Pura Gede Pemayun: Pura Unik Dengan Beragam Tradisi
Salah satu ciri khas yang menonjol di Pulau Bali adalah terdapat banyaknya pura yang tersebar di seluruh pelosok Bali sebagai tempat suci umat Hindu. Pura-pura di Bali dikenal sebagai tempat untuk melakukan ibadah bagi Agama Hindu, salah satunya Pura Gede Pemayun yang terletak di Desa Banyuning dengan berbagai macam keunikan didalamnya mulai dari sejarahnya yang panjang hingga berbagai macam tradisi yang laksanakan sebagai rangkaian dari Piodalan di Pura Gede Pemayun.
Pulau Bali atau sering disebut sebagai "Pulau Dewata," adalah tempat di mana unsur spiritualitas dan keindahan alam yang mengagumkan bersatu dalam harmoni yang luar biasa. Salah satu ciri khas yang menonjol di Pulau Bali adalah terdapat banyaknya pura yang tersebar di seluruh pelosok Bali sebagai tempat suci umat Hindu. Pura-pura di Bali dikenal sebagai tempat untuk melakukan ibadah bagi Agama Hindu dan juga budaya Bali yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat Bali selama berabad-abad. Terdapat banyak pura yang tersebar di berbagai wilayah Bali salah satunya ada di Desa Banyuning, selain memiliki pura kahyangan tiga, Desa Banyuning juga memiliki sebuah pura yang unik bernama Pura Gede Pemayun.
Area Nista Mandala Pura Gede Pemayun(Sumber Foto : Koleksi Pribadi)
Pura Gede Pemayun merukapan pura yang terletak di Banyuning Tengah, Desa Banyuning, Singaraja, Buleleng, Bali. Pura ini terbagi menjadi tiga bagian yakni Nista Mandala yang dimana pada area ini terdapat beberapa bangunan suci yakni Pelinggih Dewa Bagus Mentang Yudha, Pelinggih Dewa Bagus Mentang Penyarikan. Kemudian di area Madya Mandala terdapat juga beberapa bangunan suci seperti bale gong, Pelinggih Dewa Bagus Jaksa, Pelinggih Dewa Bagus Dukun. Lalu ada area yang paling sacral yakni Utama Mandala terdapat beberapa bangunan suci seperti Pelinggih Dewa Ayu Tukang, Taksu Agung, Taksu Alit, Pelinggih Ida Bagus Ngurah Semar, Pelinggih Betara Saking Dewa Gede Pengastulan, Pelinggih Dewa Bagus Manik Pulaki, Dewa Bagus Panji yang merupakan Pelinggih Dewa Siwa, dan Pelinggih Dewa Ayu Agung.
Area Madya Mandala Pura Gede Pemayun(Sumber Foto : Koleksi Pribadi)
Pura Gede Pemayun ini memiliki sejarah yang panjang. Awalnya pura ini dikenal dengan sebutan Pura Pasek Kencana yang kemudian berubah menjadi Pura Pemaksan Tengah, dan akhirnya berubah nama menjadi Pura Gede Pemayun seperti yang dikenal saat ini. Ini terjadi karena banyaknya warga yang datang untuk bersembahyang di sana dan mereka berasal dari berbagai wangsa yang berbeda. Hal ini menjadi alasan mengapa nama pura ini berubah nama menjadi Pura Gede Pemayun.
Sejarah pura ini juga berkaitan dengan kedatangan Ida Ngurah Panji, beliau merupakan orang pertama yang datang ke Banyuning. Pada kunjungannya pertamanya, Ida Ngurah Panji didampingi oleh Ida Ngurah Semar lalu pada kunjungan yang kedua, dia datang bersama tiga saudaranya yakni Ida Ngurah Pasek Made Agung, Ida Ngurah Pasek Kumerdap, dan Ida Ngurah Pasek Karangasem.
Setelah lama di Banyuning Ida Ngurah Panji menginginkan status panglingsirnya untuk dianggap sebagai ayah. Untuk mewujudkan keinginannya, dia memohon kepada Pura Gede Pengastulan. Permohonannya pun dikabulkan, dan akhirnya, Pura Pasek Kencana berganti nama menjadi Pura Gede Pemayun.
