Pura Majapahit Jembrana: Harmoni Antara Kerajaan dan Umat Beragama
Pura adalah tempat ibadah umat Hindu yang berfungsi sebagai tempat pemujaan, pusat orientasi, dan tempat suci. Dalam pura, umat Hindu melakukan ibadah dengan bersembahyang dan membaca doa. Kata "pura" berasal dari akhiran bahasa Sanskerta (-pur, -puri, -pura, -puram, -pore) yang berarti gerbang. Selain sebagai tempat pemujaan leluhur, Pura juga memancarkan keindahan spiritual dan kekayaan budaya Hindu-Bali yang memukau.
Pura Majapahit, terletak di Desa Baluk, Kecamatan Negara, Jembrana, Bali, adalah tempat sembahyang umat Hindu yang menyimpan kisah unik. Sejarahnya terkait dengan Kerajaan Mengwi, Jembrana, dan Blambangan, serta melibatkan peran umat Islam dalam pembangunannya. Lima desa pakraman yaitu, Baler Bale Agung, Kaliakah Kangin, Kaliakah Kauh, Banyubiru, dan Baluk secara bergantian menjadi panitia pelaksana piodalan yang diadakan setiap 210 hari.
Sejarah Terciptanya Pura Majapahit
Terciptanya Pura Majapahit tidak luput dari sejarah tiga kerajaan dan bantuan umat agama lain.
Suatu ketika, perkelahian terjadi di antara dua sungai bernama Kali Kembar, yang kemudian dinamakan Kali Jaya. Seorang dukuh, Dukuh Baluk, berpesan agar tempat itu disebut Desa Baluk setelah wafatnya. Pura Majapahit terhubung dengan tiga kerajaan: Mengwi, Jembrana, dan Blambangan. Mengwi memiliki hubungan kekerabatan dengan Jembrana dan menguasai Blambangan.
Raja Mengwi, Cokorda Alangkajeng, menugaskan patih I Gusti Made Ngurah (Temenggung Ronggo Setoto) untuk mengawasi Blambangan yang dipimpin oleh Pangeran Mas Sepuh. Dalam musim kemarau, diadakan adu jangkrik yang dimenangkan oleh patih, menyebabkan kemarahan Raja Blambangan. Raja Blambangan mengabaikan saran Purohita Wong Agung Wilis untuk meminta maaf dan malah mengusirnya.
Setelah Wong Agung melapor ke Mengwi, Raja Mengwi marah dan memanggil Raja Blambangan dengan ancaman kekerasan. Raja Blambangan akhirnya menghadap, tetapi sebelum itu mampir ke Jembrana untuk meminta bantuan, di mana ia hanya mendapatkan utusan Pan Tabah. Setibanya di Mengwi, Raja Blambangan dan keluarganya divonis hukuman mati di Pantai Seseh.
Pan Tabah melaporkan kejadian ini ke Jembrana, menyebabkan kematian raja Jembrana akibat sumpah mabelepati. Pasukan Blambangan memutuskan untuk kembali, namun berhenti di Desa Banyubiru dan memutuskan untuk membangun tempat suci. Mereka mendirikan Pura Majapahit dan Masjid, dengan bantuan umat Islam, dan Pura tersebut dinamai Pura Majapahit.
Gerbang Ngeranjing lan Medal (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)
Gerbang Ngeranjing lan Medal merujuk pada gerbang yang digunakan untuk memasuki dan keluar dari area suci pura. Istilah ini sering digunakan dalam arsitektur pura di Bali untuk menggambarkan dua gerbang penting yang menandai batas antara dunia luar dan area suci di dalam pura. Ngeranjing berarti gerbang masuk ke pura, di mana umat Hindu memasuki kawasan suci untuk memulai sembahyang. Medal berarti gerbang keluar, yang digunakan oleh umat setelah selesai bersembahyang. Gerbang ini memiliki makna simbolis yang mencerminkan perjalanan spiritual, yaitu memasuki alam yang suci dan kemudian keluar kembali ke dunia setelah menjalani ritual dengan hati yang lebih bersih dan damai.
