Pura sebagai Peninggalan Leluhur: Pura Batan Bingin Pasek Padang Subadra
Merajan Ageng atau Pura Dadia adalah pura yang pada dasarnya berada pada kelompok dan pengertian yang sama, yaitu sebagai kahyangan yang dikhususkan bagi beberapa kelompok keluarga dalam satu garis keturunan untuk dapat menjalin hubungan kekerabatan. pura yang merupakan peninggalan dari para leluhur dan sebagai pemujaan terhadap para leluhur yang sudah meninggal, yang nantinya pura tersebut akan dipertanggungjawabkan (pengempon) oleh beberapa keluarga yang merupakan garis keturunan dari leluhur tersebut. Salah satu Merajan Ageng atau Sanggah Gede atau Pura Dadia yang ada di Desa Tanjung Benoa yaitu Pura Batan Bingin Pasek Padang Subadra. Pura ini lebih tepatnya terletak di Jalan Pratama, Desa Tanjung Benoa, Kuta Selatan, Badung, Bali. Pujawali atau piodalan di Pura Batan Bingin Pasek Padang Subadra ini dilaksanakan setiap enam bulan sekali yaitu bertepatan dengan hari atau rahina Buda Cemeng Kelawu.
Pura merupakan tempat suci agama Hindu yang berfungsi sebagai stana dan pemujaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan segala manifestasinya, serta merupakan tempat persembahyangan bagi umat beragama Hindu. Di Bali sudah sangat terkenal akan banyaknya pura-pura di seluruh penjuru dan daerah di Bali, sehingga Bali mendapatkan julukan sebagai Pulau Seribu Pura. Ada banyak sekali jenis pura-pura di Bali, seperti Pura Tri Kahyangan, Pura Sad Kahyangan, Pura Dhang Kahyangan, Pura Kawitan, Pura Leluhur atau biasa disebut Pura Dadia dan yang lain-lain. Pura-pura di Bali tidak hanya sebagai tempat suci umum yang siapa saja boleh melakukan persembahyangan dan menghaturkan sesajen (banten), tetapi terdapat pula beberapa pura yang merupakan peninggalan dari para leluhur dan sebagai pemujaan terhadap para leluhur yang sudah meninggal, yang nantinya pura tersebut akan dipertanggungjawabkan (pengempon) oleh beberapa keluarga yang merupakan garis keturunan dari leluhur tersebut. Pura peninggalan leluhur ini biasa disebut dengan Merajan Ageng/Sanggah Gede atau Pura Dadia. Merajan Ageng/Sanggah Gede atau Pura Dadia adalah pura yang pada dasarnya berada pada kelompok dan pengertian yang sama, yaitu sebagai kahyangan yang dikhususkan bagi beberapa kelompok keluarga dalam satu garis keturunan untuk dapat menjalin hubungan kekerabatan. Selain sebagai tempat suci pemujaan para roh leluhur dan tempat persembahyangan, salah satu fungsi dari Pura Dadia atau Pura Panti ini adalah pada saat odalan, semua sanak keluarga bisa bekerjasama dalam menyiapkan sarana dan prasarana odalan serta bisa berkumpul untuk saling melepas rindu karena bertempat tinggal yang jauh dan jarang bertemu.
Dalam ajaran agama Hindu, pemujaan terhadap leluhur merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pratisentana (keturunan). Salah satu Merajan Ageng atau Sanggah Gede atau Pura Dadia yang ada di Desa Tanjung Benoa yaitu Pura Batan Bingin Pasek Padang Subadra. Pura ini lebih tepatnya terletak di Jalan Pratama, Desa Tanjung Benoa, Kuta Selatan, Badung, Bali. Pura Batan Bingin Pasek Padang Subadra tidak hanya sebagai Merajan Ageng atau Pura Dadia dan sebagai tempat persembahyangan, melainkan juga sebagai saksi bisu dari jejak para leluhur terdahulu yang kaya akan sejarah dan cerita-cerita dari masyarakat. Terdapat tujuh puluh lima KK (Kepala Keluarga) sebagai pengempon atau yang bertanggung jawab terhadap pura ini dan turut serta saling membantu dalam acara atau ritual keagamaan yang sedang digelar di pura ini. Pura Batan Bingin tidak hanya menjadi tempat suci persembahyangan, tetapi juga sebagai tempat berkumpulnya sanak saudara dan keluarga yang selalu menjaga tali persaudaraan dan tradisi leluhur dengan penuh kebanggaan dan kegembiraan.
