Pura Luhur Puncak Tedung: Jejak Tedung Milik Dang Hyang Nirartha
Tempat persembahyangan umat Hindu di Bali, yaitu Pura, dapat dibedakan berdasarkan jenisnya. Salah satu jenis Pura yang ada di Bali, yaitu Dang Kahyangan Jagat merupakan Pura yang memiliki fungsi sebagai sebuah tempat suci yang didirikan atas dasar pemberian penghormatan kepada Sang Maharsi yang melakukan tapa yoga dan semedi di tempat tersebut. Pura Dang Kahyangan Jagat yang erat kaitannya dengan perjalanan Dang Hyang Nirartha di Desa Adat Sulangai, yaitu Pura Luhur Puncak Tedung.
Desa Adat Sulangai adalah suatu surga tersembunyi di perbukitan, menawarkan keindahan alam memukau yang terletak di Badung Utara. Dengan latar belakang pemandangan sawah yang hijau memikat, bukit yang menghijau, dan gunung yang mempesona di kejauhan, desa ini memberikan pengalaman yang tak terlupakan bagi siapa pun yang mengunjunginya. Namun, keistimewaan desa ini tidak hanya terletak pada pesona alamnya, tetapi juga dikenal dengan keberadaan pura yang sakral. Pura Luhur Puncak Tedung, dikenal sebagai tempat persembahyangan umat Hindu, menjadi pusat spiritualitas yang memancarkan ketenangan dan keagungan. Banyak umat Hindu datang ke pura ini untuk bersembahyang dan mencari kedamaian spiritual.
Setiap Pura yang ada di Bali memiliki ciri khas dan sejarah yang menyelimutinya, tak terkecuali pada Pura Luhur Puncak Tedung. Pura yang berlokasi di Desa Adat Sulangai, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung ini menjadi salah satu tempat persembahyangan bagi para pamedek atau umat Hindu di Bali untuk melakukan persembahyangan. Perjalanan dapat ditempuh kurang lebih sejauh 30 km dan membutuhkan waktu sekitar 1,5 – 2 jam dari Denpasar ke arah utara.
Sejarah dari Pura Puncak Tedung tidak lepas dari akar kata nama pura ini, yaitu puncak dan tedung. Puncak yang berarti ujung tertinggi dari dataran tinggi, dan tedung adalah semacam payung. Keberadaan dari pura ini berkaitan dengan peran pendeta tersohor, yaitu Dang Hyang Nirartha atau Bhatara Sakti Wawu Rauh. Beliau melakukan perjalanan dari daerah Pulaki menuju Pulau Bali bagian timur. Beliau beristirahat di ujung tertinggi suatu dataran tinggi atau masyarakat Bali biasanya menyebut suatu ujung dataran tinggi dengan sebutan puncak. Pada saat beliau melanjutkan perjalanan, payung (tedung) yang dibawa Beliau ketinggalan di puncak tersebut, maka dataran itu disebut Puncak Tedung dan Pura yang dibangunnya disebut Pura Puncak Tedung.
Tedung yang terdapat di Pura Luhur Puncak Tedung (Sumber Photo: Koleksi Pribadi)
Disamping peninggalan tedung itu, terdapat juga pohon kemuning yang kini masih hidup yang konon adalah tongkat dari Dang Hyang Nirartha. Jro Mangku dari Pura Puncak Tedung mengatakan bahwa memang banyak pohon kemuning di hutan, tapi satu pohon kemuning ini tumbuh di palinggih. Dan ini diyakini sebagai salah satu penanda Dang Hyang Nirartha. Di bawah pohon kemuning terdapat arca pendeta yang di dampingi dua pengawal di sisi kanan dan kirinya. Pohon kemuning yang kini tingginya sekitar lima meter tersebutlah dipercaya sebagai jelmaan tongkat Dang Hyang Nirartha.
Selain kedatangan Dang Hyang Nirartha, di pura ini juga terdapat jejak dari Mpu Kuturan yang melanglang buana, termasuk di Bali. Peninggalan dari Mpu Kuturan ini berupa beberapa buah batu yang diduga sebagai lingga yoni. Lingga yoni tersebut dibuatkan palinggih khusus di dalam area Pura Luhur Puncak Tedung ini.
