Pan Balang Tamak

Pan Balang Tamak adalah tokoh yang banyak akal, sering mengkritisi peraturan desa yang menurutnya memberatkan. Kecerdasarnnya membuat dia selalu menang meski akhirnya dia mati diracun karena orang kehabisan akal mengalahkannya.

May 4, 2025 - 10:55
May 4, 2025 - 10:54
Pan Balang Tamak
Sosok Pan Balang Tamak (Sumber : koleksi pribadi)

Di sebuah desa di Kerajaan Sunantara, hiduplah sepasang suami-istri yang sangat kaya. Ia bernama Pan Balang Tamak dan istrinya bernama Ni Tanu. Ia terkenal sangat kaya, tetapi kikir dan malas. Ia sangat pintar, pandai bicara tetapi terkadang licik dan penuh akal daya. Selain itu, ia juga sangat malas dan sering menentang aturan-aturan desanya. Hal itu menyebabkan ia tidak disenangi oleh warga desa lainnya, terutama oleh para ketua desanya (Jero Bendesa). Itulah sebabnya dicarikan segala daya upaya agar ia bisa dijatuhi hukuman atau denda yang seberat-beratnya, bahkan kalau mungkin agar bisa diusir dari wilayah desa tersebut.

Ilustrasi pan balang tamak (Sumber: Koleksi pribadi)

Pada suatu ketika para pimpinan desa mengadakan rapat untuk mencari kesalahan Pan Balang Tamak agar bisa didenda. Para pemimpin desa mengetahui bahwa Pan Balang Tamak tidak mempunyai ayam. Untuk itu disepakatilah akan mengadakan kerja bakti mencari kayu untuk bahan bangunan ke dalam hutan. Diberitahukanlah kepada seluruh warga desa agar melakukan kerja bakti pada keesokan harinya termasuk Pan Balang Tamak. Pemberitahuan yang disampaikan kepada Pan Balang Tamak bunyinya bahwa warga desa harus pergi ke hutan mencari kayu, dan berangkat ketika ayam turun dari tempat tidurnya. Kesokan harinya pagi-pagi sekali ketika ayam sudah berkokok dan turun dari tempat tidurnya seluruh warga desa pergi ke hutan mencari kayu.

Namun Pan Balang Tamak masih diam di rumahnya menunggu ayamnya turun dari tempat tidurnya. Pan Balang Tamak hanya memiliki seekor ayam yang sedang mengerami telurnya. Ayamnya itu baru turun dari mengeram setelah hari agak siang. Ketika ayamnya turun dari mengeram itu barulah Pan Balang Tamak berangkat pergi ke hutan. Di Tengah perjalanan ia berpapasan dengan warga desa lainnya yang sudah kembali dari hutan dan memikul kayu hasil yang didapatkan di hutan. Karena warga desa sudah kembali dari hutan maka Pan Balang Tamak pun juga ikut pulang.

Keesokan harinya para pinpinan desa menyuruh warga desa untuk melakukan rapat, tujuannya membicarakan ulah Pan Balang Tamak yang tidak menepati isi pemberitahuan desa. Dalam rapat diputuskan bahwa Pan Balang Tamak dijatuhi denda berupa sejumlah uang karena tidak menepati pemberitahuan desa. Pan Balang Tamak menolak didenda dengan sejumlah uang karena merasa tidak bersalah. Alasannya adalah ia sudah berangkat ke hutan setelah ayamnya turun dari tempat tidurnya. Ia hanya memiliki satu ekor ayam yang sedang mengeram. Ayamnya yang sedang mengeram ini baru turun dari tempatnya mengeram setelah hari siang. Itulah sebabnya Pan Balang Tamak baru berangkat ke hutan setelah hari siang. Alasan tersebut menyebabkan Pan Balang Tamak tidak jadi didenda.

Dalam kesempatan lain warga desa disuruh untuk menyumbang ke desa berupa senggauk (nasi aking). Siapa pun warga desa yang tidak menyumbang akan didenda. Pimpinan desa mengetahui bahwa Pan Balang Tamak sangat irit dan pelit, termasuk juga istrinya. Pan Balang Tamak dan istrinya sehari-harinya memasak nasi secukupnya saja. Mereka tidak pernah menyisakan nasinya, apa lagi sampai menjemur nasi untuk dijadikan senggauk (nasi aking). Tentu saja ia tidak akan mempunyai nasi aking (senggauk). Karena itu dengan mudah ia akan dikenakan denda oleh warga desa. Kesokan harinya Pan Balang Tamak pergi ke balai desa dengan membawa sanggah uug (sejenis bangunan pura yang sudah rusak). Alasannya, karena ia mendengar pemberitahuan dari juru arah (orang yang memberi informasi ke setiap warga) bahwa juru arah yang bersuara cadel mengatakan, agar warga desa mengeluarkan sanggah uug. Alasan itu menyebabkan Pan Balang Tamak tidak didenda.

