Menelusuri Asal Usul dan Sejarah Desa Adat Bresela
Desa Bresela, sebuah desa di Kecamatan Payangan, Kabupaten Gianyar, Bali, memiliki sejarah panjang yang penuh makna. Berdasarkan cerita yang diwariskan secara turun-temurun oleh leluhur desa, Bresela merupakan salah satu lintasan perjalanan Rsi Markandeya, seorang tokoh agama hindu yang melakukan perjalanannya dari Jawa ke Bali. Perjalanan beliau menuju Bali bertujuan untuk membangun Pura Gunung Raung di Desa Taro yang kemudian menjadi salah satu pura penting di Bali.

Nama Bresela memiliki makna yang erat kaitannya dengan kekayaan alam desa tersebut. Dikisahkan bahwa Rsi Markandeya bersama murid dan pengikutnya menjadikan Bresela sebagai tempat untuk mengumpulkan bahan makanan. Dengan tanahnya yang subur dan mata airnya yang jernih, desa ini menjadi lokasi strategis untuk memenuhi kebutuhan logistik perjalanan mereka menuju ke desa Taro untuk membangun Pura Gunung Raung. Secara etimologis, nama Bresela diyakini berasal dari dua kata, yaitu beras dan sela, yang menggambarkan tempat ini sebagai sumber bahan makanan pokok. Hal ini menunjukkan peran penting Desa Bresela sebagai pusat persediaan makanan pada masa perjalanan Rsi Markandeya. Selain itu, desa ini juga menjadi simbol kemakmuran dan kearifan lokal masyarakatnya.
Masyarakat dan prajuru adat Desa Bresela memiliki keyakinan kuat bahwa desa mereka merupakan salah satu desa tua di Bali. Keyakinan ini tumbuh dari bukti nyata berupa keberadaan sekitar 25 pura yang tersebar di wilayah desa. Pura-pura tersebut tidak hanya berfungsi sebagai tempat peribadatan tetapi juga menjadi saksi bisu sejarah panjang Desa Bresela yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Pura Gunung Mas Merenteng (Sumber : Koleksi Pribadi)
Di antara pura-pura yang ada, beberapa di antaranya memiliki peran penting dalam kehidupan spiritual masyarakat, seperti Pura Kahyangan Tiga yang terdiri dari Pura Dalem, Pura Desa, dan Pura Puseh serta Pura Agung Mas Merenteng, Pura Taman, Pura Sang Hyang Alang, dan Pura Melanting. Keberadaan pura-pura ini tidak hanya menunjukkan keunikan Desa Bresela dalam aspek spiritual tetapi juga menguatkan keyakinan bahwa desa ini telah menjadi pusat kegiatan keagamaan sejak zaman dahulu kala. Meskipun tidak ditemukan bukti tertulis yang secara eksplisit menyatakan Desa Bresela sebagai desa tua, masyarakat percaya bahwa jejak sejarah desa mereka dapat dilihat dari keberadaan pura-pura kuno yang telah ada selama berabad-abad. Pura-pura ini tidak hanya menjadi tempat sembahyang tetapi juga berperan sebagai simbol keberlanjutan tradisi dan identitas budaya desa. Berdasarkan cerita yang diwariskan secara lisan, pura-pura di Bresela menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari masyarakat, mulai dari upacara keagamaan hingga adat istiadat yang mengikat hubungan mereka dengan leluhur. Dalam keyakinan masyarakat, tradisi ini mencerminkan penghormatan mendalam terhadap sejarah, leluhur, dan alam sekitar.
Suasana Persembahyangan di Pura Puseh (Sumber: Koleksi Pribadi)
Prinsip Tri Hita Karana, yang berakar pada filosofi keharmonisan antara manusia, alam, dan Tuhan, menjadi landasan hidup masyarakat Desa Bresela. Prinsip ini tidak hanya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga menjadi dasar dalam pelaksanaan tradisi, adat istiadat, dan pengelolaan lingkungan desa. Aspek Parhyangan, atau hubungan spiritual antara manusia dengan Tuhan, memiliki tempat yang istimewa di Desa Bresela. Pura-pura yang tersebar di desa, seperti Pura Kahyangan Tiga, Pura Agung Mas Merenteng, hingga Pura Sang Hyang Alang, menjadi pusat kegiatan keagamaan masyarakat. Masyarakat menjadikan pura sebagai tempat suci untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa, melaksanakan persembahan, dan memohon kekuatan spiritual demi kesejahteraan desa.Keberadaan pura-pura ini tidak hanya mencerminkan keimanan masyarakat, tetapi juga menjadi simbol pengabdian yang tulus kepada Tuhan. Aspek Parhyangan di Desa Bresela sangat dihormati, sehingga segala elemen yang terkait dengannya dianggap sakral dan tidak boleh diubah sembarangan. Masyarakat percaya bahwa menjaga kesucian pura sama dengan menjaga keseimbangan spiritual desa. Hubungan antara sesama manusia, atau Pawongan, diwujudkan melalui gotong royong dan kebersamaan dalam setiap kegiatan adat dan sosial. Tradisi odalan yang diadakan di pura-pura desa melibatkan seluruh masyarakat tanpa memandang status sosial, menciptakan rasa persaudaraan yang kuat. Selain itu, kehidupan sosial di Desa Bresela juga mencerminkan kearifan lokal yang menjunjung tinggi toleransi dan rasa saling menghormati. Struktur banjar yang ada di desa, seperti Banjar Bresela, Banjar Tri Wangsa Bresela, dan Banjar Gadungan, berfungsi sebagai wadah untuk mempererat hubungan antarwarga sekaligus mengatur pelaksanaan adat istiadat.
