Interaksi Penduduk Pulau Bali dengan Negara Luar pada zaman Prasejarah
Sejak ribuan tahun sebelum memasuki catatan sejarah, Pulau Bali telah menjadi titik temu berbagai budaya yang datang melalui jalur migrasi dan perdagangan maritim. Beragam bukti arkeologis menunjukkan bagaimana masyarakat prasejarah Bali berinteraksi dengan pendatang Austronesia, pedagang Asia Tenggara, hingga India dan Tiongkok, menjadikan Bali bagian dari jaringan budaya internasional. Dinamika ini membentuk fondasi awal perkembangan sosial, ekonomi, dan budaya yang kemudian berkembang menjadi kekayaan peradaban Bali yang dikenal hingga kini.
Asal-usul penduduk Pulau Bali berakar pada kedatangan bangsa Austronesia yang diperkirakan memasuki Nusantara melalui dua gelombang besar migrasi. Gelombang pertama, yaitu kelompok Proto-Melayu–Polinesia, tiba sekitar 3000–1500 SM. Mereka bergerak dari wilayah Taiwan hingga Filipina melalui jalur maritim menuju Indonesia bagian barat, termasuk Kalimantan, Sulawesi, Sumatra, dan akhirnya Pulau Bali. Dari kelompok inilah berkembang bahasa-bahasa Malayo-Polinesia, termasuk bahasa Bali yang hari ini masih mempertahankan banyak unsur warisan Proto-Melayu–Polinesia. Pada masa ini pula masyarakat mulai menerapkan teknik bercocok tanam sederhana, memproduksi tembikar, dan mengembangkan kemampuan navigasi laut yang memungkinkan mereka berhubungan dengan komunitas pesisir lainnya.
Ilustrasi AI Masyarakat Bali yang memulai menerapkan kebudayaan Agraris (Sumber: Koleksi Pribadi)
Gelombang kedua kedatangan Austronesia, dikenal sebagai kelompok Deutro-Melayu, memasuki wilayah Nusantara sekitar 500–300 SM. Mereka membawa kebudayaan logam yang lebih maju, khususnya tradisi perunggu dan besi yang merupakan ciri khas budaya Dongson yang berkembang di Vietnam sejak sekitar 600–300 SM. Di Bali, bukti keberadaan budaya Dongson ditemukan melalui fragmen cetakan nekara di Desa Manuaba dan Sembiran, yang menunjukkan bahwa teknologi dan simbol budaya Asia Tenggara Daratan telah mencapai Bali jauh sebelum munculnya kerajaan-kerajaan awal. Penyebaran gerabah Sa-Hyunh dari Vietnam (sekitar 500 SM – 200 M) dan gerabah Kalanay dari Filipina (sekitar 500 SM – 100 M) turut memperkuat gambaran bahwa Bali berada dalam jaringan pertukaran budaya Austronesia-Asia Tenggara sejak masa prasejarah.
Nekara Pejeng (Sumber : Urs Ramseyer)
Pada saat yang hampir bersamaan, sekitar 500 SM hingga awal Masehi, Bali juga tercatat menjalin kontak awal dengan India. Pedagang dan pelaut dari Asia Selatan membawa sejumlah benda yang kini ditemukan sebagai tinggalan arkeologis, di antaranya gerabah India dengan pola khas, manik-manik kaca berwarna cerah, serta manik-manik karnelian yang populer dalam perdagangan Asia Selatan pada periode tersebut. Hubungan ini menunjukkan bahwa jalur perdagangan laut antara India dan Asia Tenggara sudah terbentuk jauh sebelum era Hindu-Buddha berkembang pesat di Nusantara.
Selain interaksi langsung, penggambaran wilayah Nusantara juga muncul dalam literatur Tiongkok. Dalam Chiu T’ang Shu (Buku Dinasti Tang Tua), yang disusun sekitar 940–945 M, disebutkan keberadaan sebuah negeri bernama Po-li. Meskipun catatannya muncul pada periode yang lebih muda daripada prasejarah, isinya dianggap merekam tradisi lisan dan pengetahuan yang lebih tua mengenai dunia maritim Asia Tenggara. Po-li digambarkan sebagai kerajaan yang terletak di sebuah pulau di laut tenggara Lin-yi, memiliki masyarakat berkulit gelap, dan dipimpin oleh raja bergelar Kshatriya. P. Pelliot sempat mengajukan dugaan bahwa Po-li merujuk pada Bali, namun banyak ahli lain yang berpendapat bahwa Po-li kemungkinan besar berada di Kalimantan. Meskipun demikian, keberadaan catatan ini menunjukkan bagaimana kawasan Indonesia, termasuk Bali, telah lama dikenal oleh penulis asing dan menjadi bagian dari rute pelayaran internasional.
Menjelang akhir masa prasejarah, sekitar 200 SM hingga 200 M, berbagai jalur perdagangan baru mulai terbentuk di wilayah Asia Tenggara, menghubungkan Indonesia dengan pedagang dari India, Cina, dan kawasan lain. Bali menjadi salah satu titik persinggahan penting karena menyediakan komoditas bernilai tinggi seperti damar, rotan, kulit penyu, obsidian, serta manik-manik lokal yang banyak digunakan dalam ritual. Pertukaran ini membuat Bali semakin terhubung dengan dunia luar, tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga secara budaya, sehingga membuka jalan bagi perkembangan spiritual dan politik pada masa-masa berikutnya.
Ilustrasi AI Pulau Bali Yang Menjadi Salah Satu Jalur Perdagangan Internasional (Sumber : Koleksi Pribadi)
Dengan melihat berbagai jalur migrasi dan interaksi tersebut, dapat disimpulkan bahwa Bali pada masa prasejarah bukanlah pulau yang terpencil atau tertutup. Sejak 3000 SM, penduduk Bali telah menjadi bagian dari arus migrasi besar bangsa Austronesia, menerima pengaruh teknologi Dongson sekitar 500 SM, berinteraksi dengan pedagang India sejak 500 SM, dan kemudian memasuki jaringan perdagangan Asia Tenggara yang lebih luas menjelang awal Masehi. Jejak-jejak inilah yang menjadi fondasi kuat bagi perkembangan Bali sebagai pusat budaya dan perdagangan penting di Nusantara.