Pada hari berikutnya warga desa kembali lagi melakukan rapat. Pimpinan desa mengetahui bahwa Pan Balang Tamak tidak mempunyai anjing besar, karena ia hanya memiliki seekor anjing kecil dan sangat kurus. Untuk itu dibuatkanlah jebakan agar ia bisa didenda. Keesokan harinya warga desa diberitahu agar semua warga desa pergi ke hutan untuk berburu dengan membawa serta seekor anjing yang sudah galak serta senjata untuk berburu. Pagi-pagi sekali seluruh warga desa pergi ke tengah hutan untuk berburu, termasuk Pan Balang Tamak. Karena Pan Balang Tamak tidak mempunyai anjing besar maka ia membawa anjing kecilnya saja. Sesampainya di tengah hutan semua warga desa sibuk berburu dengan melepas anjing buruannya. Banyak binatang buruan yang diperoleh oleh warga desa. 

Alkisah Pan Balang Tamak di tengah hutan berjumpa dengan jurang dalam (pangkung). Pan Balang Tamak tidak berani melewatinya. Untuk bisa melewatinya dikeluarkanlah akal bulusnya. Pan Balang Tamak berteriak-teriak mengatakan bahwa ada bangkung sing megigi. (induk babi ompong atau tidak bergigi). Warga desapun berlarian semua mendekati Pan Balang Tamak. Ketika sampai di dekatnya maka Pan Balang Tamak mengatakan, “Ada pangkung sing metiti”. Warga desa pun membuat titik penyeberangan dari kayu dan bambu agar seluruh warga desa yang ikut berburu bisa melewati jurang dalam itu. 

Setelah semua warga desa sampai di tengah hutan, kembali warga desa sibuk berburu. Ketika itu Pan Balang Tamak menjumpai pohon ketket dan sangat lebat daunnya di pinggir jurang. Pan Balang Tamak melemparkan anak anjingnya ke tengah perdu atau pohon ketket itu. Anak anjing itupun bersuara keras-keras karena kesakitan dan meronta-ronta ingin ke luar dari perdu berduri itu. Ketika anak anjingnya bersuara keras-keras kesakitan, Pan Balang Tamak juga berteriak-teriak mengatakan bahwa anjingnya galak menggonggong karena melihat bangkung sing megigi. Karena anjing Pan Balang Tamak mau bersuara ketika dibawa berburu maka Pan Balang Tamak tidak didenda oleh pimpinan desanya.

Hari berikutnya para pimpinan desa kembali berembug mencari akal agar Pan Balang Tamak bisa didenda. Kebetulan tanah pekarangan dan tanah tegalan milik Pan Balang Tamak tidak dikelilingi masengker (diisi pagar atau tembok pembatas). Karena itu dibuatkanlah aturan desa agar semua tanah pekarangan dan tanah tegalan dikelilingi dengan penyengker (tembok atau pagar pembatas). Bila tidak dipatuhi maka akan didenda dengan denda yang cukup berat. Begitu pula bila ada orang yang memasuki tanah milik orang lain tanpa izin maka orang itu didenda dengan denda yang cukup besar pula.

Ilustrasi warga desa yang sedang berembug untuk menjebak Pan Balang Tamak (Sumber: Koleksi pribadi)

Pan Balang Tamak mengetahui bahwa aturan yang dibuat oleh desa tujuannya untuk menyudutkan, dan mendendanya karena hanya rumah dan tegalannyanya saja yang tidak ada pagar pembatasnya. Di samping itu Pan Balang Tamak juga tidak mempunyai pohon-pohonnan yang bisa dijadikan pagar pembatas. Karena itu, iapun mencari akal agar tidak bisa didenda oleh warga desa. Karena ia tidak memiliki turus atau batang pohon-pohonan untuk dijadikan pagar, maka Pan Balang Tamak memagari tanahnya dengan lidi yang diambil dari daun enau. Lidi-lidi itu ditancapkan mengitari tanah milik Pan Balang Tamak. Kebetulan tanah Pan Balang Tamak letaknya berdekatan dengan pasar desa, dan banyak ditumbuhi oleh perdu yaitu pohon pulet. Apapun yang menyentuhnya maka buah pullet itu akan terlepas dan menempel pada benda yang menyentuhnya.

