Keindahan Alam dan Budaya Desa Bulian: Surga Tersembunyi di Buleleng

Desa Bulian adalah permata tersembunyi yang menawarkan keindahan alam dan kekayaan budaya. Dikenal dengan sejarahnya yang berhubungan dengan kerajaan Hindu sejak abad ke-3, desa ini memiliki situs-situs penting seperti Pura Yeh Lesung, tempat suci untuk ritual melukat dan pengobatan spiritual. Selain sejarah, hamparan perkebunan buah naga dan 33 pura yang tersebar di seluruh desa menambah daya tarik desa ini. Kearifan lokal seperti gotong-royong masih dijunjung tinggi oleh masyarakat, menjadikan Bulian destinasi ideal bagi mereka yang mencari ketenangan dan pengalaman Bali yang autentik.

Oct 23, 2024 - 06:00
Oct 21, 2024 - 10:52
Keindahan Alam dan Budaya Desa Bulian: Surga Tersembunyi di Buleleng
Plang Masuk Desa Bulian (Sumber: Koleksi Pribadi)

Berbicara tentang Budaya dan Keindahan Alamnya, tentunya Bali Utara masih menyimpan sejuta fakta misteri dan keistimewaannya. Kini mari kita menyelisik lebih dalam lagi di Dunia Sang Singa Ambara - terdapat sebuah permata tersembunyi di Buleleng yaitu sebuah desa yang menyimpan pesona alam dan budaya yang memukau. Desa Bulian, begitulah namanya, mungkin tidak begitu terkenalnya di bandingkan daerah desa wisata yang ada di Buleleng namun tempat ini sangat di rekomendasikan untuk melarikan diri dari hiruk pikuk kota dan menikmati keindahan alam yang masih perawan.

Dahulu daerah Bulian dijuluki dengan nama Desa Banyubuah, terletak di Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng. Desa Bulian yang jarang terdengar eksistensinya dikalangan masyarakat awam, siapa sangka begitu banyak menyimpan peninggalan yang sarat akan sejarah dan keunikan yang bahkan tidak dimiliki oleh desa-desa lainnya di Bali. Nama Bulian berakar dari kata “Bulih” yang bermakna bibit padi dan mendapat akhiran An sehingga makna Bulian yaitu Bibit Padi seolah-olah mengilhami bahwasannya wilayah ini di era Bali Kuno merupakan bagian dari kerajaan yang sangat subur dan terkenal akan keberlimpahan hasil bumi sehingga disebut pula dengan julukan “Gunung Sari”. Hal ini justru diperkuat dengan adanya beberapa lontar seperti Lontar Tingkahing Mungkah Parhyangan, Sangkul Pinge, dan Lontar Kusumadewa. Ada pula yang menyatakan Bulihan sandingan katanya dengan kata Abulih atau Mebulihan pemaknaan ini disesuaikan dengan fakta yang ada di zaman dahulunya wilayah Bulian merupakan basis/benteng pertahanan untuk menghadang musuh-musuh.

Berangkat dari sekilas sejarahnya Desa Bulian, tentu saat ini keindahan alam yang di suguhkan tidak sirna begitu saja bahkan masih terjaga keasriannya. Terutama ketika kita akan mengunjungi Desa Bulian yang menjadi pusat perhatian ialah suguhan pemandangan dari hamparan perkebunan Buah Naga yang kini telah menjadi komoditas andalan. Terlebih lagi Desa Bulian dengan aspek religiusnya menawarkan keunikan dan ciri khas tersendiri dari arsitektur Pura yang tersebar sebanyak 33 di setiap belahan daerah Desa Bulian.

Foto Perkebunan Buah Naga (Sumber : Koleksi Pribadi)

Foto Perkebunan Buah Naga (Sumber : Koleksi Pribadi)

Dalam aspek religiusitas yang dimiliki, tentunya akan melahirkan budaya apalagi dengan ditemukannya sebuah peninggalan prasasti berupa lempengan tembaga dengan periode tahun 1103 Caka atau 1181 Masehi yaitu Prasasti Bulian A dan tahun 1182 Caka atau 1260 Masehi yaitu Prasasti Bulian B. Prasasti inilah yang memberikan gambaran akan keberadaan Pura-pura dan juga tradisi serta tarian sakral. Prasasti ini berstana di Pura Jurang Pingit, yang justru sangat dijaga kesakaralannya karena menurut budaya masyarakat setempat apabila kita ingin melihat prasasti tersebut harus mengadakan tahapan ritual keagamaan.

