Petulangan: Sarana Suci untuk Pitra Yadnya
Keragaman suku dan budaya di Bali tidak pernah gagal untuk membuat orang berdecak kagum. Selain kaya akan suku dan budaya, masih banyak hal yang bisa ditelurusi di Pulau Seribu Pura ini. Seni pun menjadi komponen dari keragaman budaya dan daya tarik Pulau Bali. Tak hanya keindahan dari seni itu sendiri, tetapi juga kegunaannya untuk kegiatan keagamaan di Bali. Salah satunya adalah karya manusia yang berperan penting dalam upakara ngaben, yakni Petulangan.
Bali merupakan pulau yang sudah dikenal dunia mengenai keragamanan budaya dan adatnya. Tak hanya budaya serta adat istiadatnya, Bali juga terkenal dengan seni yang khas seperti patung, sastra, tari, gamelan, dan lain – lain. Di Bali, kesenian itu lahir dan berkembang dengan subur saling tunjang - menunjang dengan kehidupan beragama sehingga terwujud dalam pelaksanaan Panca Yadnya, salah satunya Pitra Yadnya. Kesenian di Bali sering digunakan sebagai alat dalam Upacara Ngaben atau Pitra Yadnya. Pitra Yadnya terdiri dari dua suku kata, yakni Pitra sebagai orang tua dan Yadnya sebagai pengorbanan yang dilandasi hati yang tulus suci kepada leluhur. Pitra Yadnya memiliki arti tersendiri, yakni upacara keagamaan umat Hindu yang diadakan untuk menyelenggarakan jenazah atau roh keluarga yang meninggal. Pada Upacara ini digunakan banyak alat – alat upakara atau sajen sebagai sarananya. Salah satu sarananya adalah Petulangan atau Wadah.
Petulangan adalah sebuah sarana yang digunakan untuk membakar mayat atau orang yang sudah meninggal. Petulangan ini berasal dari kata tulang yang diberikan imbuhan pe- dan juga akhiran -an. Sehingga kata petulangan ini dapat diartikan sebagai tempat atau wadah untuk meletakkan tulang dari jenazah orang yang sudah meninggal untuk proses pembakaran mayat pada upacara ngaben. Penggunaan petulangan sebagai wadah sudah digunakan pada zaman motor renggong pada Kerajaan Gelgel yang kurang lebih terjadi pada abad ke-15 hingga abad ke-16 masehi lalu.
Petulangan (Sumber Foto: Kanal Pujangga Nagari Nusantara)
Fungsi petulangan dalam upacara ngaben ini sangat erat kaitannya dengan kepercayaan nenek moyang terhadap bintang - binatang yang dianggap suci, keramat dan memiliki makna-makna tertentu. Menurut Drs. Ida Bagus Purwita dari Griya Yang Batu Denpasar, berdasarkan filosofinya perwujudan binatang dalam petulangan ini memiliki makna sebagai penunjuk jalan bagi roh-roh yang sudah meninggal untuk menuju surga. Bentuk dari petulangan ini juga beragam dan biasanya berbentuk menyerupai binatang atau satwa tradisi. Kata binatang memiliki istilah lain, yaitu sattwa yang berasal dari kata sukatasat dan Tua. Kedua kata ini memiliki arti, yaitu sukatsat yang berarti esensi atau inti, sedangkan tua berarti sifat. Sehingga istilah sattwa dapat diartikan sebagai sifat esensiil dimana dalam agama Hindu ialah Tuhan Yang Maha Esa. Sehingga perwujudan binatang dalam petulangan ini memiliki makna dan tujuan agar roh dapat secepatnya menuju Siwa Loka atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Penggunaan wujud binatang yang beragam dalam pertulangan ini biasanya ditentukan oleh sifat watak dan kewajiban seseorang dalam masyarakat.
