalam manifestasi-Nya di tempat suci. Majejiwan berasal dari bahasa Jawa Kuno, yang berarti "menghidupkan kehidupan" atau "memberi jiwa kepada yang hidup." Dalam praktiknya, majejiwan adalah dialog sakral yang dilaksanakan oleh seorang laki-laki dan perempuan, yang masing-masing melambangkan purusa (kekuatan maskulin) dan pradana (kekuatan feminin). Keduanya merupakan prinsip dasar dalam kepercayaan Hindu Bali, yang diyakini sebagai asal mula penciptaan alam semesta.
Persiapan Upacara Majejiwan di Bale Peselang (Sumber: Koleksi Pribadi)
Makna dan fungsi budaya Majejiwan mencerminkan kedalaman filosofi dan spiritualitas masyarakat Bali. Secara teologis, majejiwan menggambarkan Purusa sebagai kesadaran (cetana) dan Pradana sebagai kebendaan (acetana), dua kekuatan abadi yang saling melengkapi dalam menciptakan harmoni alam semesta. Secara kosmologis, ritual ini merefleksikan penciptaan dunia melalui elemen-elemen alam seperti bumi, laut, gunung, dan hutan yang dipandang sebagai karya agung Tuhan, menegaskan pandangan masyarakat Bali terhadap alam sebagai entitas sakral. Dari sisi sosiologis, majejiwan menjadi simbol pendekatan manusia kepada Tuhan, di mana manusia memohon berkah sekaligus meneguhkan nilai-nilai spiritual dalam kehidupan bermasyarakat. Ritual ini juga memiliki makna magis, karena unsur-unsur seperti beras, tirta (air suci), dan minyak diyakini membawa keberkahan serta perlindungan spiritual. Secara religius, majejiwan adalah bagian penting dari ritual Mapaselang yang merepresentasikan keberadaan Tuhan di tengah umat manusia, melambangkan penyatuan spiritual antara manusia dan Tuhan sebagai inti dari harmoni kehidupan.
Lukisan Semara Ratih Sebagai Simbol Purusa dan Pradana (Sumber: Koleksi Pribadi)
Pada saat upacara Majejiwan terdapat Bait-Bait Penting dalam Tuturan Majejiwan
1. Penciptaan Alam Semesta
"Manira makarya bumi, makarya gunung"
Artinya: Aku menciptakan bumi dan gunung.
Bait ini menunjukkan peran Tuhan sebagai pencipta dunia fisik, mulai dari daratan hingga pegunungan yang dianggap sebagai tempat suci.
2. Asal Kehidupan
"Manira sakeng Keling, sakeng Majapahit, sakeng Singosari"
Artinya: Aku berasal dari Keling, Majapahit, dan Singosari.
Ketiga tempat ini memiliki simbolisme mendalam:
- Keling melambangkan kehidupan dan penciptaan gunung.
- Majapahit menggambarkan lautan sebagai simbol penciptaan air.
- Singosari merepresentasikan sumber benih kehidupan dan lumbung.
3. Isi Dunia
"Isining bhumi: brahmana, ksatriya, wesya, sudra, spatika, ratu, bujangga aji, maka nguni pratiwi, apah, teja, bayu, akasa, saka ungkulan dening raditya, wulan, lintang tranggana."
Artinya: Isi bumi: pendeta, kesatria, pedagang, rakyat, kristal, raja, pendeta suci, serta elemen tanah, air, cahaya, udara, eter, matahari, bulan, dan bintang-bintang.
Bait ini menggambarkan keberagaman elemen yang ada di bumi, mulai dari manusia hingga elemen alam semesta, yang semuanya menjadi bagian dari ciptaan Tuhan.
4. Proses Penyucian
"Manira angindang-ngindang sarwa bija, mas, mirah, intan"
Artinya: Aku mengayak segala biji-bijian, emas, rubi, dan intan.
Proses mengayak ini melambangkan pemurnian dunia dan unsur-unsurnya agar kembali suci.
5. Keberhasilan Ritual
"Yan tan apaselang, tan prasida punang karya"
Artinya: Jika ritual Mapaselang tidak dilakukan, maka upacara tidak akan berhasil.
Bait ini menegaskan pentingnya Mapaselang sebagai inti dari seluruh rangkaian upacara.
6. Pemurnian Dunia
"Yan tan angampuhang kang mala, papa, pataka, lara, rogha, wighna, tan prasida punang karya."
Artinya: Jika tidak menghilangkan segala kotoran, dosa, petaka, derita, dan rintangan, maka upacara tidak akan berhasil.
Bait ini merefleksikan pentingnya pembersihan dunia dari segala mara bahaya sebelum pelaksanaan ritual.