Pesona Sading Yowana Festival 2025: Melihat Wajah Baru Penjor dalam Balutan Kreativitas Generasi Muda
Meriahkan suasana Galungan dan Kuningan, Desa Adat Sading menghadirkan Sading Yowana Festival 2025 yang memadukan tradisi dan inovasi. Festival ini menyoroti kreativitas pemuda melalui kompetisi Penjor Hias yang memukau. Sebuah perayaan budaya yang menyandingkan kemegahan estetika modern dengan kekhusyukan tradisi, mengundang decak kagum siapa saja yang melintas.
Suasana di Desa Adat Sading, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, terasa sangat berbeda pada bulan November 2025 kemarin. Bertepatan dengan perayaan hari raya Galungan dan Kuningan, jalanan desa tidak hanya dipenuhi oleh penjor upacara di depan rumah warga, tetapi juga dimeriahkan oleh deretan penjor hias yang berjejer rapi di sepanjang jalan utama. Tepatnya di depan Pura Desa dan Wantilan dan area Pura Dalem Tungkub, pemandangan unik ini langsung menarik perhatian siapa saja yang melintas. Ini adalah bagian dari kemeriahan Sading Yowana Festival 2025, sebuah acara perdana yang digelar khusus untuk mewadahi kreativitas generasi muda di desa tersebut.
Acara ini diselenggarakan oleh Sabha Yowana Giri Winangun dan berlangsung cukup panjang, mulai dari tanggal 9 November hingga 30 November 2025. Ketua pelaksana acara, I Gede Agus Ary Sanjaya, menyebutkan bahwa festival ini lahir dari keinginan kuat para pemuda atau Sekaa Teruna di Desa Adat Sading. Melihat tren lomba penjor yang sedang ramai di berbagai daerah, mereka ingin ikut ambil bagian dan unjuk gigi. Karena itulah, festival ini hadir sebagai panggung bagi sebelas Sekaa Teruna di Desa Adat Sading untuk menyalurkan bakat seni mereka, sekaligus merayakan momen hari raya dengan cara yang kreatif.
Deretan Penjor Hias di Yowana Sading Festival 2025 (Sumber Foto : Koleksi Pribadi)
Penyelenggaraan festival di bulan November ini menjadi momen yang pas karena beriringan dengan hari raya Galungan dan Kuningan. Hal ini memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk melihat langsung perbedaan antara Penjor Sakral dan Penjor Hias. Penjor Sakral adalah sarana upacara yang wajib dipasang oleh umat Hindu pada hari Penampahan Galungan, biasanya setelah jam 12 siang. Penjor ini memiliki makna filosofis yang sangat dalam sebagai simbol Naga Basuki yang melambangkan kesejahteraan, serta simbol gunung yang dianggap suci. Setiap bahannya pun mewakili simbol dewa, seperti bambu untuk Dewa Brahma, kelapa untuk Dewa Rudra, hingga padi dan hasil bumi sebagai simbol Dewi Sri. Tujuannya murni sebagai wujud syukur dan kemenangan melawan ego atau sifat negatif dalam diri.
Di sisi lain, penjor yang dilombakan dalam festival ini adalah Penjor Hias. Berbeda dengan penjor sakral yang memiliki aturan baku terkait perlengkapan upakara atau banten, penjor hias lebih mengutamakan unsur seni dan estetika. Jenis penjor ini memang biasa dibuat untuk memeriahkan acara desa atau lomba kesenian. Dalam kompetisi ini, para peserta diberikan kebebasan untuk berkreasi dengan bentuk dan hiasan, selama tetap menjaga norma dan kesopanan budaya Bali. Jadi, meskipun bentuk dasarnya sama-sama bambu melengkung, fungsi dan aturan pembuatannya sangat berbeda.
