Pura Tengkulak: Kisah Dhanghyang Dwijendra di Desa Tulikup

Pura Tengkulak di Tulikup, Gianyar, memiliki sejarah mendalam terkait perjalanan spiritual Dhanghyang Dwijendra. Sang pendeta, yang berasal dari Majapahit, singgah di desa ini pada abad ke-16 untuk menyebarkan ajaran dharma. Kehadirannya memberi nasihat tentang keharmonisan hidup yang menginspirasi masyarakat.

Mar 28, 2025 - 11:23
Nov 12, 2024 - 21:05
Pura Tengkulak: Kisah Dhanghyang Dwijendra di Desa Tulikup
Pura Tengkulak Tulikup, Gianyar (Sumber Foto: Koleksi pribadi)

Pura Tengkulak terletak di Desa Tulikup, Gianyar, Bali. Pura ini memiliki nilai sejarah yang mendalam, terutama terkait dengan perjalanan spiritual seorang pendeta suci dari Jawa, Dhanghyang Dwijendra. Dalam tradisi Hindu Bali, Dhanghyang Dwijendra dikenal sebagai sosok yang sangat dihormati karena perannya dalam menyebarkan ajaran dharma dan menanamkan nilai-nilai kearifan lokal yang hingga kini masih dijunjung tinggi oleh masyarakat Bali.

Dhanghyang Dwijendra, juga dikenal sebagai Dang Hyang Nirartha, adalah seorang pendeta dari Majapahit yang melakukan perjalanan suci ke Bali pada abad ke-16. Kedatangannya terjadi pada masa ketika masyarakat Hindu Bali menghadapi berbagai tantangan, baik dari segi spiritual maupun sosial. Keberadaannya bukan hanya sebagai pendeta, tetapi juga sebagai guru yang mengajarkan kehidupan yang harmonis dan damai.

Dalam perjalanannya, Dhanghyang Dwijendra berangkat dari Samprangan menuju wilayah timur dan tiba di Desa Tulikup. Di sana, di pinggir sungai, beliau berhenti dan duduk sejenak untuk beristirahat. Beberapa penduduk desa yang melihatnya segera menghampiri dan duduk menghadap sang pendeta, menyapanya dengan hormat. Mereka bertanya dari mana asalnya dan tujuan perjalanannya. Dengan sabar, Dhanghyang Dwijendra menjelaskan bahwa ia sedang melakukan perjalanan suci, menjelajahi Pulau Bali untuk menyebarkan ajaran kebaikan.

                           Pura Tengkulak dengan ukiran Bali klasik (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Mendengar penjelasan tersebut, penduduk desa merasa kagum dan terhormat dengan kehadiran beliau. Salah seorang di antara mereka lalu berinisiatif memanjat pohon kelapa untuk memetik kelapa muda, yang dalam bahasa setempat disebut kuud, sebagai persembahan kepada sang pendeta. Setelah dipetik, kelapa muda itu dipotong bagian tampuknya dan disuguhkan kepada sang pendeta untuk diminum.

Dhanghyang Dwijendra menerima kuud tersebut dengan ucapan terima kasih. Sebagai pendeta yang taat, sebelum minum atau bersantap, beliau terlebih dahulu melantunkan mantra Weda sebagai ucapan syukur kepada Tuhan. Setelah selesai, beliau meminum air kelapa itu dan kemudian membelahnya menjadi dua untuk menikmati isinya. Sambil menikmati isi kuud itu, Dhanghyang Dwijendra berbincang-bincang dengan penduduk desa.

Dalam percakapan itu, penduduk desa menceritakan bahwa kesejahteraan mereka terasa kurang memuaskan. Mereka kerap dilanda penyakit, dan tanaman mereka tidak tumbuh subur. Mendengar keluhan tersebut, sang pendeta memberikan nasihat. Beliau mengatakan bahwa jika terjadi halangan di kemudian hari, penduduk dapat memanggilnya secara batin, dan beliau akan datang secara niskala (secara gaib) untuk memberikan pertolongan dengan memohon kepada Tuhan agar halangan itu dapat dihilangkan.

Setelah berbincang-bincang, Dhanghyang Dwijendra melanjutkan perjalanannya ke arah selatan, diiringi oleh penduduk desa hingga ke tepi pantai. Setiap malam setelah beliau pergi, pecahan kuud yang telah disantap oleh Dhanghyang Dwijendra terlihat menyala terang, memancarkan cahaya seperti bulan. Fenomena ini membuat penduduk desa terkesima, seolah mereka bisa melihat adanya kekuatan gaib di tempat itu.

Penduduk desa kemudian sepakat untuk mendirikan sebuah pura di lokasi tersebut sebagai tempat suci untuk memuja Tuhan dan memohon keselamatan serta kemakmuran bagi desa. Pura itu kemudian diberi nama Pura Tengkulak, yang diambil dari kata tengkuluk, atau penutup kepala, sebagai simbol penghormatan.

                                     Di dalam area Pura Tengkulak (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Sejak saat itu, Pura Tengkulak menjadi pusat spiritual bagi masyarakat Desa Tulikup. Hingga kini, setiap enam bulan sekali, pura ini menjadi tempat diadakannya upacara besar untuk menghormati Dhanghyang Dwijendra dan memohon keselamatan bagi seluruh warga desa. Ritual ini merupakan warisan dari sang pendeta dan mengandung makna spiritual yang dalam, mengingatkan masyarakat untuk senantiasa menjaga hubungan harmonis dengan alam, sesama manusia, dan Tuhan.

Pura Tengkulak berdiri sebagai bukti dari perjalanan suci Dhanghyang Dwijendra, serta menjadi pengingat bagi generasi berikutnya untuk terus menjunjung nilai-nilai dharma dalam kehidupan sehari-hari.