Pewintenan dan Mejejaya-Jaya Prawartaka: Rangkaian Pertama dari Yadnya Agung Desa Adat Mengwitani

Upacara Pewintenan merupakan proses penyucian diri yang sangat penting bagi para Prawartaka. Esensi dari upacara ini adalah untuk membersihkan diri secara mental dan spiritual, mempersiapkan mereka untuk tanggung jawab besar yang akan mereka emban. Proses penyucian ini membantu para Prawartaka untuk mengosongkan diri dari beban negatif, sehingga mereka siap menerima berkah dan perlindungan dalam menjalankan tugas mereka.

Jun 23, 2024 - 00:02
Jun 25, 2024 - 20:44
Pewintenan dan Mejejaya-Jaya Prawartaka: Rangkaian Pertama dari Yadnya Agung Desa Adat Mengwitani
Upacara Pewintenan dan Mejaya-jaya
Desa Adat Mengwitani akan melangsungkan karya atau Yadnya Agung Ngenteg Linggih Ngusabha Desa dan Mahapayu Nini, yang puncaknya akan berlangsung pada tanggal 5 Oktober 2024. Karya ini merupakan peristiwa sakral yang terakhir kali dilaksanakan sekitar 45 tahun yang lalu, dan kini akan digelar kembali dengan semangat untuk menghidupkan kembali warisan leluhur, menjaga keutuhan tradisi, memperkuat spiritualitas desa, serta memuliakan kearifan lokal yang menjadi salah satu fondasi kehidupan masyarakat Mengwitani.
 
Tahapan pertama dari rangkaian upacara ini adalah upacara Pewintenan dan Mejejaya-Jaya yang diikuti oleh Prawartaka atau panitia pelaksana karya. Upacara ini dilaksanakan pada hari Saniscara Kliwon wuku Wayang (Tumpek Wayang), tanggal 22 Juni 2024, di Pura Desa Puseh Mengwitani, yang bertepatan dengan rahinan di pura tersebut. Kedua upacara ini memiliki makna yang sangat mendalam dan penting dalam mempersiapkan para Prawartaka untuk menjalankan tugas besar mereka. Upacara ini dipimpin oleh Sulinggih, yang merupakan Yajamana Karya, yaitu Ida Peranda Putra Pasuruan, dari Grya Gede Taman Lukluk.
 
Upacara Pewintenan merupakan proses penyucian diri yang sangat penting bagi para Prawartaka. Esensi dari upacara ini adalah untuk membersihkan diri secara mental dan spiritual, mempersiapkan mereka untuk tanggung jawab besar yang akan mereka emban. Proses penyucian ini membantu para Prawartaka untuk mengosongkan diri dari beban negatif, sehingga mereka siap menerima berkah dan perlindungan dalam menjalankan tugas mereka.
 
Selain upacara Pewintenan, juga dilaksanakan upacara Guru Piduka. Upacara Guru Piduka adalah bentuk “kesadaran” bahwa manusia tak luput dari kekeliruan dan kesalahan yang dilakukan akibat tidak mampu atau belum sepenuhnya menjalankan amanat dari para dewa atau Ida Bhatara (Guru Swadyaya). Upacara ini mengakui keterbatasan dan memohon pengampunan serta petunjuk untuk terus berusaha menjadi lebih baik.
 
Upacara Mejejaya-Jaya bertujuan untuk memohon restu dan keselamatan bagi para Prawartaka dalam menjalani tugas besar mereka. Makna dari upacara ini adalah untuk memperkuat komitmen dan kesiapan mereka dalam menjalankan tugas sebagai pelaksana karya. Restu yang dimohonkan dari upacara ini diharapkan memberikan kekuatan dan keberhasilan dalam setiap langkah yang mereka ambil, serta menjaga keharmonisan dan keseimbangan dalam pelaksanaan tugas. Restu ini terutama dimohonkan kepada Sanghyang Widhi, terutama Ista Dewata yang berstana di Pura Desa Puseh Mengwitani, sebagai sumber kekuatan dan perlindungan spiritual.
 
Selain upacara Pewintenan ini, pada rangkaian pertama acara ini juga dilaksanakan Nunas Sica oleh seluruh masyarakat (krama desa). Masyarakat menggunakan sarana upakara canang don sebagai persembahan di setiap pura atau tempat suci yang ada di lingkungan Desa Adat Mengwitani, termasuk di mrajan setiap rumah krama. Nunas Sica ini bertujuan untuk memohon petunjuk dan berkah agar seluruh rangkaian upacara dapat berjalan dengan lancar dan mendapatkan restu dari para dewa.
 
Dengan melaksanakan upacara Pewintenan, Mejejaya-Jaya, serta Guru Piduka dan Nunas Sica yang secara menyeluruh dilakukan krama, para Prawartaka tidak hanya mendapatkan perlindungan dan berkah, tetapi juga memperkuat komitmen mereka dalam melaksanakan tugas besar ini. Upacara ini mencerminkan kebijaksanaan dan kearifan lokal yang terus hidup dan mewarnai keseharian masyarakat Bali, serta memastikan pelaksanaan yadnya mendapatkan tuntunan oleh para dewa.