Foto Candi Bentar Pura Batan Bingin Pasek Padang Subadra (Sumber: Koleksi Sendiri)
Sejarah awal dibangunnya Pura Batan Bingin Pasek Padang Subara yaitu pada zaman dahulu di tempat pura ini, awalnya bukanlah sebuah pura, melainkan hutan belantara yang cukup luas. Pura Batan Bingin Pasek Padang Subadra yang merupakan pura peninggalan leluhur ini bermula dari tahun 1945, yang dimana para leluhur dengan tekunnya membuka dan membersihkan hutan belantara tersebut, hingga akhirnya dibangunlah sebuah pura sebagai wujud penghormatan kepada para dewa dan para leluhur yang sudah meninggal. Dengan penuh ketekunan dan kecintaan terhadap warisan budaya, tempat ini yang dahulunya merupakan hutan belantara berubah menjadi sebuah pura yang megah dan sakral sebagai tempat pemujaan kepada para dewa dan para leluhur.
Pelinggih – Pelinggih Pura Batan Bingin Pasek Padang Subadra
(Sumber: Koleksi Sendiri)
Pura Batan Bingin Pasek Padang Subadra memiliki 15 pelinggih yang kaya akan makna dan simbolisme dari masing-masing pelinggih. Setiap pelinggih mengandung nilai-nilai keagamaan dan kisah leluhur yang menghiasi sejarah pura ini. Beberapa pelinggih yang terdapat di Pura Batan Bingin Pasek Padang Subadra ini yaitu Pelinggih Pengelurah, Pelinggih Kemulanhyang, Pelinggih Bhatarahyang, Pelinggih Dalem Pemutih sebagai penyawang Pura Geger atau Pura Dalem Pemutih, Pelinggih Samuan Tiga, Pelinggih Ratu, Pelinggih Kawitan yang merupakan Pelinggih sebagai penyawang dari Pura Kawitan Pasek Padang Subadra. Setelah itu terdapat pula Pelinggih Gunung Agung, Pelinggih Batur, Pelinggih Dalem Ning yang merupakan Pelinggih Penyawang Pura Dalem Ning yang terletak di Desa Tanjung Benoa, Pelinggih Batara Sedana, Pelinggih Rajuk Tenggeng, Pelinggih Tajuk Batara Sedana, Pelinggih Tugu Indrabaka, dan terdapat pula Pelinggih Panjang Agung. Salah satu pelinggih yang memiliki ciri khas sebagai pelinggih yang pertama kali ada atau pertama kali dibangun, yakni pelinggih Bhatarahyang. Selain pelinggih-pelinggih, di Pura Batan Bingin Pasek Padang Subadra juga terdapat 3 bale yang memiliki fungsinya masing-masing. Bale-bale tersebut antara lain bale yang dikhususkan untuk para pemangku menghanturkan dan mendoakan banten pada saat upacara atau piodalan, yang kedua yaitu bale untuk para penabuh dan tempat meletakkan gamelan yang akan digunakan pada saat piodalan atau pujawali, dan yang terakhir yaitu bale untuk para seka kidung.
Bale Kukul Pura Batan Bingin Pasek Padang Subadra (Sumber: Koleksi Sendiri)
Pujawali atau piodalan di Pura Batan Bingin Pasek Padang Subadra ini dilaksanakan setiap enam bulan sekali yaitu bertepatan dengan hari atau rahina Buda Cemeng Kelawu. Jadi bisa disimpulkan, pujawali dilaksanakan sebanyak dua kali dalam setahun. Terdapat sebuah tradisi yang sudah dilaksanakan secara turun-temurun dari zaman dahulu, yaitu pada saat pujawali yang kedua pada tahun tersebut, sehari sebelum pujawali, para masyarakat yang merupakan pengempon pura ini melaksanakan pemelastian (melasti) ke segara atau pantai. Segara atau pantai yang digunakan sebagai tempat pemelastian adalah pantai yang terletak di sebelah timur Pura Dalem Ning dan Pura Taman Beji. Untuk menuju segara atau pantai tersebut, para masyarakat akan melewati Pura Desa lan Puseh dan Catus Pata Desa Tanjung Benoa. Pemelastian ini dilaksanakan pada sore hari dan puncak dari pujawali atau piodalan di pura ini dilaksanakan pada malam hari. Selain tradisi pemelastian yang sudah dilaksanakan turun temurun hingga saat ini, zaman dahulu terdapat pula sebuah tradisi yang dilaksanakan oleh masyarakat yang merupakan pengempon Pura Batan Bingin Pasek Padang Subadra yaitu Tradisi mejangeran. Tradisi mejangeran ini merupakan tradisi budaya bali yang berupa seni tarian Bali yang digabungkan dengan nyanyian Bali. Namun sayang sekali tradisi Mejangeran ini tidak pernah dipertunjukkan lagi pada saat ini karena sudah tidak ada lagi penerus dari tradisi Mejangeran ini.