Mengungkap Kisah Monumen Sukra dan Sukri di Desa Penarungan: Warisan Budaya yang Terlupakan
Dua tentara Jepang, Mutswiso dan Harraki, membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia di Desa Penarungan, Bali. Mereka melatih pejuang lokal dan memperkuat persenjataan. Mutswiso gugur saat mempersiapkan bantuan, sedangkan Harraki tewas dalam pertempuran besar pada 1946. Keduanya dimakamkan secara Hindu sesuai permintaan mereka. Monumen Sukra dan Sukri didirikan untuk mengenang pengorbanan mereka.
Indonesia, negara yang kita cintai, telah melalui sejarah panjang yang penuh dengan pertumpahan darah dalam perjuangannya mencapai kemerdekaan. Pahlawan dari berbagai daerah di seluruh Nusantara mengambil peran besar dalam mewujudkan kemerdekaan Indonesia. Salah satu kisah heroik yang jarang terdengar terjadi di Pulau Bali, tepatnya di Desa Penarungan, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Di desa ini, tercatat ada ratusan pejuang yang terdiri dari warga sipil terlatih yang bertempur melawan Netherland Indies Civil Administration (NICA) pada masa pasca-Perang Dunia II.
Monumen Sukra dan Sukri (Sumber: Koleksi Pribadi)
Menurut Perbekel Penarungan, Ni Wayan Kerni, kedua tentara Jepang ini awalnya ditemukan oleh warga Banjar Umopoh Penarungan. Warga melihat mereka kebingungan di salah satu pondok sambil mengibarkan bendera putih sebagai tanda menyerah. Kepala Desa Penarungan yang pertama, Ketut Receh, yang juga merupakan Ketua Bala Pejuang Markas W (War) di Penarungan, menerima laporan tersebut dan segera mengambil langkah. Salah satu pejuang intel berani mendekati kedua tentara Jepang itu dan mengajak mereka bergabung dengan pasukan.
Karena mereka ditemukan pada hari Jumat, atau Sukra dalam bahasa Bali, Ketut Receh menyematkan nama Bali kepada mereka. Mutswiso diberi nama I Wayan Sukra, sementara Harraki diberi nama I Made Sukri. Dari sini, dimulailah perjalanan mereka dalam membantu perjuangan rakyat Bali di Desa Penarungan dan sekitarnya.
Dalam tugas ini, Mutswiso dan Harraki berbagi peran. Mutswiso mempersiapkan persenjataan dan pasukan di Markas W bersama I Ketut Receh. Namun, nasib tragis menimpa Mutswiso ketika keberadaannya diketahui oleh tentara NICA. Dia gugur sebelum sempat mengirimkan bantuan kepada Ngurah Rai.
Monumen Sukra dan Sukri (Sumber: Koleksi Pribadi)
Ada satu hal yang luar biasa dari kisah kedua tentara Jepang ini. Sebelum gugur, Harraki sempat berpesan kepada Ketut Receh agar ia dan Mutswiso diupacarai secara Hindu jika mereka meninggal dalam pertempuran. Permintaan ini diikuti oleh para pejuang Bali, yang menghormati permintaan terakhir mereka.
Kisah ini menunjukkan betapa kompleksnya perjuangan kemerdekaan Indonesia, yang tidak hanya melibatkan putra-putri Nusantara, tetapi juga individu dari negara lain yang dengan tulus membantu perjuangan suci ini. Pengorbanan Mutswiso dan Harraki memberikan pelajaran penting tentang solidaritas dan semangat untuk merdeka yang melampaui batas-batas bangsa. Desa Penarungan akan selalu mengingat dua nama ini sebagai bagian dari sejarah besar bangsa Indonesia.