Struktur Pura
Struktur Pura Majapahit mirip dengan pura-pura lain yang ada di Bali, dengan sembilan jajaran pelinggih di jeroan.
Pertama, ada Palinggih Taksu sebagai stana Ida Sang Kala Raja. Kedua, Palinggih Manjang Seluang untuk Panca Rsi, menghormati jasa Mpu Kuturan. Ketiga, Palinggih Meru Tumpeng Tiga sebagai stana Dewi Danuh, simbol kesuburan. Keempat, Palinggih Padmasana untuk Ida Hyang Widhi Wasa. Kelima, Palinggih Meru Tumpeng Lima, stana Ida Sasuhunan Majapahit/Siwa, yang konon dibuat dengan bantuan orang Islam.
Utama Mandala (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)
Keenam, Palinggih Gedong Bata adalah tempat suci yang menjadi stana Ida Dalem Blambangan, salah satu tokoh penting dalam sejarah Bali yang dihormati sebagai pemimpin spiritual dan pelindung masyarakat. Gedong Bata ini dibangun dari bata merah, yang melambangkan kesederhanaan namun penuh kekuatan spiritual, menjadi simbol kedekatan antara dunia manusia dan dunia suci. Tempat ini menjadi lokasi penting untuk persembahyangan bagi umat Hindu yang ingin memohon berkah dan kekuatan spiritual dari leluhur.
Ketujuh, Palinggih Panglurah merupakan stana Ida Ratu Anglurah Made Jelawung, pelindung Pura Majapahit. Ida Ratu Anglurah Made Jelawung adalah figur yang dihormati karena kemampuannya menjaga keselamatan dan kesejahteraan wilayah ini. Umat Hindu berdoa di Palinggih Panglurah untuk memohon perlindungan, keselamatan, dan kesejahteraan, terutama dalam menghadapi tantangan kehidupan sehari-hari.
Kedelapan, Palinggih Bedogol adalah tempat bersemayamnya Naga Basukih, sosok naga suci yang dipercaya sebagai penjaga Bhuana Agung, atau alam semesta. Naga Basukih diyakini memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan dan harmoni alam. Umat Hindu menghaturkan persembahan di sini sebagai wujud syukur dan permohonan agar alam semesta tetap dalam keadaan seimbang, bebas dari bencana atau gangguan yang merusak.
Kesembilan, Palinggih Papelik digunakan sebagai tempat di mana Ida Bhatara Nyejer saat piodalan, yaitu ketika dewa-dewi bersemayam sementara selama upacara berlangsung. Palinggih ini memiliki peran penting dalam setiap prosesi piodalan, di mana para dewa diundang untuk hadir dan memberikan berkah kepada umat. Selama piodalan, umat Hindu akan berkumpul di sekitar Palinggih Papelik untuk menghaturkan persembahan, memohon berkah, dan mempererat hubungan spiritual dengan dunia ilahi.
Keindahan Arsitektur Gerbang Pura
Gerbang Pura (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)
Gerbang di Pura Majapahit memiliki desain yang megah dan khas, dihiasi dengan lambang Surya Majapahit yang melambangkan cahaya dan kehidupan. Lambang ini terletak di kedua sisi gerbang, menunjukkan kekuatan dan kejayaan kerajaan Majapahit. Gerbang ini tidak hanya berfungsi sebagai akses masuk, tetapi juga sebagai simbol spiritual yang menghubungkan dunia nyata dengan dunia suci. Struktur gerbang terbuat dari batuan yang kokoh, dengan ukiran-ukiran halus yang mencerminkan seni arsitektur Bali. Dengan segala keindahan dan makna yang terkandung, gerbang ini menjadi pintu masuk yang penuh dengan penghormatan bagi setiap pengunjung yang akan memasuki area pura.