Tradisi Sarin Taun : Ungkapan Rasa Syukur atas Hasil Pertanian di Pura Ulunsuwi Desa Jatiluwih

Tradisi Ngaturang Sarin Taun adalah upacara mengucupakan puji syukur kepada Dewi Sri atas rahmat karena sudah memberikan hasil panen yang melimpah yaitu makan pokok ( Padi). Tradisi Ngaturang Sarin Taun merupakan salah satu media yang digunakan untuk menyampaikan pesan - pesan keagamaan khususnya Dewa Yadnya secara tidak langsung bagi subak Banjar Gunung Sari, Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan.

Nov 6, 2024 - 10:00
Oct 20, 2024 - 13:35
Tradisi Sarin Taun : Ungkapan Rasa Syukur atas Hasil Pertanian di Pura Ulunsuwi Desa Jatiluwih
Pelinggih Pura Ulunsuwi Candi Kuning (Sumber : Koleksi Pribadi)
Tradisi Sarin Taun : Ungkapan Rasa Syukur atas Hasil Pertanian di Pura Ulunsuwi Desa Jatiluwih
Tradisi Sarin Taun : Ungkapan Rasa Syukur atas Hasil Pertanian di Pura Ulunsuwi Desa Jatiluwih

Di Bali, sistem pertanian subak sudah berlangsung sejak lama. Sebagai kearifan lokal masyarakat Bali, Subak memang selalu punya hal menarik untuk dibahas, tidak hanya sistemnya di lapangan, tapi juga ritual atau upakara yang mengiringinya.

Salah satunya sebuah tradisi yang sudah berlangsung sejak jaman dulu di Pura Ulunsuwi (Pura Subak) Candikuning yang berlokasi di Banjar Gunung Sari, Desa Jatiluwih, Kecamatan Penebel, Tabanan. Tradisi yang disebut Sarin Taun itu, secara turun-temurun dipercaya sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil pertanian yang telah diberikan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Tradisi Sarin Taun ini memang rutin dilaksanakan di Pura Ulunsuwi Candikuning oleh krama Subak Jatiluwih Tempek Gunung Sari. Dimana tradisi ini hanya jatuh setiap tiga tahun sekali. “Jadi setiap enam bulan sekali menggelar pujawali, tepatnya setiap Buda Kliwon Pegat Uwakan. Dan untuk menggelar Sarin Taun ini, melalui piodalan alit dua kali, kemudian piodalan ageng satu kali, dilanjutkan piodalan alit dua kali lagi, kemudian baru ngaturan Sarin Taun ini. Jadi jatuhnya setiap tiga tahun sekali,”. Karena hanya dilakukan setiap tiga tahun sekali, maka pelaksanaan Sarin Taun ini sangat spesial dan selalu ditunggu-tunggu krama Subak.

Dewa Nini Melinggih Ring Pura (Sumber : Koleksi Pribadi)

Awal dari prosesi piodalan di pura tersebut berjalan layaknya piodalan pada umumnya, dimulai dengan berbagai rangkaian upacara adat yang dipenuhi oleh rasa syukur dan doa-doa yang dipanjatkan kepada para dewa. Prosesi ini diawali dengan persiapan sesajen, canang, dan banten yang dipersembahkan oleh umat, disertai dengan kidung suci dan mantra yang dibawakan oleh para pemangku serta pemedek. Namun, ada satu tahapan unik yang membedakan piodalan ini dari piodalan lainnya, yaitu ketika dilaksanakannya prosesi ngaturang Sarin Taun.

Pada prosesi Sarin Taun ini, masing-masing anggota subak, yakni kelompok petani yang mengatur sistem irigasi di Bali, memiliki tugas khusus untuk membawa Dewa Nini ke pura. Dewa Nini ini merupakan simbol yang sangat sakral bagi masyarakat agraris Bali, terutama para petani. Dewa Nini sendiri adalah ikatan padi yang dihias dengan indah, hasil dari panen padi Bali yang telah selesai. Setelah panen, para petani dengan penuh kehormatan dan rasa syukur membuat ikatan Dewa Nini ini dari padi yang terbaik, sebagai simbol keberkahan hasil bumi yang mereka terima.