Setelah Dang Hyang Nirartha malinggih di Puncak Tedung, Beliau melakukan Surya Sewana (pemujaan terhadap Dewa Surya) di Puncak Pegametan yang terletak di sebelah utara Pura Puncak Tedung. Setelah itu Beliau ke arah barat Pura Puncak Tedung dan beryoga. Kini tempat tersebut dikenal dengan Munduk Saab. Usai dari Munduk Saab, Beliau menuju arah selatan Pura Pucak Tedung yang kini bernama Pura Puncak Gunung Lebah.
Patung Dang Hyang Nirartha (Sumber Photo: Koleksi Pribadi)
Untuk menghormati jasa-jasa Dang Hyang Nirartha, maka didirikanlah Palinggih Meru Atap Tiga (Tumpang Tiga). Seorang keturunan Raja Mengwi dalam perjalanan menuju Puncak Pangelengan (Tinggan) untuk melakukan meditasi, juga beristirahat di Pura Puncak Tedung. Atas perintah beliau dibangunlah sebuah meru tumpang tujuh. Meru tumpang tujuh ini adalah representasi dari Pura Puncak Beratan. Dengan dibangunnya meru tumpang tujuh ini, masyarakat di Petang dan sekitarnya tidak perlu langsung datang ke Pura Puncak Beratan untuk memohon kemakmuran di sawah, karena kini hanya cukup melalui Pura Puncak Tedung.
Sewaktu jayanya Kerajaan Mengwi sekitar abad ke-17, di mana menguasai sampai daerah Badung bagian utara, maka pengawasan atau pemeliharaan Pura Puncak Tedung diserahkan kepada Puri Carangsari. Puri Carangsari menyerahkan kepada Puri (Jeroan) Kerta untuk mengawasi atau memelihara. Pada abad ke-17 Puri Carangsari mengembangkan wilayahnya di mana seorang keturunannya yang bernama I Gusti Ngurah Rai, pindah ke Desa Petang dan menetap di sana. Karena Puri Kerta Putung tidak memiliki kelanjutan keturunan, maka pengawasan atau pemeliharaan Pura Puncak Tedung diserahkan kepada Puri Petang yang merupakan pecahan dari Puri Carangsari. Dengan bertahtanya I Gusti Ngurah Rai di Desa Petang, maka diadakanlah pembagian wilayah disebut Desa Adat dan merupakan pengemong dari Pura Puncak Tedung. Desa-desa yang dimaksud, yaitu Desa Adat Sulangai, Desa Adat Munduk Damping, Desa Adat Lipah, Desa Adat Sandakan, Desa Adat Angantiga, Desa Adat Batulantang, Desa Adat Kerta, dan Desa Adat Petang.
Upacara piodalan di Pura Puncak Tedung dilaksanakan enam bulan sekali menurut perhitungan wuku, yaitu setiap hari Sabtu Kliwon Wuku Krulut atau Tumpek Krulut. Pada waktu upacara piodalan palinggih Ida Bhatara diusung untuk mekiyis atau melasti ke Pura Beji. Setelah kembali dari Pura Beji, palinggih tersebut berhenti sementara (mesandekan) di Pura Sekar Taji. Maksud dari mesandekan itu adalah tak ubahnya seorang yang habis mandi mesti memperbaiki atau mengatur pakaiannya menjelang masuk rumah.
Piodalan di Pura Luhur Puncak Tedung (Sumber Photo: Koleksi Pribadi)
Tepat di waktu piodalan, para pamedek atau umat Hindu ramai berdatangan untuk melakukan persembahyangan di Pura Puncak Tedung. Tidak hanya dari masyarakat Desa Adat Sulangai dan sekitarnya saja, melainkan para pamedek dari seluruh Bali juga kerap datang untuk sembahyang di Pura ini. Selain pada waktu piodalan, pada Hari Raya Saraswati juga kerap dilakukan persembahyangan di pura ini. Para pamedek juga dapat melakukan persembahyangan di luar dari waktu piodalan dengan menghubungi nomor telepon dari Pemangku Pura Puncak Tedung.
Sebagai warisan leluhur yang tak ternilai, mengunjungi Desa Adat Sulangai dan Pura Luhur Puncak Tedung tidak hanya akan membawa kenangan indah, melainkan juga meresapi warisan budaya yang kaya dan kental yang harus dilestarikan. Desa ini adalah perpaduan antara keindahan alam, sejarah yang dalam, dan spiritualitas yang mendalam. Sebuah perjalanan yang tidak hanya menggugah mata, tetapi juga jiwa, membangkitkan kekaguman terhadap kekayaan budaya Bali yang terjaga dengan megah di Desa Adat Sulangai.