Ketika pasar sedang ramainya, ada seorang pedagang yang sedang berjualan sakit perut ingin buang hajat. Pada zaman itu pasar tradisional umumnya tidak memiliki WC sebagai tempat buang hajat. Maka pedagang itu pergi ke tempat yang mudah dimasuki, ada pepohonan atau perdu yang rimbun agar bisa dijadikan pelindung ketika buang hajat. Kebetulan tanah Pan Balang Tamaklah yang dekat dengan perdu yang rimbun sebagai tempat buang hajat, lalu pedagang itu masuk ke tanah Pan Balang Tamak yang hanya dipagari lidi sehingga sangat mudah dilewati. Setelah selesai buang hajat maka pedagang itu kembali berjualan. Ketika pasar sedang ramainya, maka pan Balang Tamak pergi ke pasar. Sesampainya di pasar ia melihat pedagang yang kainnya penuh ditempeli buah pullet.

Lalu Pan Balang Tamak melaporkannya kepada pimpinan desanya, bahwa ada orang yang melanggar aturan desa dengan memasuki tanah milik orang lain tanpa seizin dari pemiliknya. Sebagai bukti ditunjukkannya buah pohon pullet yang menempel di kain pedagang itu. Alasan yang lain adalah bahwa, hanya tanah pekarangannya Pan Balang Tamak sajalah yang ditumbuhi pohon pullet, sedangkan tanah milik orang lain semua bersih-bersih karena sering disiangi rumput dan perdu yang tumbuh di tanah mereka itu. Akhir kata maka pedagang tersebut didenda dan dendanya diberikan kepada Pan Balang Tamak.

Para pimpinan desa sepertinya sudah kehabisan akal untuk membuat program kerja agar bisa mendenda Pan Balang Tamak. Pada suatu hari datanglah pengaduan dari warga desa yang merupakan mata-mata kepala desa. Laporan itu mengatakan bahwa Pan Balang Tamak tidak memiliki sapi jantan. Mendengar laporan itu maka para pimpinan desa sepakat untuk mengadakan lomba adu sapi. Dalam lomba itu dibuatkan aturan bahwa sapi yang boleh diikutan lomba adalah sapi jantan saja. Siapa pun warga desa yang tidak ikut serta dalam lomba itu walau dengan alasan tidak memiliki sapi jantan akan dikenai sangsi yang sangat berat berupa denda uang atau diusir dari desa. Kali ini pimpinan dan warga desa yang tidak simpati kepada Pan Balang Tamak sangat kegirangan dan merasa yakin bahwa dalam acara ini Pan Balang Tamak pasti bisa didenda. Maka diumumkanlah bahwa desa akan mengadakan lomba adu sapi, dan siapa pun warga yang tidak ikut akan didenda seberat-beratnya. Mendengar pengumuman itu maka Pan Balang Tamak sangat kecewa dan sedih. Ia pun berpikir keras memutar otak agar bisa ikut lomba. Pan Balang Tamak hanya memiliki seekor sapi betina yang sedang menyusui anaknya yang baru berumur 3 bulan. Itulah sebabnya maka ia berusaha meminjam atau menyewa sapi jantan besar kepada warga masyarakat desa lain. Tujuannya, tentu saja agar bisa mengikuti lomba adu sapi dan tidak terkena denda. Namun, sampai sore ia tidak mendapatkan sapi untuk disewa.

Karena hari telah malam maka pulanglah Pan Balang Tamak ke rumahnya. Dikisahkan, sesampainya Pan Balang Tamak di rumahnya, istrinya melihat suaminya datang dengan wajah sedih, pucat dan seperti orang tidak mempunyai gairah hidup. Istri Pan Balang Tamak pun bertanya: “Mengapa Kanda seperti kebingungan, sedih, dan wajahmu pucat Kanda?”. Begitulah pertanyaannya sambil menyiapkan kopi. “Silakan minum Kanda, dan jangan bersedih nanti membuat saya ikut bersedih pula”. Begitulah kata-kata istri Pan Balang Tamak. Sekian lama Pan Balang Tamak tidak menjawab pertanyaan istrinya. Pada akhirnya, setelah ia selesai minum kopi suguhan istrinya, maka ia pun menceritakan penyebab kesedihannya. 