Konon pada awalnya, di Banyuning hanya terdapat tiga pura, yaitu Pura Pemaksan Timur, Pura Pemaksan Tengah, dan Pura Pemaksan Barat atau Pura. Pura Pemaksan Tengah, yang kini dikenal sebagai Pura Gede Pemayun, memiliki sejarah panjang dan diyakini telah berdiri sejak zaman Bali Aga, sekitar 700 tahun Masehi, sebelum kedatangan Mpu Kuturan ke Bali, salah satu ciri khas dari pura ini adalah tidak adanya Meru dan Padmasana di areal pura dan pura ini menganut paham Siwa.
Di Pura Gede Pemayun juga memiliki relief yang ada di jaba sisi pura, relief yang paling menonjol adalah relief kera. Relief ini memiliki cerita khusus yang terkait dengan hubungan kekerabatan antara Pura Gede Pemayun dengan Pura Gede Pulaki dan Pura Gede Pengastulan. Oleh karena itu, relief kera diyakini simbol dari hubungan kekerabatan ini. Selama pelaksanaan odalan agung di Pura Gede Pemayun, yang jatuh pada Buda Wage Klion Ugu, para krama dari Pura Gede Pemayun biasanya melakukan matur piuning ke Pura Gede Pulaki dan Pura Gede Pengastulan sebagai bagian dari upacara tersebut.
Area jeroan Pura Gede Pemayun(Sumber Foto : Koleksi Pribadi)
Pura Gede Pemayun memiliki tegak piodalan yang jatuh pada Buda Kliwon Ugu. Berbeda dengan pura pada umumnya yang piodalannya berlangsung selama 3 hari, piodalan di Pura Gede Pemayun berlangsung selama 5 hari dimana terdapat banyak rangkaian acara mulai dari persiapan, sembahyang bersama hingga pengeluar.
Namun dari rangkaian tersebut ada beberapa acara yang menarik dan ditunggu-tunggu masyarakat Banyuning, seperti pementasan tari kekelik, tarian ini merupakan tarian sakral yang ada di Desa Banyuning. Biasanya tarian ini di pentaskan saat selesai ngaturang banten, dan saat upacara pengelebar. Tarian ini bersifat wajib dilaksanakan pada saat pujawali atau piodalan di Pura Gede pemayun karena diyakini dapat mempercepat proses nyajan dalam rangka nedunang Ida Bathara, jika tidak dipentaskan maka akan menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan seperti kerauhan, kehidupan masyarakat yang tidak sejahtera bahkan bisa menimbulkan gerubug atau wabah. Tari ini dilaksanakan dari areal luar pura atau nista mandala lalu ke madya mandala dan kemudian masuk ke utama mandala atau jeroan dengan makna membersihkan areal tersebut agar terhindar dari hal-hal yang bersifat jahat yang dapat menghambat jalannya upacara.
Selian itu ada juga beberapa tradisi yang dilakukan oleh Warga Banyuning dsecara turun temurun yakni tradisi mekeringkeringan yang dilanjutkan dengan mecolek-colekan endut (lumpur), Tradisi ini sudah berjalan secara turun temurun dan diikuti oleh masyarakat Banyuning tanpa ada batasan usia, mereka yang ikut tradisi ini harus siap berlumuran lumpur pasalnya ketika melihat ada krama yang masih bersih baik itu di luar pura dan dalam pura maka akan di gotong menuju ke halamn pura dan diolesi lumpur. Semua yang terlibat dalam trdaisi ini akan merasa bersenang-senang dan bersuka ria sebagai wujud rasa syukur karena pujawali atau piodalan di Pura Gede Pemayun berjalan dengan lancar.
Bukan sampai disana saja, ada permainan lain yang sudah melekat dalam rangkaian piodalan di Pura Gede Pemayun yakni mecolek-colekan adeng, sama hal nya dengan tradisi mecolek-colekan endut, tradisi ini juga sudah berlangsung secara turun temurun dengan tujuan yang sama yakni sebagai bentuk rasa syukur dan suka cita karena kelancaran piodalan yang berlangsung di Pura Gede Pemayun. Tradisi ini menggunakan adeng yang diambil dari bagian belakang wajan yang digunakan saat mebat, kemudian adeng itu di campur minyak kelapa. Saat tradisi ini berlangsung para krama sangat bergembira dan saling melumuri adeng satu sama lain, bahkan ada yang sampai kejar-kejaran di areal pura, jika sudah selesai para krama yang ikut akan membersihkan diri mereka di Candi Kuning yang terletak di Desa Penglatan, mereka akan berjalan kaki dengan diiringi oleh gamelan gong. Tradisi ini biasanya dilakukan disaat ragkaian pengeluar odalan.