Dalam lontar Yama Purwana Tattwa dikatakan terdapat sejumlah bentuk dan jenis petulangan dalam upacara ngaben. Disebutkan dalam lontar bentuk dari petulangan ini bermacam – macam, ada yang berbentuk (a) Lembu; (b) Macan; (c) Singa; (d) Naga Kaang; (e) Gedarba; (f) Sudang - sudangan; dan (g) Gajah Mina. Bentuk wadah atau petulangan ini juga tidak dapat digunakan oleh sembarangan orang. Pemakaian setiap bentuknya disesuaikan dengan kasta/warga, sekte yang dianut leluhurnya yang ada dalam masyarakat. Bentuk pertama ada petulangan Lembu yang memiliki dua warna, yaitu putih dan hitam. Idealnya lembu putih digunakan oleh orang yang dipandang suci seperti para pendeta, pemangku, dan yang lainnya. Sedangkan, untuk lembu hitam digunakan oleh ksatria dan brahmana welaka. Kedua, bentuk petulangan macan memiliki ciri khas yakni berbentuk harimau yang berwarna merah dengan kulit belang. Pada petulangan macan ini biasanya digunakan oleh warga Pasek Pulosari dan Pande. Ketiga, bentuk petulangan singa atau yang sering disebut sebagai Singa Ambara Raja yang memiliki ciri khas, yaitu warna merah tua dengan memiliki sayap. Umumnya wadah singa ini digunakan oleh kalangan raja – raja dan warga Tangkas Kori Agung. Kemudian, bentuk petulangan naga kurang lebih memiliki ciri – ciri yang mirip dengan singa, yaitu memiliki sayap dan badan bersisik ikan. Istilah naga di sini diartikan sebagai suatu yang tidak bergerak yang berarti tetap ada dan sesuatu yang abadi. Petulangan naga ini diperuntukkan untuk para arya sentong, dan sekte Wisnu. Bentuk petulangan gedarba idealnya adalah binatang beruang yang berwarna hitam dengan ciri – ciri, yaitu kaki bertanduk. Biasanya, petulangan gedarba ini digunakan oleh kula wangsa atau umum digunakan oleh kebanyakan orang. Bentuk Petulangan sudang – sudangan merupakan petulangan berbentuk ikan dengan kulit bersisik. Petulangan satu ini umumnya digunakan oleh para nelayan di daerah tepi pantai. Lalu, yang terakhir adalah gajah mina, yaitu petulangan yang berbentuk ikan besar dengan kepala gajah. gajah mina ini adalah simbol yang mewujudkan pemujaannya kepada Dewa Wisnu. Biasanya petulangan gajah mina ini digunakan oleh penganut sekte Waisnawa dalam agama hindu.
Wadah (Sumber Foto: Kanal Pujangga Nagari Nusantara)
Pada dasarnya, setiap jenis petulangan memiliki ukuran dan hiasan atau bahan - bahan yang berbeda tetapi dengan bahan dasar yang sama. Petulangan biasanya diperlukan beberapa bahan seperti kayu yang digunakan untuk membuat kerangka dan kepala dari petulangan, kemudian ada bambu yang digunakan untuk membuat anyaman dalam pembuatan badan, lalu yang ketiga ada kain, khususnya kain bludru yang digunakan untuk menutupi badan dari petulangan sekaligus menentukan warna dari petulangannya. Adapun bahan - bahan lain yang digunakan sebagai ornamen, antara lain: benang, kertas, karton, ijuk, dan lain - lain yang biasanya divariasikan sesuai kreativitas dari undagi atau para pembuat petulangan tersebut. Pembuatan petulangan ini memiliki nilai - nilai keindahan dalam seni. Mulai dari penentuan rasio dan proporsi anatomi dari tiap bentuk petulangan, pewarnaan hingga penyusunan elemen - elemen hiasannya yang diselaraskan sehingga membentuk sebuah karya yang utuh dan bermakna.
Berdasarkan filosofi makna dan esensiil dari tiap - tiap elemen dari petulangan menjadikan petulangan sebagai suatu hal yang dianggap wajib dan dapat menjadikan upacara ngaben menjadi afdol atau lebih baik. Petulangan memiliki kegunaan baik dari aspek religi maupun estetika dalam suatu upacara. Oleh karena itu, tak salah lagi mengapa masyarakat Bali sering kali menggunakan petulangan dalam pelaksanaan Pitra Yadnya dengan mempertimbangkan makna dari penggunaan petulangan serta menambah keindahan upacara.