Setelah agak lama mereka berdua tenggelam dalam kesedihan, akhirnya istri Pan Balang Tamak berkata: “Kanda saya punya ide bagus. Kita kan punya sapi yang sedang menyusui anaknya dan kebetulan anak sapi kita jantan. Kanda adu saja anak sapi itu, pasti akan menang”. Begitulah mereka berdua berbincang bincang membicarakan siasat yang akan digunakan dalam adu sapi keesokan harinya. Pan Balang Tamak sangat lega dan puas karena merasa yakin ia akan menang dalam lomba adu sapi keesokan harinya. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali seluruh warga desa sudah berkumpul di sebuah tegalan yang sangat luas dan datar untuk mengikuti lomba adu sapi. Laki-laki dan perempuan, tua dan muda banyak yang datang untuk menyaksikan lomba, di samping ada pula yang akan bertaruh. Semua anggota warga desa membawa sapi aduan yang besar-besar. Tetapi, hanya Pan Balang Tamak yang membawa anak sapi yang masih menyusu. Banyak warga desa yang menertawakan dan mengejek Pan Balang Tamak. Namun, ia tidak peduli dan tidak menghiraukannya. 

Ilustrasi perlombaan adu sapi di desa (Sumber: Koleksi pribadi)

Setelah banyak sapi yang beradu, ada yang kalah, ada yang menang, dan ada pula yang seri. Pada akhirnya tibalah giliran Pan Balang Tamak untuk mengeluarkan sapi aduannya. Sapi yang akan dilawan adalah sapi aduan kepala desa yang sangat besar lagi gemuk. Siasat ini memang sudah diatur oleh kepala desa agar ia dapat dengan mudah memenangkan lomba dan memperoleh uang hasil taruhan yang sangat banyak. Pan Balang Tamak sebenarnya sudah tahu siasat licik kepala desa yang ingin memojokkannya dan menguras harta kekayaannya. Itulah sebabnya ia sudah menyiapkan sebuah taktik jitu untuk mengantisipasi agar tidak kalah dalam lomba adu sapi ini. Dari rumah ia telah menyiapkan air susu induk sapinya yang diperah tadi pagi. Air susu itu dimasukkan ke dalam wadah yang terbuat dari batok kelapa yang telah dihaluskan. Air susu induk sapi yang ada dalam beruk (batok kelapa) ini dibawa Pan Balang Tamak ke tempat lomba. Sebelum lomba dimulai Pan Balang Tamak berpura-pura berkeliling melihat-lihat sapi aduan milik warga lainnya. Ketika itu ia memilih sapi jantan yang sangat besar milik kepala desa.  Ia berpura-pura kagum dengan besarnya sapi itu. Ia lalu meraba-raba bagian bawah, tepatnya buah pelir sapi aduan tersebut. Pada saat Pan Balang Tamak meraba-raba bagian bawah sapi besar itu. Ia lalu memoleskan air susu induk sapi yang dibawanya, tepat pada buah pelir dan kemaluan sapi aduan besar itu. Diceritakanlah setelah sapi aduan Pan Balang Tamak dan sapi kepala desa sudah berhadap-hadapan. Kepala desa mengajak Pan Balang Tamak untuk bertaruh dalam jumlah yang sangat besar. Kepala desa sangat gembira, ia berpikir semua kekayaan Pan Balang Tamak sebentar lagi akan berpindah tangan menjadi miliknya. Ketentuan kalah dan menang pun sudah diberitahukan. Sapi siapapun yang keluar meninggalkan arena tempat aduan, maka akan dinyatakan kalah, dan taruhan menjadi milik pemenang. 

Setelah besaran taruhan disepakati dan ketentuan kalah-menang sudah diberitahukan maka kedua sapi itu pun dilepaskan untuk diadu. Ketika itu anak sapi jantan Pan Balang Tamak pergi mencari sapi si kepala desa. Sapi itupun memasukkan kepalanya ke bagian bawah sapi si kepala desa. Sapi jantan si kepala desa dikiranya induk sapi karena berbau susu. Sapi jantan kepala desa menjadi kebingungan lalu berlari karena tidak tahan kemaluan dan buah pelirnya terus dijilati oleh anak sapi Pan Balang Tamak. Karena sapi jantan itu tidak tahan maka ia pun keluar meninggalkan arena adu sapi. Ketika sapi kepala desa sudah keluar arena maka sapi kepala desa dinyatakan kalah, kepala desa tidak menerima kekalahan ini. Tetapi, Pan Balang Tamak tetap menuntut bahwa sapi kepala desa harus dinyatakan kalah karena sudah meninggalkan arena adu sapi. Akhirnya wasit dan panitia tetap memutuskan bahwa sapi kepala desa kalah. Pada saat itulah dengan disaksikan oleh seluruh warga desa maka seluruh kekayaan yang dimiliki oleh kepala desa berpindah menjadi milik Pan Balang Tamak. Kekalahan kepala desa dalam adu sapi membuat ia semakin membenci Pan Balang Tamak. Iapun mencari berbagai cara agar bisa mendapatkan hartanya kembali. 