Dewa Nini ini kemudian dipersembahkan dalam upacara tersebut dan ditempatkan dengan hati-hati pada jineng atau lumbung di setiap rumah para petani. Jineng atau lumbung merupakan bangunan tradisional Bali yang digunakan untuk menyimpan hasil panen padi agar tetap aman dan terjaga dari hama. Peletakan Dewa Nini di jineng ini melambangkan bahwa padi tersebut bukan hanya sekadar bahan pangan, tetapi juga merupakan manifestasi dari berkah yang diberikan oleh Dewa, yang harus dijaga dan dihormati. Prosesi ini menggambarkan betapa pentingnya hubungan antara manusia, alam, dan para dewa dalam kehidupan masyarakat Bali, terutama dalam tradisi agraris mereka. Dengan prosesi ngaturang Sarin Taun ini, masyarakat tidak hanya menunjukkan rasa syukur atas panen yang melimpah, tetapi juga mempertegas peran penting subak sebagai penjaga keberlangsungan pertanian tradisional di Bali.

Dewa Nini Mesician Ring Beji (Sumber : Koleksi Pribadi)

Dewa Nini, simbol sakral yang mewakili Dewi Sri, dewi kemakmuran dan kesuburan dalam tradisi agraris Bali, dirias dengan indah menggunakan bunga-bunga segar, baik dalam bentuk laki-laki maupun perempuan. Setelah dihias, Dewa Nini diarak oleh krama subak (kelompok petani) menuju pura untuk melaksanakan rangkaian upacara. Prosesi dimulai dengan pecaruan, ritual penyucian, dilanjutkan dengan memendak (penyambutan dewa), dan mesician (pemandian simbol suci).

Ritual berlanjut dengan pekelemigian, persembahan khusus untuk menghormati dewa-dewa yang berkaitan dengan sumber kehidupan, dan diakhiri dengan upacara ngaturang piodalan, yang penuh dengan doa dan mantra untuk memohon keberkahan. Setiap petani membawa seikat padi yang nantinya disimpan di jineng (lumbung) di rumah, sebagai simbol berkah hasil panen. Prosesi ini menggambarkan hubungan harmonis antara manusia, alam, dan kekuatan ilahi.

Setelah semua tahapan selesai, suasana mistis sering terasa di pura, dan beberapa orang yang memiliki kepekaan spiritual akan mengalami kerauhan (trance), di mana mereka memberikan paica berupa Manik Galih, benda suci yang dipercaya membawa kekuatan spiritual dan berkah bagi keluarga.

Nyineb (Sumber : Koleksi Pribadi)

Setelah seluruh prosesi ini selesai, barulah dilaksanakan tahapan terakhir yang disebut dengan nyineb. Nyineb adalah upacara penutupan yang menandai berakhirnya rangkaian piodalan. Tahapan ini menutup seluruh prosesi dengan doa-doa penutup, memastikan bahwa semua persembahan dan upacara telah diterima oleh para dewa, dan umat yang hadir telah mendapatkan berkah dari prosesi yang dilaksanakan.

Tradisi ini yang secara turun temurun dilaksanakan memiliki makna sebagai ungkapan rasa syukur atas merta atau hasil pertanian yang diberikan Ida Sang Hyang Widhi Wasa utamanya Dewi Sri sebagai Dewi Kemakmuran. “Kami mengucapkan rasa syukur telah diberikan merta berupa hasil pertanian, sekaligus memohon agar hasil panen lebih baik lagi."

Subak Jatiluwih Tempek Gunung Sari sendiri memiliki anggota 98 orang dengan 33 tektek atau pembagian air, serta luasan tanah garapan mencapai 60 hektare. Diakuinya jika selama ini tradisi Sarin Taun selalu dilaksanakan alias tidak pernah absen digelar, terkecuali desa pakraman mengalami cuntaka.