Persiapan Masyarakat Odalan Pura Dalem (Sumber: Koleksi Pribadi)
Aspek Palemahan, atau hubungan manusia dengan alam, diwujudkan melalui penghormatan terhadap lingkungan sekitar. Desa Bresela yang dikenal dengan tanahnya yang subur dan mata air yang jernih terus dijaga kelestariannya oleh masyarakat. Mereka percaya bahwa alam adalah anugerah dari Tuhan yang harus dimanfaatkan secara bijaksana dan dilestarikan untuk generasi mendatang. Kegiatan pertanian tradisional yang masih dilakukan oleh masyarakat menjadi salah satu bentuk implementasi prinsip Palemahan. Selain itu, keberadaan desa sebagai penghasil dulang ukir terbesar di Bali menunjukkan bagaimana masyarakat memanfaatkan kekayaan alam dengan kreativitas tanpa merusak lingkungan.
Tradisi Banten sate atau ngaturang sodan di Desa Bresela tidak hanya menjadi bagian dari rutinitas keagamaan, tetapi juga melambangkan hubungan mendalam antara masyarakat dengan warisan leluhur mereka. Dalam tradisi ini, banten atau persembahan disusun dengan penuh ketelitian dan rasa hormat. Bentuk-bentuk seperti sate, urutan, dan tum, yang menjadi ciri khas persembahan ini, memiliki arti simbolis yang mendalam. Sate melambangkan pengorbanan, urutan menggambarkan kesinambungan kehidupan, dan tum mencerminkan doa serta harapan akan kesejahteraan. Setiap kali tradisi ini dilakukan, suasana gotong royong di Desa Bresela terasa sangat kental.
Banten Sate (Sumber: Koleksi Pribadi)
Masyarakat dari berbagai kalangan bersama-sama mempersiapkan banten, mulai dari menyiapkan bahan, memasak, hingga menyusun persembahan. Proses ini tidak hanya mempererat hubungan antarwarga, tetapi juga menjadi sarana untuk menanamkan nilai-nilai kebersamaan kepada generasi muda. Selain aspek spiritual, tradisi ini juga mencerminkan penghargaan terhadap alam. Bahan-bahan yang digunakan untuk membuat banten umumnya berasal dari hasil alam sekitar, seperti daging, buah-buahan, dan rempah-rempah. Hal ini menunjukkan bagaimana masyarakat Desa Bresela menjaga hubungan harmonis dengan alam, sebagaimana yang diajarkan dalam konsep Tri Hita Karana. Lebih dari itu, tradisi ngaturang sodan atau banten sate menjadi momentum refleksi bagi masyarakat desa. Dalam setiap persembahan, tersirat rasa syukur atas berkah yang telah diberikan, sekaligus harapan agar desa terus dilimpahi kedamaian, kemakmuran, dan kebahagiaan. Tradisi ini adalah warisan budaya yang tidak hanya memperkuat spiritualitas, tetapi juga menjadi identitas yang membedakan Desa Bresela dari desa-desa lain di Bali.
Desa Bresela tidak hanya dikenal karena nilai spiritual dan tradisi leluhur yang kental, tetapi juga karena keahliannya dalam seni ukir. Desa ini telah menjadi sentra penghasil dulang ukir terbesar di Bali, bahkan produknya telah merambah pasar nasional hingga internasional. Keahlian ini diwariskan secara turun-temurun dan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas masyarakat Bresela. Dulang ukir merupakan salah satu hasil kerajinan tangan khas Bali yang memiliki nilai seni tinggi. Biasanya, dulang ukir digunakan dalam upacara adat atau keagamaan, seperti persembahan di pura. Motif-motif yang diukir pada dulang sering kali mengandung simbol-simbol tradisional Bali, seperti bunga teratai, naga, atau ornamen berbentuk geometris yang mencerminkan filosofi Hindu. Keindahan dulang ukir dari Desa Bresela terletak pada detailnya yang halus dan keunikan desainnya yang tidak ditemukan di tempat lain.
Dulang Ukir Desa Bresela (Koleksi: Sumber Pribadi)
Proses pembuatan dulang ukir membutuhkan keterampilan tinggi dan kesabaran. Para pengrajin di Desa Bresela memulai dengan memilih kayu berkualitas, seperti kayu mahoni atau kayu suar, yang kemudian dipahat dengan teknik khusus. Setiap langkah pengerjaan, mulai dari pemotongan kayu hingga tahap akhir pewarnaan, dilakukan secara manual untuk memastikan hasil yang sempurna.
Tidak hanya menjadi sumber penghidupan, seni dulang ukir juga berperan penting dalam melestarikan budaya dan tradisi lokal. Anak-anak muda di desa ini diajarkan seni ukir sejak usia dini, sebagai bentuk regenerasi agar warisan ini tidak punah. Selain itu, pemerintah daerah bersama masyarakat juga aktif mempromosikan dulang ukir melalui berbagai pameran seni dan festival budaya, menjadikan Desa Bresela sebagai destinasi wisata seni ukir yang wajib dikunjungi. Keberadaan dulang ukir dari Bresela bukan hanya sekadar produk seni, melainkan juga cerminan dari filosofi hidup masyarakat desa yang menghargai keindahan, ketelitian, dan keharmonisan dengan alam. Hal ini sejalan dengan prinsip Tri Hita Karana yang menjadi dasar kehidupan mereka, di mana seni juga dianggap sebagai wujud syukur kepada Sang Hyang Widhi Wasa.