Pura Dalem Guha Watu Pageh: Menguak Rahasia Sejarah dan Kekayaan Spiritual yang Terpendam
Pura Dalem Guha Watu Pageh bukan sekadar destinasi rohaniah tetapi merupakan lembaran hidup yang merekam perjalanan panjang, penuh sejarah dan kebijaksanaan spiritual. Dengan jejak waktu yang terukir dalam setiap batu dan arsitektur indahnya, pura ini menawarkan pengalaman mendalam dalam memahami bagaimana warisan budaya dan spiritual berkembang. Mari kita merambah ke dalam sejarah yang tersembunyi, menjelajahi kekayaan yang menghiasi Pura Dalem Guha Watu Pageh, sebuah tempat yang bukan hanya memimpin peribadatan, tetapi juga mengandung pesan universal yang dapat memberikan inspirasi kepada setiap pengunjungnya.
Berdasarkan buku Purana Pura Dalem Guha Watu Pageh keberadaan pura yang ada di Bali tidak bisa dilepaskan dari kedatangan 6 para tokoh yang berasal dari luar Bali. Begitu pula sejarah berdirinya Pura Dalem Watu Pageh yang tidak bisa dilepaskan dari kedatangan tokoh agama yang datang ke Bali yaitu Dang Hyang Nirartha (Dang Hyang Dwijendra). Tersebutlah Danghyang Dwijendra, melanjutkan perjalan ke arah tenggara, lalu beliau ke arah barat daya, ada tebing yang menonjol ke laut, di Bukit Badung tempatnya, lalu beliau menuju tempat itu dengan mengikuti tepi pantai, tiada berapa lama sampai beliau di sana, lalu beliau melihat disekeliling tempat itu, ke utara, ke barat, ke selatan, ke timur, beliau melakukan yoga di sana, lalu beliau membuat Parhyangan, tiada lama setelah selesai dan diupakarai, Parhyangan itu diberi nama Uluwatu, tidak jauh dari tempat itu beliau mendirikan pasraman, disebut Pura Bit Gong.
Foto Persembahyangan di Pura Dalem Guha Watu Pageh(Sumber Photo: Koleksi Pribadi)
Adapun setelah itu beliau melanjutkan perjalanan, ke arah timur, tiada diceri dalam perjalanan sampailah beliau di Goa Watu Pageh. Di tempat itu beliau mendirikan Parhyangan, disebut Pura Dalem Guha Watu Pageh, sampai saat ini. Dari tempat ini beliau menuju Bwalu, di tepi pantai, di arah selatan timur/tenggara Bwalu, ada tebing yang menonjol ke laut, di tempat itu beliau istirahat, dengan menancapkan payungnya, seketika keluar air dari tempat menancapkan payung itu, air itu dipakai untuk penyucian. dipeliharalah air suci itu oleh orang-orang di sana, merupakan tempat sumber kehidupan, lalu diberi nama Pura Bukit Payung, sampai saat ini. Setelah beliau meninggalkan tempat itu dan menuju arah utara, tiada jauh dari tempat itu tersebut ada Giliwatu (Pulau Batu), di tengah- tengahnya ada pulau kecil, disebut Nusa Duwaning Loka, di tempat itu beliau istirahat serta mengarang Kekawin, yaitu Anyang Nirartha, setelah selesai menggubah karangan, beliau melanjutkan ke arah utara, sampailah beliau di Serangan, di tepi Serangan di arah barat laut, amat senang hatinya, melihat keindahan alam laut, lalu Danghyang istirahat di tempat itu mendirikan Parhyangan di tengah pulau kecil itu. Tiada terbilang kesian Parhyangan itu diberi nama Pura Sakenan, bertambahlah keindahan samudra karena kesucian pura tersebut. jernih air lautnya, tiada celanya, amat senanglah hati beliau tinggal di sana, banyaklah keindahan kalau diceritrakan.
Marilah ceritrakan kembali, keberadaan Guha Watu Pageh, yang berada di ujung selatan pulau Bali, banyak terdapat pohon rangdu/kapuk, bagaikan rambut orang yang mengurai, indah tiada tandingan, oleh karena itu banyak orang datang untuk mencari kesucian batin. Dungusing kidul, dungus artinya hidung, puncak atau ungasan; kidul artinya selatan. Guha Watu Pageh ri dungusing kidul pulau Bali artinya Guha Watu Pageh ring Pradesa Ungasan. Ada ceritra lain tatkala masa pemerintahan beliau Cokorda Pamecutan, pada tahun Saka Netra Asti Rasa Bhumi, Netra = mata = 2; Asti = gajah = 8; Rasa = sad rasa = 6; Bhumi = dunia = 1. Menunjukkan tahun Saka 1682, beliau saat itu ke ujung selatan Bandhana negara atau wilayah Badung, karena daerah itu wilayah kekuasaan beliau, di sana di tengah hutan, yang diselimuti oleh keindahan pohon kapuk, pada musim sasih Kapat, yang mendatangkan rasa indah menawan, di tempat itu beliau bertapa, beryoga, memusatkan pikiran, beliau mendapatkan anugrah dari Hyang Widhi. Beliau itu adalah raja penguasa di Pamecutan, dan berhasil dalam yoga di Guha Watu Pageh, lalu beliau memberikan anugrah kepada pemimpin wilayah di sana di Pradesa Ungasan, menjaga dan mengatur serta angempon Pura Guha Watu Pageh, ditetapkan menjadi Pamangku turun-temurun, sampai sepanjang jaman, bersama dengan pemberian Catu/laba, untuk membiayai upacara dan upakara linggih Danghyang dan Dewa-Dewa penguasa alam. Ini adalah Dharmayatra Danghyang Dwijendra, perjalanan suci Danghyang Dwijendra, serta keberadaan Dang Kahyangan yang ada di pulau Bali. Prasasti ini telah diplaspas dan dipasupati, dipakai piagam, serta mengingatkan para keturunan Pamangku Pura Watu Pageh. Inilah perjalanan suci Danghyang Dwijendra, sebuah warisan berharga yang terus dijaga dan diwariskan melalui generasi Pamangku Pura Watu Pageh. Prasasti ini, yang telah dijalankan melalui ritual dan dipersembahkan dalam piagam, adalah pengingat akan warisan spiritual yang kaya dan berharga ini. Sejarah panjang ini mengabadikan keberadaan Dang Kahyangan dan keagungan pulau Bali dalam perjalanan rohaniah yang tak terlupakan.