Dalam tradisi Hindu, Dewi Pertiwi, dikenal dengan berbagai nama seperti Prthvi Devi, Dhra, Dharti, atau Dhrthri, yang artinya sosok yang sangat penting dan yang memegang segalanya. Dalam Regveda, Dewi Pertiwi dan Dyaus Pita, yang berarti Bapak Angkasa, sering disebut sebagai pasangan yang saling melengkapi. Hubungan ini mencerminkan keharmonisan dan keseimbangan kosmos, di mana bumi dan langit saling bergantung satu sama lain dalam menciptakan dan memelihara kehidupan.
Dewi Pertiwi dalam gambaran mitologi, digambarkan sebagai sosok yang sangat anggun dan megah. Ia sering kali diceritakan duduk di atas sebuah teratai, dikelilingi oleh perhiasan-perhiasan indah yang melambangkan kemurnian dan keindahan. Sebagai Dewi bumi, Dewi Pertiwi dihormati dan disakralkan oleh para penganutnya, yang melihatnya sebagai manifestasi dari bumi yang menghidupi segala bentuk kehidupan di dalamnya. Sebagai Ibu dari dewa-dewa seperti Indra dan Agni, ia memiliki posisi yang sangat tinggi dalam hierarki dewa-dewi Hindu.
Kisah yang menceritakan Dewi Pertiwi, serta perannya dalam mitologi, dapat ditemukan dalam Varaha Purana, salah satu teks purana yang penting dalam agama Hindu. Kisah ini dimulai dengan sebuah perdebatan yang penuh tantangan antara dua dewa utama, yaitu Dewa Brahma dan Dewa Wisnu. Keduanya ingin mengetahui siapa yang lebih unggul dalam pencarian ujung dunia. Sebagai hasil dari perdebatan ini, Dewa Siwa sebagai dewa utama dan penguasa kosmos, memutuskan untuk memberikan tugas kepada masing-masing dewa.
“Dewa Brahma, kamu akan mencari hingga ke Saptaloka, tujuh lapisan langit yang sangat tinggi. Dan kamu Dewa Wisnu, akan menjelajahi Saptapatala, tujuh lapisan bawah tanah yang terdalam,” kata Dewa Siwa. Dewa Wisnu, yang dikenal sebagai dewa pelindung dan pemelihara kosmos, menerima tugasnya dengan penuh semangat. “Aku akan melakukan yang terbaik dalam pencarianku,” ujar Dewa Wisnu dengan tekad. Dalam pencariannya, Dewa Wisnu menjelma menjadi seekor babi hutan (Varaha Awatara), sebuah bentuk yang secara simbolis mewakili kekuatan dan determinasi. Dengan wujudnya sebagai babi hutan, Dewa Wisnu turun ke bumi dan mulai menggali tanah untuk menemukan pangkal lingga milik Dewa Siwa.
Pertemuan Dewi Pertiwi dengan Varaha Awatara (Sumber: Koleksi Pribadi)
Dengan wujudnya sebagai babi hutan, Dewa Wisnu turun ke bumi dan mulai menggali tanah untuk menemukan pangkal lingga milik Dewa Siwa. Ia menggali dengan penuh ketekunan dan semangat, menembus lapisan demi lapisan tanah yang dalam. Namun, dalam proses penggaliannya, ia tiba di dasar bumi dan bertemu dengan Dewi Pertiwi.
Pertemuan antara Dewa Wisnu yang menjelma sebagai babi hutan dan Dewi Pertiwi merupakan momen yang penuh makna. Dewi Pertiwi yang merupakan personifikasi bumi, menerima kehadiran Dewa Wisnu dengan penuh rasa hormat. Dalam momen ini, seolah-olah seperti hujan yang menyerap ke dalam tanah, melahirkan seorang putra bernama Narakasura atau yang lebih dikenal dengan Bhoma. Bhoma, yang dalam dunia nyata adalah manifestasi dari tumbuh-tumbuhan yang berkembang di bumi, lahir dari pertemuan ini dan menjadi simbol kehidupan vegetasi di dunia.
