Pesona Pura Sabang Daat: Pura Hindu di Bali dengan Keunikan Tanpa Pelinggih serta Keajaiban Spiritual di Tengah Hutan
Pura Sabang Daat adalah pura unik di perbatasan Gianyar dan Bangli, Bali, yang tidak memiliki bangunan fisik (pelinggih). Tempat ini diyakini suci secara spiritual dan terkait dengan perjalanan Ida Bhatara Rsi Markandeya. Pura ini digunakan untuk memohon berkah seperti kesembuhan dan keturunan, dan hanya dipimpin oleh Jero Mangku setempat tanpa penggunaan alat musik (gamelan) atau pendeta.
Pura Sabang Daat merupakan salah satu pura yang unik di Bali, berbeda dari pura-pura lainnya yang umumnya memiliki bangunan suci atau pelinggih. Terletak di perbatasan Kabupaten Gianyar dan Bangli, tepatnya di Desa Pakraman Puakan, Desa Taro, Kecamatan Tegallalang, Gianyar, pura ini berada di tengah hutan. Keunikan pura ini terletak pada ketiadaan bangunan fisik, namun penuh dengan nilai spiritual dan sejarah penting dalam perkembangan Hindu di Bali.
Pura Sabang Daat memiliki sejarah panjang yang berkaitan erat dengan Ida Bhatara Rsi Markandeya, seorang Maha Yogi yang berperan penting dalam penyebaran agama Hindu di Jawa, Bali, dan Lombok. Ia juga dikenal sebagai tokoh di balik berdirinya Pura Besakih, pura terbesar dan tertua di Bali, serta pengenalan sistem pengairan tradisional yang dikenal sebagai Subak. Beberapa nama desa di Bali, seperti Desa Besakih, Desa Taro, Desa Puakan, Desa Payogan, dan Desa Payangan, menjadi penanda perjalanan beliau di Bali.
Pura Sabang Daat (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)
Pura Sabang Daat merupakan salah satu pura tertua yang didirikan oleh Ida Bhatara Rsi Markandeya. Di pura inilah beliau pertama kali mengadakan pertemuan dengan para pengikutnya. Nama "Sabang Daat" berasal dari kata "Sabang" yang berarti pertemuan orang penting, dan "Daat" yang berarti sakral atau keramat. Jadi, Pura Sabang Daat dapat diartikan sebagai "tempat pertemuan sakral yang suci."
Hal yang menjadikan Pura Sabang Daat istimewa adalah ketiadaan bangunan fisik seperti pura pada umumnya. Pura ini tidak memiliki pelinggih atau bangunan megah, melainkan terdapat asagan, tempat untuk meletakkan sesajen atau banten, dan juga terdapat bebatuan suci yang terbuat dari batu alam yang sekarang menjadi bukti peninggalan dari Maha Rsi Markandeya. Namun, secara spiritual (niskala), Dalam keyakinan masyarakat setempat, Pura Sabang Daat dihuni oleh energi spiritual yang sangat kuat. Dikisahkan bahwa di alam niskala terdapat bangunan suci yang sangat mewah dan megah, termasuk bangunan Padasana yang terbuat dari emas. Di pura ini juga terdapat Lingga yoni, simbol Purusa (Siwa) yang mewakili Sang Sangkan Paraning Dumadi (Tuhan Yang Maha Esa), muncul secara alami dari permukaan tanah di pura ini, menjadi pusat penyembahan bagi umat yang datang memohon berkah.
Keunikan lain yang menarik adalah topografi area pura. Meskipun tanah di sekitar pura lebih tinggi, area di sekitar lingga yoni tetap rendah dan tidak pernah tergenang air, meski sering diguyur hujan. Fenomena ini dianggap sebagai perlindungan dari kekuatan spiritual tak kasat mata, seolah-olah ada tembok gaib yang menjaga kawasan pura.
Asagan, tempat meletakkan Banten atau Sesajen (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)
Pura Sabang Daat juga diyakini sebagai tempat yang sangat sakral untuk memohon berkah, khususnya dalam hal kesembuhan dan keturunan. Banyak masyarakat yang datang untuk nunas tirta (memohon air suci) sebagai obat spiritual, dan beberapa pasangan yang belum memiliki keturunan percaya bahwa mereka berhasil memiliki anak setelah memohon berkah serta nunas Tirta (tamba) di Pura Sabang Daat. Semua ini biasanya dimulai dari firasat atau petunjuk spiritual yang mereka terima secara niskala sebelum akhirnya melakukan ritual di pura. Tidak ada persyaratan khusus untuk sarana yang harus dipersembahkan di pura ini. Setiap orang yang datang dapat mempersembahkan sesajen sesuai kemampuan dan keyakinan masing-masing. Bagi masyarakat setempat, yang paling penting adalah ketulusan hati dan keyakinan dalam melakukan persembahan.
Pura Sabang Daat diempon oleh 35 desa pakraman yang tersebar di wilayah Gianyar, termasuk dari Desa Taro, Ubud, hingga Kintamani. Setiap tahun, terutama pada Hari Raya Galungan (Galungan, Umanis Galungan, Pahing Galunga, Pon Galungan, Wage Galungan), para pangempon dari desa-desa tersebut datang ke pura untuk melakukan matur piuning (permohonan izin) sebelum melaksanakan upacara di desa masing-masing.
Bebatuan Suci terbuat dari Batu Alam (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)
Tradisi unik yang berlaku di Pura Sabang Daat adalah larangan penggunaan alat musik seperti gamelan atau genta dalam ritual. Bahkan, pendeta Hindu (sulinggih) tidak diperkenankan memimpin upacara di pura ini. Hanya Jero Mangku setempat yang diizinkan memimpin ritual, karena pura ini dianggap sebagai tempat suci linggih Ida Rsi Markandeya, yang sudah memiliki kekuatan spiritual sangat kuat. Aturan ini juga berlaku di seluruh Desa Pakraman Puakan, di mana sulinggih tidak diperkenankan memimpin upacara di desa tersebut.
Pohon Suci sebagai Simbol Alam (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)
Meskipun tidak memiliki bangunan fisik, Pura Sabang Daat memiliki simbol alam berupa pohon Kayu Sugih. Pohon ini dianggap sebagai penanda keharmonisan pura dengan alam sekitarnya, menjunjung prinsip keselarasan antara manusia, alam, dan roh leluhur. Pohon ini juga menjadi simbol kekuatan spiritual yang menjaga kesucian pura dan lingkungannya.
Bagi umat Hindu di Bali, Pura Sabang Daat adalah salah satu tempat suci yang sangat dihormati. Pura ini mengajarkan pentingnya keseimbangan antara spiritualitas dan alam, serta bagaimana keyakinan dan ketulusan hati dapat membawa berkah dalam kehidupan manusia. Keberadaan pura ini juga menjadi pengingat akan perjalanan spiritual Ida Bhatara Rsi Markandeya dalam menyebarkan ajaran Hindu di Bali.
Dengan segala keunikan dan kekuatan spiritualnya, Pura Sabang Daat tetap menjadi salah satu destinasi suci yang penuh makna bagi umat Hindu di Bali hingga kini.