Hari berikutnya tibalah saatnya warga desa akan mengadakan rapat desa untuk membicarakan program desa dan membayar denda bagi warga desa yang terkena denda. Seluruh warga desa sudah diberi tahu bahwa besoknya agar seluruh warga desa pergi ke balai desa untuk rapat dan membayar denda. Pan Balang Tamak kembali mencari akal agar bisa mendapat uang. sehari sebelum rapat diadakan, Pan Balang Tamak membuat jajan iwel, yaitu sejenis kue yang terbuat dari ketan hitam yang disangrai, lalu ditumbuk halus hingga berupa tepung. Tepung ketan yang telah disangrai ini dicampur dengan kelapa yang telah diparut, kemudian dikukus, dan setelah matang digiling atau dipulung menyerupai kotoran anjing. Pagi-pagi sebelum rapat dimulai dan kebetulan masih sangat sepi, Pan Balang Tamak pergi ke balai desa dengan membawa jajan iwel yang telah dibuat menyerupai kotoran anjing dan air secukupnya. Jajan iwel itu diletakkan di atas sendi yang ada di bawah tiang atau pilar kayu balai desa. Jajan iwel itu lalu dituangi air agar kelihatan seperti kencing anjing. Ketika rapat desa akan dimulai, seluruh warga desa sudah datang untuk ikut rapat desa. Ketika itu Pan Balang Tamak berkata: “Inggih krama desa sami, sapa sira ja purun ngajengang tain cicinge niki lakar upahin tiang siu keteng”, ‘Wahai warga desa semua, siapa saja yang berani makan kotoran anjing ini akan saya kasi uang sebanyak seribu kepeng’. Mendengar perkataan Pan Balang Tamak seperti itu, tentu saja warga desa diam, dan tidak ada yang berani menyahut untuk makan jajan yang dikiranya kotoran anjing itu. Pada saat itu pimpinan desa berkata, “Nah lamun cai ne bani ngamah tain cicinge ȇnto, icang bakalan ngupahin cai aji siu keteng pis bolong”, (Ya, bila kamu yang berani makan kotoran anjing itu, maka saya yang akan mengupahimu sebesar seribu keping uang bolong). Ketika didengar ucapan sang pimpinan desa seperti itu maka dimakanlah kotoran anjing itu oleh Pan Balang Tamak hingga habis. Warga desa pun terheran-heranakan keberanian Pan Balang Tamak yang sedikit pun tidak menunjukkan rasa jijik. Setelah selesai makan kotoran anjing itu maka Pan Balang Tamak diberi upah yang sangat banyak, yaitu seribu keping uang kepeng atau bolong.  Semakin bertambah-tambahlah kekayaan Pan Balang Tamak.

Warga desa terutama kepala desa sangat marah dan dendam akan keberadaan Pan Balang Tamak. Akhirnya, karena sudah kehabisan akal maka kepala desa melaporkan Pan Balang Tamak kepada raja. Kepala desa melaporkan bahwa Pan Balang Tamak adalah warga desa yang sangat licik, tidak mau bergotong-royong dan selalu menentang awig-awig (aturan) yang diterapkan di desa. Mendengar laporan kepala desa seperti itu maka raja sangat marah dan akan menghukum Pan Balang Tamak. Raja berencana akan membunuh Pan Balang Tamak dengan cara meracunnya. Kepala desa disuruh mencarikan racun yang sangat ampuh dan orang suruhan untuk meracun Pan Balang Tamak. Pan Balang Tamak tahu akan niat buruk pimpinan desa bersama sang raja. Maka diberitahulah istrinya bahwa ia akan diracun oleh raja. Namun sebelum ia mati ia berpesan kepada istrinya: “Istriku tercinta, bila aku nanti mati, dudukkanlah mayatku di tempat suci dan aturlah sikapku agar aku kelihatan seolah-olah sedang duduk bersila seperti meditasi. Carikanlah beberapa ekor kumbang lalu masukkan ke dalam beruk, lalu taruhlah di belakangku. Usahakan kamu agar tidak menangis. Bersikaplah tenang seolah-olah aku masih hidup. Besoknya raja pasti akan mati. Bila sudah terdengar kabar bahwa raja sudah mati, masukkanlah mayatku ke dalam peti tempat kekayaan kita, sedangkan semua harta benda kekayaan kita taruhlah di tempat tidur. kemudian selimuti agar mirip seperti onggokan mayat. Kamu, menangislah di sampingnya supaya kamu kelihatan seolah-olah sedang menangisi mayatku. Peti tempat mayatku pasti akan dicuri orang. Ingatlah pesanku itu istriku”.

