Jelajah Sejarah: Mengungkap Keunikan Meru Tumpang 9 Pura Jagatnatha Desa Ketewel

Gusti Agung Maruta memimpin Ketewel dengan bijaksana dan membangun meru suci untuk kesejahteraan. Setelah kematiannya, Gusti Agung Ayun menyebabkan bencana akibat ketidaktaatan. Ida Dewa Agung Anom Karna kemudian memulihkan keadaan dengan membangun kembali meru dan melaksanakan upacara Panca Walikrama, mengembalikan kedamaian bagi masyarakat.

Apr 3, 2025 - 06:05
Apr 2, 2025 - 20:49
Jelajah Sejarah: Mengungkap Keunikan Meru Tumpang 9 Pura Jagatnatha Desa Ketewel
Pura Jagatnatha Desa Ketewel (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Pada masa pemerintahan Kerajaan Menguwi, daerah Ketewel berada di bawah kepemimpinan Gusti Agung Maruta, seorang raja yang dikenal sebagai sosok bijaksana dan sangat taat kepada Tuhan. Ia rutin melaksanakan berbagai upacara keagamaan di Pura Payogan Agung, termasuk upacara Panca Walikrama yang tertera dalam Raja Purana. Di bawah kepemimpinannya, kehidupan masyarakat Ketewel berjalan dengan damai dan sejahtera, menciptakan suasana yang harmonis dan penuh kedamaian.

Meru Tumpang 9 dan Meru Tumpang 5 di Pura Jagatnatha (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Sebagai ungkapan bakti yang mendalam kepada sesuhunan di pura, Gusti Agung Maruta menerima pawisik untuk membangun dua meru suci: Meru tumpang 9 dan Meru tumpang 5. Meru tumpang 9 didirikan sebagai tempat suci bagi Ida Bhatara Hyang Giri Jagat Natha, simbol yang melambangkan kesejahteraan dan perlindungan bagi umat manusia. Panunggalan Ardha Nareswari pada tanggal Purnamaning Kapat menandai piodalan di Pura Agung Giri Jagat Natha, yang semakin memperkuat hubungan antara rakyat dan spiritualitas mereka.

Namun, setelah wafatnya Gusti Agung Maruta, yang tidak memiliki keturunan, kepemimpinan berpindah kepada Gusti Agung Ayun. Sayangnya, Gusti Agung Ayun memiliki karakter yang berbeda dan tidak melaksanakan upacara keagamaan seperti yang diharapkan. Ketidaktaatannya menyebabkan bencana yang membawa dampak negatif, termasuk keruntuhan Meru-meru yang telah dibangun sebelumnya. Pada masa ini, terjadi banyak wabah penyakit, dan kehidupan masyarakat mulai terpengaruh oleh kesulitan.

Gusti Agung Ayun akhirnya wafat pada tahun 1626 Çaka. Setelahnya, pemerintahan di Ketewel diambil alih oleh Ida Dewa Agung Made Karna, yang dikenal sebagai Ida Dewa Agung Anom Karna. Ia adalah sosok yang taat dan sering bersemadi di Pura Payogan Agung, berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam semadinya, ia mendapatkan pawisik dari Ida Hyang Pasupati untuk membangun kembali meru yang roboh, menunjukkan tekadnya untuk memulihkan kesejahteraan masyarakat.

Pelinggih yang dibangun oleh Ida Dewa Agung Anom Karna meliputi:

- Sanggar Agung Rong di Pura Payogan Agung, tempat bagi Hyang Brahma Rsi Siwa Budha, yang menjadi pusat pemujaan dan meditasi.

- Meru tumpang 9 sebagai stana bagi Ida Bhatara Hyang Giri Jagat Natha, kembali menjadi simbol harapan bagi umat.

- Meru tumpang 5 untuk Ida Bhatara Hyang Putra Jaya, juga dikenal sebagai Ida Bhatara Batumadeg, yang menandai perlindungan bagi masyarakat.

- Meru tumpang 5 lainnya untuk Hyang Masuci Giri Suci.

Setelah pembangunan Meru selesai, Ida Dewa Agung Anom Karna melaksanakan upacara Panca Walikrama. Upacara ini membawa kembali kedamaian dan kesejahteraan bagi masyarakat Ketewel, mengakhiri masa-masa sulit dan memastikan bahwa tidak ada lagi kematian anak-anak. Kehidupan di Ketewel kembali tenang, dengan masyarakat yang bersyukur atas kembali terjalinnya hubungan yang kuat antara mereka dan spiritualitas.

Utama Mandala Pura Jagatnatha (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Pura Jagatnatha memiliki arsitektur khas Bali yang mencerminkan nilai-nilai spiritual dan filosofis dalam setiap elemen bangunannya. Selain Meru, di sekitar area Utama Mandala, terdapat Bale Piasan yang digunakan sebagai tempat persiapan persembahan. Hiasan ukiran Bali yang rumit menghiasi berbagai bagian pura, seperti tiang dan altar, menunjukkan keindahan seni ukir tradisional Bali. Lingkungan pura juga diperkaya oleh pepohonan, seperti pohon kamboja. Keseluruhan arsitektur Pura Jagatnatha mengungkapkan filosofi Hindu-Bali yang berfokus pada keseimbangan antara manusia, alam, dan para dewa.