Namun, kisah ini tidak berakhir dengan bahagia. Bhoma, putra dari Dewa Wisnu dan Dewi Pertiwi ternyata memiliki sifat yang sangat berbeda dari apa yang diharapkan. Bhoma menjadi seorang iblis yang sangat kuat dan menakutkan. Dengan kekuatan yang diperolehnya dari Dewa Wisnu, Bhoma mulai menyiksa umat manusia dan menciptakan penderitaan yang mendalam di bumi.
Dewa Wisnu yang merasa bertanggung jawab atas tindakan putranya, kemudian memberikan anugerah khusus kepada Bhoma. Dalam anugerah tersebut, dinyatakan bahwa hanya Dewi Pertiwi yang dapat membunuhnya. Bhoma yang mengetahui akan anugerah ini, memanfaatkan kekuatannya untuk semakin menindas manusia dan menyebarkan penderitaan di seluruh penjuru dunia.
Dalam usaha untuk mengatasi masalah ini, Krishna sebagai reinkarnasi dari Dewa Wisnu lahir ke dunia. Krishna yang merupakan inkarnasi dari Dewa Wisnu, datang dengan tujuan mulia untuk memulihkan keseimbangan kosmos dan mengalahkan kejahatan. Krishna menikahi Satyabhama, seorang wanita yang dianggap sebagai manifestasi dari Dewi Pertiwi. Satyabhama yang mengetahui tindakan jahat Bhoma merasa sangat terpanggil untuk bertindak.
Khrisna dan Satyabhama Melawan Bhoma (Sumber: Koleksi Pribadi)
Krishna dan Satyabhama, bekerja sama, menghadapi Bhoma dalam sebuah pertarungan epik. Satyabhama, dengan keberanian dan tekadnya, bersama Krishna, akhirnya berhasil mengalahkan dan membunuh Bhoma. Kemenangan ini tidak hanya mengakhiri penderitaan yang ditimbulkan oleh Bhoma, tetapi juga mengembalikan kedamaian dan keseimbangan di bumi. Kisah dalam Varaha Purana ini menggambarkan hubungan yang mendalam dan kompleks antara Dewi Pertiwi dan Dewa Wisnu. Melalui kisah ini, kita dapat melihat betapa pentingnya peran Dewi Pertiwi sebagai penjaga dan pelindung bumi, serta tantangan yang dihadapi dalam menjaga keseimbangan kosmos. Ini juga menunjukkan bagaimana para dewa, melalui berbagai inkarnasi dan perjuangan mereka, bekerja sama untuk mengatasi kejahatan dan memulihkan harmoni di dunia. Dalam Brahmanda Purana juga, terdapat sebuah kisah yang penuh dengan intrik, kemarahan, dan akhirnya, penebusan melalui pengorbanan. Cerita ini berawal dari Kerajaan Sunilatmaja yang diperintah oleh Raja Wena. Raja Wena dikenal sebagai seorang penguasa yang memiliki sifat buruk dan sering kali bertindak sewenang-wenang. Tindakan buruk Raja Wena menimbulkan kemarahan dan perlawanan dari para resi, yang merupakan para bijaksana dan pendeta yang dihormati. Pertarungan antara Raja Wena dan para resi berlangsung dengan sangat dahsyat dan sengit. Akhirnya, Raja Wena dikalahkan oleh kekuatan para resi yang telah bersatu melawan keburukannya. Namun, kekalahan Raja Wena disertai dengan keanehan. Dari kedua tangannya muncul dua sosok yang sangat berbeda, yaitu Nisada dan Pretu.
Keturunan Raja Wena (Sumber: Koleksi Pribadi)
Nisada, yang muncul dari tangan Raja Wena, adalah sosok pemburu. Ia kemudian menjadi cikal bakal suku Nisada, namun kisahnya tidak diceritakan lebih lanjut dalam naskah ini. Sebaliknya, Pretu adalah sosok ksatria yang juga keturunan Raja Wena, namun memiliki sifat yang berbeda. Sifat angkara murka Raja Wena yang ada dalam diri Pretu telah diubah dan "dibuang". Para resi, setelah melihat potensi baik dalam diri Pretu, menahbiskannya sebagai raja menggantikan ayahnya.
