Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya: Jejak Perjalanan Sang Brahmana Keling Di Bali
Di wilayah Desa Sidakarya, Denpasar, terdapat sebuah pura suci sebagai tempat umat Hindu nunas Tirta Penyida Karya. Pura tersebut dinamakan Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya. Pura ini berkaitan dengan perjalanan Brahmana Keling ke Bali yang akhirnya diberi gelar Dalem Sidakarya oleh Raja Bali Dalem Waturenggong.
Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya berlokasi di Jalan Dewata Nomor 16, Kelurahan Sidakarya, Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar. Dulunya lokasi ini merupakan wilayah pesisir selatan yang disebut Pandanda Negara, Kabupaten Badung. Dalam melaksanakan Panca Yadnya, umat Hindu umumnya nunas tirtha pemuput karya (penyida karya) di Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya ini.
Di Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya terdapat sejumlah palinggih yakni palinggih Pemayun Agung, pengayatan Pura Besakih dan Gunung Agung, Manik Geni, penghayatan Pura Lempuyang, Pemayun Toya, pengayatan Pura Batur, Pemayun Cakra, pengayatan Pura Batukaru, Pemayun Ngurah Agung, pengayatan ke Pura Uluwatu dan Pemayun Putra, pengayatan Pura Sakenan. Selain itu pengayatan Pura Sad Kahyangan, di Pura ini juga terdapat Parahyangan Jagat Natha. Di samping Gedong sebagai stana Ida Batara Dalem Sidakarya. Dengan terpusatnya pelinggih pengayatan Sad Kahyangan menjadi satu di Pura ini, dan disempurnakan dengan adanya palinggih Jagat Natha, maka Pura ini dinamai Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya.
Pelinggih Utama (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)
Adanya Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya bermula dari kedatangan Brahmana Keling yang membantu saudaranya yaitu Raja Dalem Waturenggong dalam upacara Eka Dasa Rudra di Besakih. Singkat cerita, masyarakat setempat tidak memercayainya bahwa Brahmana Keling memiliki hubungan kekeluargaan dengan Dalem Waturenggong. Brahmana Kelingpun diusir dengan cara yang hina.
Sebelum Brahmana Keling meninggalkan Pura Besakih pada saat pengusiran dirinya Beliau lalu mengucapkan Kutuk Pastu yang isinya: "Wastu tats astu karya yang dilaksanakan di Pura Besakih ini tan Sidakarya, bumi kekeringan, rakyat kegeringan, sarwa gumatat-gumitit membuat kehancuran di seluruh jagat Bali". Begitu suara Brahmana Keling keluar seperti halilintar menyambar di Siang bolong semua masyarakat menyaksikan dengan menganga, terpaku tak berkutit sedikitpun, lalu Brahmana Keling meninggalkan pura Besakih menuju Barat Daya. Tak berselang lama, kutukan itu terbukti.
Pada suatu malam, Dalem Waturenggong melakukan meditasi di Pura Besakih dan menerima petunjuk dari Ida Batara bahwa ia telah berdosa dengan mengusir saudara kandungnya. Untuk mengembalikan keadaan seperti semula, hanya Brahmana Keling yang memiliki kemampuan untuk melakukannya. Keadaan dapat dikembalikan sesuai dengan yang diharapkan, brahmana keling mencabut kutukannya setelah Dalem Waturenggong memohon belas kasihan. Kemudian, Dalem Waturenggong memberikan penghargaan dengan menganugerahkan gelar Dalem Sidakarya kepadanya.
Suasana Persiapan Piodalan Ring Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)
Dalem Waturenggong di hadapan para menteri/patih/pre arya, Dang Hyang Nirarta dan Dalem Sidakarya bersabda: Mulai saat ini dan selajutnya, bagi setiap umat Hindu melaksanakan karya wajib nunas tirta penyida karya, supaya karya menjadi sidakarya. Untuk mengenang jasa Dalem Sidakarya seterusnya dan demi adanya parahyangan tempat nunas tirta sidakarya bagi umat Hindu, sekitar tahun 1518 M Dalem Waturenggong memerintahkan agar mendirikan Pura Dalem Sidakarya, yang kemudian berganti nama menjadi Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya. Alasannya, karena pemujaan Sad Kahyangan terpusat menjadi satu. “Mutering” memiliki makna pusat, “Jagat” berarti alam atau dunia, sedangkan “Dalem Sidakarya” adalah gelar dari Brahmana Keling.
Saat ini, Pengempon pura ini terdiri dari Warga Desa Pekraman Sidakarya dengan lima banjar adat, yaitu Br Dukuh Mertajati, Br Sari, Br Tengah, Br, Sekar kangin dan Br Suwung Kangin, Piodalan di Pura Mutering Jagat Dalem Sidakarya jatuh pada hari Sabtu, Saniscara Kliwon Wuku Landep, atau bertepatan dengan Hari Tumpek Landep. Selama piodalan di pura ini, biasanya akan dipentaskan sebuah tari sakral bernama Tari Telek, yang diikuti dengan Ida Sesuhunan berwujud Barong dan Rangda mesolah napak pertiwi dan juga Tari Topeng Dalem Sidakarya.