Perbandingan Penjor Keagamaan/Upacara dengan Penjor Hias (Sumber Foto : Koleksi Pribadi)
Kompetisi penjor ini dinilai pada tanggal 12 November oleh tiga juri yang sudah berpengalaman di bidangnya, yaitu I Wayan Eka Sukerya Ghama, I Putu Arif Suciawan, dan AA Raka Yudhi Pratama. Kriteria penilaiannya cukup detail, mencakup keutuhan karya, keselarasan konsep, keharmonisan, hingga apakah penjor tersebut bisa berdiri tegak (jejeg) dan rapi.
Dari hasil penilaian tersebut, Juara I berhasil diraih oleh Sekaa Teruna Dwi Eka Bhakti dari Banjar Sengguan Pasekan dengan karya bernama "Penjor Durmanggala". Karya ini mengangkat makna tentang ritual penyucian, di mana Durmanggala diartikan sebagai sarana untuk menetralisir kekuatan negatif, baik yang ada di alam semesta maupun di dalam diri manusia. Posisi Juara II ditempati oleh Sekaa Teruna Dwi Tunggal dari Banjar Puseh yang juga menampilkan karya yang sangat rapi dan indah.
Salah satu karya yang cukup mencuri perhatian adalah peraih Juara III, yaitu Sekaa Teruna Eka Budhi Dharma dari Banjar Karang Suwung dengan karya berjudul "Tirta Selaka". Konsep penjor ini terinspirasi langsung dari sejarah Pura Kereban Langit yang ada di Desa Adat Sading. Nama "Tirta Selaka" diambil dari mata air suci di pura tersebut, di mana "tirta" berarti air dan "selaka" berarti perak.
Secara visual, Penjor Tirta Selaka ini menggambarkan kesucian dan ketenangan. Para pemuda Banjar Karang Suwung menggunakan bahan-bahan alami seperti daun ental, daun simbar, kertas, dan kain dengan dominasi warna bernuansa perak. Bentuk hiasannya dibuat melingkar dan memiliki pola reringgitan yang menggambarkan aliran air yang terus mengalir. Selain itu, ada bentuk pancoran yang menjadi simbol sumber mata air kehidupan. Karya ini ingin mengajak orang yang melihatnya merasakan suasana sejuk dan damai, seperti saat sedang melukat di Pura Kereban Langit.
Penjor Tirta Sekala di depan Pura Dalem Tungkub (Sumber Foto : Koleksi Pribadi)
Selain lomba penjor, Sading Yowana Festival 2025 juga diisi dengan berbagai kegiatan positif lainnya. Rangkaian acara dibuka dengan aksi lingkungan, seperti gotong royong membersihkan desa, penanaman pohon, dan penebaran benih ikan. Setelah itu, barulah digelar berbagai lomba budaya, mulai dari Lomba Gebogan dengan tema Panca Rengga, Lomba Ngelawar yang menyajikan menu khas Lawar Nangka daging babi, hingga lomba membuat konten video atau Cultural Reels untuk anak muda yang hobi bermedia sosial.
Pihak panitia juga sangat memperhatikan aspek kenyamanan dan ketertiban desa. Ketua pelaksana menekankan pentingnya menyesuaikan pemasangan penjor dengan kondisi lingkungan, terutama terkait kabel listrik. Melalui festival ini, mereka mendukung program pemerintah dalam penataan kabel agar tradisi pemasangan penjor tetap bisa berjalan lancar tanpa mengganggu fasilitas umum. Harapannya, masyarakat bisa melaksanakan yadnya dengan nyaman dan desa tetap terlihat rapi.
Seluruh rangkaian festival ini akan ditutup dengan pencabutan penjor pada tanggal 30 November 2025. Lebih dari sekadar ajang lomba, Sading Yowana Festival 2025 telah berhasil menjadi wadah yang positif bagi generasi muda. Acara ini membuktikan bahwa anak muda Desa Adat Sading mampu melestarikan budaya leluhur dengan cara yang kreatif dan menyenangkan. Dengan adanya kegiatan seperti ini, diharapkan rasa kebersamaan antar pemuda semakin kuat dan Desa Adat Sading semakin dikenal luas lewat potensi budayanya.