Ilustrasi kematian raja (Sumber: Koleksi pribadi)

Alkisah Pan Balang Tamak sudah meninggal dunia karena diracun. Sesuai dengan pesannya, maka mayatnya didudukkan di Sanggah (tempat suci keluarga) dengan sikap duduk bersila. Malam harinya mata-mata sang raja melihat bahwa Pan Balang Tamak duduk bersila di Sanggahnya sedang bermeditasi. Hal ini dilaporkan kepada sang raja bahwa Pan Balang Tamak masih hidup dan sedang bermeditasi di Sanggahnya. Raja pun sangat geram. Dikiranya racun yang diberikan untuk dimakan Pan Balang Tamak tidak manjur. Kemudian pemilik racun pun dibunuh. Karena sangat kesalnya maka dimakanlah sedikit racun tersebut. Karena keampuhan racun itu maka raja pun wafat.

Setelah istri Pan Balang Tamak mendengar kabar bahwa sang raja telah wafat maka digotonglah mayat suaminya lalu dimasukkan ke dalam peti. Semua harta benda dan uang yang merupakan kekayaannya, dikumpulkan, dan diatur menyerupai gundukan mayat, kemudian diselimuti dengan kain. Gundukan kekayaannya itu persis kelihatan seperti onggokan mayat Pan Balang Tamak. Istri Pan Balang Tamak lalu menangisinya dengan keras sambil merintih-rintih menghibakan hati. Pada malam harinya datanglah beberapa orang pencuri yang ingin mencuri kekayaan Pan Balang Tamak. Pencuri itu pun tertipu dengan taktik istri Pan Balang Tamak. Peti yang dikira berisi barang-barang berharga kekayaan Pan Balang Tamak lalu diambil dan digotong dibawa ke luar rumah. Sesampainya di suatu tempat yang sudah dikiranya aman maka pencuri itupun sepakat berhenti dan akan membuka isi peti untuk dibagi, namun karena ada bau yang tidak sedap maka peti itu tidak jadi dibuka.

Begitulah berulang-ulang dan berpindah-pindah tempat peti itu mau dibuka, tetapi tetap saja tercium bau bangkai yang dikiranya bau bangkai anjing atau ayam. Akhirnya atas kesepakatan bersama maka dicarinya tempat yang kemungkinan tidak ada bangkainya yaitu di sebuah pura. Peti itu pun di bawa ke dalam pura. Sesampainya di dalam pura maka peti itu dibuka, dan ternyata isinya adalah mayat Pan Balang Tamak. Setelah diketahui isi peti itu adalah mayat maka rombongan pencuri itu pergi meninggalkannya.

Pada keesokan harinya datanglah Jero Mangku, yang akan melakukan pembersihan di pura itu. Ketika ia memasuki pura dilihatlah ada peti yang sangat besar. Dikiranya itu anugerah dari Dewa yang beristana di pura itu. Lalu JeroMangku memberi tahu pimpinan desa bahwa ada anugerah dewa di pura berupa peti. Pemimpin desa lalu mengajak seluruh warga desa untuk datang ke pura dengan membawa sesajen untuk dihaturkan kepada Dewa yang menganugerahi peti. Pemujaan lalu dimulai dan sesajen pun dihaturkan oleh Jero Mangku. Setelah selesai menyembah lalu peti dibuka, dan ternyata isinya adalah mayat Pan Balang Tamak. Semua warga desa sangat kecewa, namun apa boleh dikata, pemujaan sudah terlanjur dilakukan, maka disepakatilah untuk mengubur dan mengupacarai mayat Pan Balang Tamak. Untuk memperingati dan menghormati Pan Balang Tamak maka warga desa sepakat untuk membuatkan sebuah bangunan berupa sebuah pelinggih di dalam pura itu.  

 

 

Files