Pura Luhur Sri Rambut Sedana: Kepeng Kuno sebagai Simbol Kekayaan Sakral
Pura Luhur Sri Rambut Sedana di Jatiluwih, Tabanan, berdiri sejak abad ke-18 untuk memuliakan Dewa Rambut Sedana sebagai dewa kekayaan dan kemakmuran. Penemuan ribuan kepeng kuno pada abad ke-19 menambah kesakralan pura ini, karena dianggap sebagai warisan leluhur sekaligus simbol kekayaan sakral. Hingga kini, kepeng tetap digunakan dalam berbagai upacara, melambangkan keseimbangan hidup antara materi, spiritual, dan harmoni dengan alam. Keberadaan pura dan kepeng kuno juga menambah nilai bagi Jatiluwih sebagai kawasan warisan dunia UNESCO, sekaligus mengingatkan generasi muda akan pentingnya menjaga tradisi di tengah modernisasi.
Sejarah berdirinya Pura Luhur Sri Rambut Sedana menjadi kunci untuk memahami makna keberadaan ribuan kepeng kuno di dalamnya. Pura ini berdiri pada abad ke-18 Masehi di kawasan Jatiluwih, Tabanan, wilayah yang sejak lama terkenal dengan sistem irigasi subak dan panorama sawah berundak. Pura ini didirikan untuk memuliakan Dewa Rambut Sedana, yang diyakini sebagai dewa kekayaan dan kemakmuran. Dalam tradisi Hindu Bali, Dewa Rambut Sedana sering disejajarkan dengan aspek Wisnu, sang pemelihara kehidupan, yang berperan menjaga kelimpahan rezeki. Keberadaan pura sejak masa itu telah menjadi pusat spiritual masyarakat agraris yang menggantungkan hidup pada kesuburan tanah, air yang melimpah, serta keharmonisan hubungan dengan alam.
Konteks historis pendirian pura juga memperlihatkan bagaimana masyarakat Bali menekankan keseimbangan antara spiritualitas dan kesejahteraan lahir. Pada abad ke-18, Jatiluwih berkembang sebagai lumbung padi dengan sistem subak yang tertata rapi. Kehadiran Pura Luhur Sri Rambut Sedana pada masa itu diyakini sebagai bentuk penghormatan terhadap kekuatan ilahi yang menjaga keseimbangan tersebut. Dengan demikian, pura bukan hanya tempat sembahyang, tetapi juga simbol keterhubungan antara hasil bumi, kesejahteraan sosial, dan perlindungan spiritual.
Pura Luhur Sri Rambut Sedana (Sumber: Koleksi Pribadi)
Penemuan ribuan kepeng kuno pada abad ke-19 menjadikan pura ini berbeda dengan pura-pura lain. Berdasarkan keterangan warga, kepeng ditemukan setelah pura berdiri, sehingga penemuan ini bukan dianggap kebetulan semata, melainkan tanda kesakralan yang mempertegas peran pura sebagai pusat pemujaan dewa kekayaan. Kepeng-kepeng tersebut diyakini sebagai warisan leluhur, simbol doa, dan penguat keyakinan bahwa Dewa Rambut Sedana senantiasa melimpahkan berkah. Bagi masyarakat, kepeng kuno bukan sekadar benda arkeologis, melainkan bukti nyata bahwa hubungan antara manusia, leluhur, dan dewa terjalin erat di tempat ini.
Fungsi kepeng kuno dalam kehidupan masyarakat Bali sebenarnya sudah ada jauh sebelum penemuan tersebut. Sejak berabad-abad lalu, kepeng dipakai sebagai alat tukar dalam perdagangan, media persembahan dalam upacara keagamaan, hingga simbol kesucian dalam berbagai yadnya. Namun, di Pura Luhur Sri Rambut Sedana, kepeng memiliki fungsi yang lebih khusus: ia menjadi jembatan antara manusia dengan Dewa Rambut Sedana. Masyarakat percaya bahwa setiap kepeng yang dipersembahkan adalah doa agar sawah tetap subur, hasil panen melimpah, dan keluarga hidup sejahtera. Tradisi inilah yang membuat kepeng tetap hidup dalam ritual hingga sekarang.
Pura Luhur Sri Rambut Sedana (Sumber: Koleksi Pribadi)
Pelestarian kepeng kuno dilakukan dengan penuh rasa hormat oleh para pemangku dan krama adat Jatiluwih. Ribuan kepeng disimpan dengan hati-hati dan digunakan kembali pada saat piodalan. Dalam setiap banten, kepeng hadir sebagai bagian penting yang tidak tergantikan. Bahkan dalam perkembangan zaman modern, masyarakat tetap berpegang pada keyakinan bahwa tanpa kepeng, suatu upacara belum sempurna. Hal ini membuktikan bahwa kepeng tidak hanya berfungsi sebagai artefak bersejarah, melainkan elemen hidup yang menjaga kesinambungan ritual dan memperkuat ikatan antara manusia, alam, dan para dewa.
Makna simbolis kepeng kuno bagi masyarakat Bali sangat mendalam. Kekayaan yang dimaksud tidak hanya berupa materi, tetapi juga keseimbangan hidup. Kepeng dipahami sebagai simbol kekayaan sakral yang meliputi kesuburan tanah, keharmonisan keluarga, hingga keselamatan lahir dan batin. Nilai ini menjadi alasan mengapa Pura Luhur Sri Rambut Sedana sangat istimewa, karena kepeng yang ada di dalamnya bukan sekadar koleksi kuno, melainkan warisan spiritual yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Relevansi di masa kini menunjukkan bahwa tradisi Bali tidak pernah hilang meski zaman terus berubah. Kepeng kuno tetap dihormati sebagai benda sakral yang membawa pesan filosofis: kesejahteraan hanya tercapai bila manusia menjaga keseimbangan antara materi, spiritual, dan lingkungan. Generasi muda diingatkan bahwa modernisasi tidak boleh menghapus identitas budaya, melainkan sebaiknya berjalan berdampingan dengan kearifan lokal.
Pura Luhur Sri Rambut Sedana (Sumber: Koleksi Pribadi)
Posisi Pura Luhur Sri Rambut Sedana di Jatiluwih juga memperkaya nilai spiritualnya. Jatiluwih sendiri telah diakui UNESCO sebagai warisan dunia karena sistem subaknya yang unik dan berkelanjutan. Wisatawan yang datang ke kawasan ini tidak hanya menikmati panorama sawah berundak yang menakjubkan, tetapi juga memperoleh pengalaman religius dan kultural melalui keberadaan pura dan kepeng kuno di dalamnya. Hal ini menjadikan pura bukan hanya destinasi spiritual bagi umat Hindu Bali, tetapi juga simbol keterpaduan antara keindahan alam, warisan budaya, dan spiritualitas.