Keagungan Pura Agung Gunung Raung Taro, Tempat yang Menyimpan Legenda Leluhur Bali
Pura Agung Gunung Raung Taro adalah tempat suci dengan nilai sejarah dan spiritualitas tinggi. Pura ini terkait erat dengan perjalanan suci Dang Hyang Markandya, seorang Rsi dari Gunung Raung, Jawa Timur, yang berperan penting dalam penyebaran ajaran Hindu di Bali. Setelah mendapat petunjuk untuk menuju Bali, Dang Hyang Markandya mendirikan Pura Basukian di Besakih sebagai pura pertama di pulau tersebut, dan menetap di Desa Taro untuk membangun Pura Gunung Raung, pusat kegiatan spiritual dan agraris.
Pura Agung Gunung Raung Taro, yang dikenal juga dengan nama Amunduk Taro, merupakan salah satu pura paling megah di Taro dan menjadi pusat spiritual bagi banyak komunitas di sekitarnya. Sejarah pura ini bermula pada abad ke-17, saat Maha Rsi Markandeya melakukan perjalanan dari India melalui Jawa Timur untuk menyebarkan ajaran Hindu ke Bali. Beliau mengajarkan pentingnya keharmonisan dengan alam serta praktik pertanian berkelanjutan, yang memungkinkan penduduk Bali untuk hidup dari tanah mereka sendiri tanpa harus merantau. Warisan beliau masih terasa hingga kini dalam bentuk sistem Subak, yaitu sistem pengelolaan air sawah yang memanfaatkan ekosistem alam dan diwariskan dari generasi ke generasi. Terletak di Taro, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar, pura ini memukau setiap pengunjung dengan keindahan desain candinya. Pura ini bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga simbol sejarah dan kekayaan budaya Bali. Nama Gunung Raung diambil dari gunung tertinggi di Jawa Timur, tempat Maha Rsi Markandeya tinggal sebelum melanjutkan perjalanan spiritualnya ke Bali dan menetap di Taro.
Pura Agung Gunung Raung Taro sangat dihormati karena reputasinya sebagai tempat sakral di mana orang biasanya bermeditasi dan membuat keputusan penting. Pura ini adalah tempat yang sempurna untuk orang yang mencari ketenangan dan pencerahan batin karena diapit oleh hutan dan pegunungan. Tokoh agama dan masyarakat sering mengunjungi pura ini untuk bermeditasi sebelum membuat keputusan penting. Mereka melakukan ini karena mereka percaya bahwa tempat ini memiliki energi spiritual yang dapat memberikan kebijaksanaan. Setiap keputusan yang dibuat di Pura Agung Gunung Raung yang tenang dan tenang diharapkan mendapat bimbingan dari kekuatan ilahi yang menjaga kehidupan dalam harmoni.
Sebagai pusat spiritual yang dihormati, Pura Agung Gunung Raung Taro tidak hanya menjadi tempat bagi pengambilan keputusan penting, tetapi juga berperan sebagai sumber ketenangan dan kekuatan batin bagi umat Hindu. Pura ini menarik banyak orang yang ingin memperkuat hubungan spiritual mereka dengan Sang Hyang Widhi karena merupakan tempat yang penuh dengan energi ilahi. Pura ini agung karena perannya sebagai tempat pemujaan dan persembahyangan di mana doa dilantunkan untuk mendapatkan berkah dan petunjuk dalam kehidupan. Tidak hanya menjadi tempat ibadah, Pura Agung Gunung Raung Taro juga menjadi pusat kekuatan spiritual yang memberi ketenangan jiwa. Hingga kini, Pura Agung Gunung Raung Taro tetap dihormati sebagai salah satu pura suci tertua di Bali, dengan keagungan spiritual yang terus menarik banyak umat Hindu dan wisatawan yang ingin merasakan kedamaian serta kekuatan sakral yang telah ada selama berabad-abad.
Pura Agung Gunung Raung Taro (Sumber Foto : Koleksi Pribadi)
Arsitektur pada Pura Agung Gunung Raung Taro
Secara simbolis, dua bagian Candi Bentar yang tampak terpisah namun serupa menggambarkan keseimbangan kosmik serta harmoni antara unsur maskulin dan feminin, atau antara purusa (roh) dan prakerti (materi). Walaupun terlihat terpisah, keduanya tetap menyatu dalam keseimbangan sebagai pintu gerbang menuju dimensi spiritual.
Di bagian Madya Mandala (zona tengah), pengunjung akan menemukan bale, bangunan terbuka yang berfungsi sebagai tempat pertemuan dan pelaksanaan upacara keagamaan. Beberapa bale di pura ini dihiasi dengan ukiran-ukiran indah yang menceritakan kisah-kisah dari mitologi Hindu.
Bale Pura Agung Gunung Raung Taro (Sumber Foto : Koleksi Pribadi)
Pada zona paling sakral, yaitu Utama Mandala, terdapat meru, bangunan bertingkat yang melambangkan Gunung Meru, pusat alam semesta dalam kosmologi Hindu. Meru biasanya berlapis atap ijuk hitam, dan semakin banyak tingkatan atapnya, semakin tinggi pula tingkat kesuciannya. Selain itu, di sini terdapat pelinggih, tempat arca dan simbol dewa-dewa bersemayam, terutama Dewa Siwa yang sangat dihormati di pura ini.
Setiap zona dalam pura memiliki fungsi penting dalam kegiatan upacara keagamaan. Struktur utama pura ini didominasi oleh Candi Bentar yang megah di gerbang masuk, serta Meru yang menjulang sebagai simbol gunung suci, tempat tinggal para dewa. Pura ini dibangun dari material batu padas dan batu bata merah khas Bali, dihiasi dengan ukiran-ukiran rumit yang menggambarkan mitologi Hindu serta perjalanan spiritual Dang Hyang Markandya.
Ornamen-ornamen seperti patung dewa dan simbol-simbol Siwaistis memberikan aura sakral dan megah pada pura ini. Dengan latar belakang alam yang hijau dan tenang, arsitektur Pura Agung Gunung Raung Taro mencerminkan harmoni antara manusia, alam, dan Tuhan, sesuai dengan filosofi Tri Hita Karana yang dianut oleh masyarakat Bali.
Tata Krama memasuki Pura Agung Gunung Raung Taro
Papan Tata Krama Memasuki Pura (Sumber Foto : Koleksi Pribadi)
Tata krama dalam memasuki Pura Agung Gunung Raung Taro harus dijunjung tinggi untuk menjaga kesucian tempat tersebut. Pengunjung dilarang memasuki pura tanpa seizin parajuru desa adat yang bertanggung jawab atas adat dan aturan setempat. Selain itu, semua yang hendak masuk wajib mengenakan pakaian adat Bali sebagai tanda penghormatan terhadap tradisi dan spiritualitas pura. Bagi perempuan, ada larangan memasuki pura saat sedang dalam keadaan datang bulan (menstruasi), karena dianggap kurang suci dalam konteks adat Hindu. Selain itu, mereka yang sedang dalam masa halangan desa atau bedukacita (berduka karena kehilangan anggota keluarga) juga dilarang masuk hingga selesai masa berkabung. Aturan-aturan ini dirancang untuk menjaga kesucian dan kehormatan pura sebagai tempat ibadah dan spiritual yang sakral.