Menyelisik informasi lebih dalam lagi, pernah dilakukan penelitian oleh Balai Arkeologi dari hasil penelitian tersebut bahwa di Desa Bulian diduga pernah berkembang sebuah kerajaan Hindu pada abad ke 3 Masehi yang dapat kita indikasikan jika benar adanya kerajaan ini lebih dahulu ada ketimbang kerajaan Kutai.

Dari sejarah akan menciptakan kebudayaan yang paripurna. Khususnya Desa Bulian terdapat beberapa jejak-jejaknya terkait dengan dinasti kerajaan Warmadewa. Salah satu tempat yang menjadi pusat kehidupan spiritual dan budaya masyarakat setempat adalah Pura Yeh Lesung. Pura ini tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga menjadi saksi bisu perjalanan sejarah dan kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Foto Pura Yeh Lesung (Sumber : Koleksi Pribadi)

Foto Pura Yeh Lesung (Sumber : Koleksi Pribadi)

Asal usul Pura Yeh Lesung belum diketahui secara pasti akan tetapi dibangunnya Pura ini untuk menghormati para raja yang pernah tinggal di Banyubuah (Bulian) yang di mana Pura ini pernah dijadikan tempat kerajaan sebagai benteng dan pertahanan namun, menurut penuturan para tetua Desa Bulian mengatakan keberadaan Pura Yeh Lesung diperkirakan sejak datangnya seorang raja Tabanendra Warmadewa dengan permaisurinya bernama Subhadrika Darmadewi, cucu dari Ugrasena.

Dulunya Pura Yeh Lesung dijadikan tempat melukat untuk memohon tamba oleh para Raja di era Bali Kuno. Hingga saat ini budaya tersebut masih berkelanjutan sebagai tempat melukat bagi para umat Hindu setempat. Melihat keunikan yang terdapat di Pura Yeh Lesung yaitu dengan adanya 11 tirta dalam Bulakan/Lesung bersumber dari mata air yang keluar dari batu/paras dan tidak pernah surut sehingga menurut masyarakat setempat meyakini Pura ini sebagai tempat sakral memohon tamba (pengobatan/kesembuhan). Selain itu di sekitar areal Pura di temukan sebuah relief Sabung Ayam yang ini menandakan bahwasannya terdapat kehidupan masyarakat pada zaman dahulu.

Foto Tempat Penglukatan Di Pura Yeh Lesung (Sumber : Koleksi Pribadi)

Foto Tempat Penglukatan Di Pura Yeh Lesung (Sumber : Koleksi Pribadi)

Maka dari itu, kita bisa mengkaji adanya Nilai Sosial Budaya yang melekat di Pura Yeh Lesung, di mana pura ini dipelihara oleh krama dadia yang bertanggung jawab sebagai pengempon atau pengelola pura. Tanggung jawab ini terlihat jelas ketika menjelang pelaksanaan odalan (upacara keagamaan), di mana krama dadia dan para pengempon berperan aktif dalam membersihkan area pura. Tradisi ini memperlihatkan nilai gotong-royong yang sudah ditanamkan dari generasi ke generasi, di mana masyarakat bersama-sama menjaga kelestarian dan kesucian pura.

Gotong-royong yang dilaksanakan oleh krama dadia bukan hanya sekadar tanggung jawab terhadap fisik pura, tetapi juga merupakan wujud nyata dari nilai-nilai sosial yang diwariskan oleh leluhur mereka. Nilai ini mengajarkan pentingnya kerja sama dan kebersamaan dalam menjaga warisan budaya, sekaligus mencerminkan bagaimana masyarakat Bali mengutamakan harmoni dalam kehidupan sosial. Melalui keterlibatan seluruh lapisan masyarakat, keberlangsungan tradisi ini terjaga dan tetap relevan di tengah dinamika zaman yang terus berubah.

Selain itu, Pura Yeh Lesung di Desa Bulian bukan sekadar tempat suci untuk beribadah, tetapi juga menjadi simbol dari hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Sang Pencipta. Ritual-ritual yang masih dipertahankan hingga kini serta kearifan lokal yang dilestarikan menjadi bukti bahwa tradisi dan modernitas dapat berjalan selaras. Pura ini menjadi cerminan nyata bagaimana masyarakat Bali mampu menjaga keseimbangan antara adat, spiritualitas, dan kehidupan modern.