Di bawah pemerintahan Raja Pretu, Kerajaan Sunilatmaja mengalami perubahan yang signifikan. Kerajaan tersebut menjadi lebih baik dan makmur, dan rakyat serta para resi hidup dalam kesejahteraan. Raja Pretu, dengan kebijaksanaan dan perhatian yang baru ditemukan, memimpin kerajaannya dengan adil dan penuh kasih.
Suatu hari, Raja Pretu mengadakan upacara yadnya yang merupakan upacara persembahan kurban agung. Dalam upacara tersebut, secara gaib muncul dua sosok brahmana dari noda minyak yang digunakan dalam penyucian kurban. Keduanya, Suta dan Magada, terlahir dari doa dan puji-pujian para resi, menandai kehadiran mereka sebagai bagian dari upacara tersebut.
Namun, kebahagiaan dan kesejahteraan yang dinikmati oleh Kerajaan Sunilatmaja tidak bertahan lama. Suatu masa, kerajaan dilanda oleh kekeringan yang parah, menyebabkan penderitaan yang meluas di antara para resi dan masyarakat. Melihat keadaan yang semakin memburuk, Raja Pretu merasakan kemarahan yang mendalam. Sebagaimana telah dikatakan oleh para pendeta, “Asih maweh ilik,” yang berarti “Dari cinta kasih bisa timbul rasa benci.” Frasa ini mengungkapkan bagaimana kemarahan dapat timbul dari ketidakseimbangan dalam kasih sayang.
Kemarahan Raja Pretu Terhadap Dewi Pertiwi (Sumber: Koleksi Pribadi)
Kemungkinan besar sebagai akibat dari kesulitan yang dihadapinya, Raja Pretu melampiaskan kemarahannya kepada Dewi Pertiwi. Ia menganggap Dewi Pertiwi lah yang telah menyebabkan kekeringan di kerajaannya, padahal ia sudah melakukan upacara yadnya agar kerajaannya makmur. Dewi Pertiwi di sini adalah sosok dewa atau bhatari yang dipuja, yang biasanya dikaitkan dengan kesuburan dan kekayaan tanah.
Dewi Pertiwi yang mengetahui kemarahan Raja Pretu, mencoba untuk melarikan diri dari kejaran sang raja. Dalam usaha untuk menghindari kemarahan sang raja, Dewi Pertiwi menembus tri loka (tiga alam) dan mengubah dirinya menjadi seekor sapi betina yang dikenal dengan nama Sang Hyang Wasundara atau Basundari. Meskipun berusaha untuk bersembunyi dari Raja Pretu, Dewi Pertiwi akhirnya diberikan nasihat oleh para rsi untuk memohon belas kasihan dari sang raja.
Pada akhirnya, Dewi Pertiwi berhasil ditangkap oleh Raja Pretu. Dengan penuh rasa hormat, Dewi Pertiwi bersujud di hadapan Raja Pretu dan memohon belas kasihan sesuai dengan arahan para rsi. Sebagai pengganti keselamatan nyawanya, Dewi Pertiwi menawarkan dirinya untuk diperah susunya. Susu hasil perahan dari Dewi Pertiwi yang merupakan simbolisasi dari kesuburan dan kemakmuran, kemudian digunakan untuk menyuburkan tanah kerajaan. Susu tersebut menjadikan tanah Kerajaan Sunilatmaja menjadi subur kembali dan rakyatnya pun kembali mengalami kesejahteraan dan kebahagiaan.
Kisah ini, sebagaimana ditulis dalam Kakawin Brahmanda Purana, yang digubah di Pulau Bali pada masa pemerintahan Ratu Dewa Agung Istri Kanya dari Kerajaan Klungkung (1822–1860 M), memberikan gambaran yang mendalam tentang hubungan antara manusia dan kekuatan ilahi, serta bagaimana kemarahan dan pengorbanan dapat mempengaruhi keseimbangan dan kesejahteraan sebuah kerajaan. Dalam cerita ini, Dewi Pertiwi berperan sebagai penyelamat, mengingatkan kita akan pentingnya kesuburan dan keseimbangan dalam kehidupan, serta bagaimana kebijaksanaan dan belas kasihan dapat mengubah nasib suatu bangsa.