Mejaga-jaga: Caru Sakral Rebut Darah Sapi Hasil Tebasan Blakas Sudamala

Mungkin, kita sudah tidak asing lagi dengan fakta bahwa Bali menjadi salah satu dari sekian banyak pulau kecil yang memiliki berbagai tradisi unik. Tradisi-tradisi inilah yang membuat Bali dicintai oleh masyarakat, baik masyarakat Indonesia maupun turis asing. Namun, seiring berjalannya waktu tradisi-tradisi tersebut mulai tergerus oleh zaman. Meskipun begitu, masih ada sejumlah tradisi di Kabupaten Klungkung yang masih rutin dilaksanakan dan dilestarikan hingga saat ini. Salah satu tradisi unik tersebut adalah “Mecaru Mejaga-Jaga” atau dikenal dengan nama mecaru sampi yang bahkan sudah tercatat dalam warisan kebudayaan tak benda. Penasaran bukan bagaimana uniknya tradisi ini?

Jan 1, 2024 - 00:38
Dec 31, 2023 - 10:59
Mejaga-jaga: Caru Sakral Rebut Darah Sapi Hasil Tebasan Blakas Sudamala
Tradisi Mecaru Mejaga-Jaga (Sumber: Koleksi Pribadi)
Mejaga-jaga: Caru Sakral Rebut Darah Sapi Hasil Tebasan Blakas Sudamala

Tradisi merujuk pada serangkaian kebiasaan, praktik, atau nilai-nilai yang diwariskan dari generasi ke generasi dalam suatu masyarakat atau kelompok tertentu. Tradisi mencakup berbagai aspek kehidupan, seperti upacara adat, ritus, tata cara pernikahan, adat istiadat, bahasa, seni, dan nilai-nilai budaya yang dijalankan secara berulang-ulang dari satu generasi ke generasi berikutnya.

 

Tradisi Mecaru Mejaga-Jaga (Sumber: Koleksi Pribadi)

 

Tradisi biasanya mencerminkan identitas suatu kelompok atau masyarakat, dan seringkali menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari mereka. Tradisi dapat memainkan peran penting dalam membentuk dan memelihara hubungan sosial, struktur keluarga, serta nilai-nilai yang dihormati dalam suatu komunitas.

 

Meskipun beberapa tradisi dapat mengalami perubahan atau modifikasi seiring berjalannya waktu, banyak di antaranya dijaga dengan tekun sebagai bagian dari warisan budaya. Tradisi dapat diteruskan melalui cerita, praktik-praktik ritual, simbol-simbol, dan berbagai bentuk ekspresi budaya lainnya. Keberlanjutan tradisi sering kali menjadi cara untuk mempertahankan identitas budaya dan merayakan warisan leluhur.

 

Salah satu tradisi yang ada di Bali dan masih kurang terekspos ini adalah tradisi Mecaru Mejaga-jaga. Tradisi yang berasal dari Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa, Semarapura Kaja, Kabupaten Klungkung ini bahkan telah terdaftar sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia.

 

Ritual Mecaru Mejaga-Jaga Di Catus Pata Desa (Sumber: Koleksi Pribadi)

 

Mecaru Mejaga-Jaga merupakan praktik tradisi keagamaan yang diadakan sejak para migran dari Desa Tohjiwa, Kerajaan Karangasem, tiba di Klungkung pada tahun 1750, setelah Perang Karangasem-Klungkung. Para migran, bersama keluarga mereka, pindah ke Klungkung dan menyerahkan diri kepada Raja Klungkung Ida Dewa Agung. Mereka membawa barang-barang serta warisan budaya berupa benda Pusaka, seperti Kentongan (Kulkul), Tombak, Keris, Parang Sudamala, dan unsur tak berwujud berupa Tradisi Ritual Keagamaan "korban suci," yakni persembahan suci kepada unsur-unsur alam semesta (Panca Mahabuta), yang dikenal sebagai Caru Mejaga-Jaga.


Ritual atau persembahan suci (Bhuta Yadnya), yang dikenal sebagai Caru Mejaga Jaga, diadakan setelah para migran diterima oleh Ida Dewa Agung, Raja Klungkung, dan diarahkan menuju sebuah pemukiman yang dinamakan Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa. Nama Tohjiwa diabadikan sebagai penghormatan terhadap Desa Adat asal para migran, yakni Desa Tohjiwa dari Kerajaan Karangasem. Sejak menjalani kehidupan di Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa pada tahun 1750. Tradisi ritual Mecaru Mejaga Jaga, sebagai warisan budaya tak benda, secara konsisten diadakan setiap tahun pada saat bulan mati (Tilem) dalam kalender Bali, yang bersamaan dengan bulan kedua (Sasih Karo).

 

Sarana utama dalam pelaksanaan tradisi ini adalah seekor sapi jantan yang sudah dikebiri (Sapi Cula) berdasarkan kriteria dan ciri-ciri khusus yaitu bulu tidak berwarna merah, tidak bebed, Ekor tidak boleh Panjut, tidak ada bekas luka, tidak warna warni (Tutul) dan posisi tanduknya tegak baik (Tongklok Tangeb).

 

Sapi yang diikat dengan tujuh tali pertama-tama diarak ke arah utara hingga mencapai ujung utara desa, tepatnya di depan Pura Puseh setempat. Di sana, sebuah prosesi upacara diadakan, dan sapi tersebut kemudian disembelih pada bagian pantat sebelah kanan oleh pemangku Catus Pata, menggunakan parang atau blakas Sudamala yang telah disakralkan. Darah sapi terlihat tersebar di sekitar. Tidak cukup sampai disana, sapi tersebut kemudian diarak kembali oleh warga ke arah selatan, mencapai batas desa di depan Pura Dalem. Upacara kembali diadakan di sana, dan sapi kembali disembelih, kali ini pada bagian pantat sebelah kiri. Selanjutnya, sapi tersebut kembali diarak ke arah timur hingga mencapai perbatasan desa di sebelah timur. Di sana, sapi yang tampak lelah kembali disembelih pada bagian pantat sebelah kanan.

 

 

Dijelaskan oleh warga setempat bahwa darah sapi yang bercucuran diyakini sebagai kurban untuk melindungi desa setempat, baik secara sekala maupun niskala. Bahkan, dipercayai bahwa darah sapi tersebut memiliki sifat penyembuhan terhadap penyakit. Oleh karena itu, warga setempat bersaing untuk mendapatkan darah sapi dan menggunakannya untuk mengoleskan pada tubuh dan wajah mereka sebagai upaya untuk menetralisir atau membersihkan alam.

 Sapi Cula Sarana Mecaru Mejaga-Jaga (Sumber: Koleksi Pribadi)

 

Ritual Caru Mejaga Jaga bukan sekadar sebuah upacara tradisional, melainkan sebuah wujud pengabdian dan penghormatan kepada Ida Sanghyang Widi Wasa, kepada sesama manusia, alam semesta, dan warisan budaya Bali. Melalui praktik Bhuta Yadnya yang menjadi salah satu bagian dari Panca Yadnya, tujuan utama adalah terus mengingatkan umat Hindu di Bali agar menjaga keharmonisan dan kelestarian dalam konsep Tri Hita Karana. Dengan penuh kebanggaan, mari kita terus melestarikan dan merayakan makna yang mendalam dalam ritual Caru Mejaga Jaga, sebagai persembahan suci yang membawa kebahagiaan dan kesejahteraan.