Sauptika Parwa: Jejak Dendam Aswatthama & Kejatuhan Kelam Bharata
Sauptika Parwa adalah bagian kesepuluh dari mahabharata yang menceritakan pembalasan Aswatthama setelah kekalahan Korawa saat perang Kurukshetra. Aswatthama menyusup ke perkemahan Pandawa dan membantai prajurit yang sedang tidur. Pada bagian ini juga menceritakan akhir dari Aswatthama yang dikutuk oleh Krishna akibat dari tindakan tidak terhormat yang dilakukan Aswatthama.
Kisah dimulai dengan Sanjaya, penasihat Dhritarastha, melaporkan kepada tuannya tentang tiga ksatria yang menuju ke hutan (Kritawarma, Kripa, dan Aswatthama) setelah kekalahan besar Korawa di pertempuran Kurukshetra. Mereka bersembunyi dengan luka dan ketakutan, merenungi kemenangan Pandawa setelah 18 hari peperangan.
Burung hantu yang menyerang gagak saat tidur (Sumber: Koleksi Pribadi)
Setelah beristirahat di hutan, Kritawarma, Kripa, dan Aswatthama merasakan kesedihan atas kehancuran Kuru dan Pandawa. Saat Kripa dan Kritawarma tertidur, Aswatthama, dipenuhi amarah, melihat burung hantu menyerang gagak yang sedang tidur. Terinspirasi oleh taktik tersebut, ia memutuskan menyerang Pandawa di malam hari, meskipun itu dianggap curang.
Aswatthama, marah atas nasib Duryodhana dan perlakuan Pandawa, membangunkan Kripa dan Kritawarma untuk mengungkapkan rencananya membunuh Pandawa di malam hari. Meski tahu tindakannya tidak terhormat, ia yakin ini satu-satunya cara membalas dendam dan meraih kedamaian batin.
Kripa menyarankan Aswatthama untuk beristirahat dan menyerang kemah Pandawa dan Pancala esok hari, dengan dukungan dirinya dan Kritawarma. Namun, Aswatthama mengabaikan saran itu dan memutuskan menyerang di malam hari. Kripa dan Kritawarma tetap mendampingi, menuju kemah musuh untuk membunuh semua yang sedang tertidur.
Aswatthama dihadang oleh makhluk raksasa yang memancarkan api (Sumber: Koleksi Pribadi)
Aswatthama, bersama Kripa dan Kritawarma, mendekati gerbang perkemahan Pandawa dan dihadang oleh makhluk menakutkan yang memancarkan api dari tubuhnya. Meskipun Aswatthama menyerang dengan senjata-senjata ilahi, makhluk tersebut menelan semua serangannya tanpa terluka.
Ketika kehabisan senjata dan putus asa, Aswatthama memohon perlindungan kepada Dewa Shiva. Ia memuji Shiva dengan berbagai nama dan sifat-Nya. Setelah penyembahannya, muncul altar emas dengan api menyala sebagai jawaban atas doanya.
Aswatthama, tanpa rasa takut, menyerahkan diri kepada Shiva dalam sebuah ritual. Shiva muncul, tersenyum, dan memasuki tubuh Aswatthama, memberinya kekuatan ilahi dan pedang sakti. Dengan kekuatan baru ini, Aswatthama menjadi sangat kuat dan, ditemani makhluk gaib, melanjutkan pembantaiannya di kemah musuh.
Aswatthama mengamuk ganas di perkemahan Pandawa, membantai ribuan prajurit tak bersenjata pada malam kelam yang dipenuhi kengerian. Dengan pedang di tangannya, ia bergerak seperti kematian, menghancurkan semua yang mendekat, baik ksatria, kuda, maupun gajah.
Kekacauan di perkemahan Pandawa saat Aswatthama menyerang (Sumber: Koleksi Pribadi)
Gajah dan kuda yang ketakutan menghancurkan tenda dan menabrak prajurit yang melarikan diri. Dalam kekacauan itu, prajurit Pandawa saling menyerang, tak bisa membedakan kawan dan musuh. Kripa dan Kritawarma membantai mereka yang berusaha kabur di gerbang, menjadikan perkemahan lautan kematian. Aswatthama, diliputi amarah, tanpa belas kasihan menebas putra, cucu, dan pengikut Drupada, membunuh ribuan ksatria yang pernah bertarung dengan gagah.
Pada malam tergelap Bharata Yudha, Aswatthama, bersama Kripa dan Kritawarma, membantai prajurit Pandawa dan membakar perkemahan mereka di tiga tempat. Peristiwa ini menghancurkan sisa-sisa pasukan Pandawa dan mengakhiri malam dengan kekejaman brutal.
Aswatthama, Kripa, dan Kritavarma, tiga prajurit Kuru yang tersisa, mengunjungi Duryodhana. Setelah mendengar bahwa Aswatthama telah membalaskan dendam dengan membunuh Dhrishtadyumna dan banyak pahlawan Pandawa lainnya, Duryodhana merasa puas. Ia memberi restu kepada ketiga prajurit itu sebelum meninggal, lalu jiwanya naik ke surga. Dengan kesedihan mendalam, ketiga prajurit tersebut meninggalkan tempat tersebut.
Setelah malam berlalu, Yudhishthira mengetahui bahwa putra-putra Draupadi dan pahlawan Pancala dibantai oleh Aswatthama, Kritawarma, dan Kripa. Meskipun mereka menang dalam pertempuran, Yudhishthira merasa kalah karena kehilangan keluarga dan merasakan kesedihan Draupadi atas kehilangan putra-putra dan saudara-saudaranya.
Yudhishthira memerintahkan Nakula untuk membawa Draupadi dan kerabatnya. Ketika Nakula tiba, Draupadi sangat berduka atas kematian putra-putranya dan mendesak Pandawa untuk membalas dendam pada Aswatthama. Dia juga meminta agar permata ajaib di kepala Ashvatthama dibawa sebagai bukti keadilan.
Draupadi meminta Bhima untuk membalas kematian putra-putranya dengan mengejar Aswatthama. Krishna kemudian memperingatkan Yudhishthira bahwa Aswatthama memiliki senjata Brahmastra yang bisa menghancurkan dunia dan telah dilarang untuk digunakan terhadap manusia.
Krishna, Yudhishthira, dan Arjuna mengejar Bhima yang marah. Mereka menemukan Bhima di tepi sungai, menghadapi Aswatthama yang sedang duduk bersama para resi dalam keadaan kumuh.
Aswatthama dan Arjuna menggunakan senjata sakti mereka (Sumber: Koleksi Pribadi)
Aswatthama, melihat Bhima datang marah, merasa ajalnya dekat. Dalam keputusasaan, ia menggunakan senjata Brahmastra dengan mengubah rumput menjadi senjata mematikan dengan niat menghancurkan Pandawa. Krishna segera meminta Arjuna menetralkan serangan itu dengan senjata surgawi yang diajarkan Drona yaitu Pasupatra. Arjuna kemudian menembakkan senjatanya untuk menyelamatkan semuanya.
Dua senjata sakti tersebut menyebabkan kekacauan dunia. Resi Narada dan Vyasa pun datang untuk menetralkan energi mereka dan menegur Arjuna dan Aswatthama. Arjuna, berkat kesuciannya, berhasil menarik kembali senjatanya, sementara Aswatthama tidak bisa karena tidak memiliki kesucian jiwa.
Aswatthama akhirnya setuju memberikan permata itu, tetapi ia malah mengarahkan senjatanya ke rahim wanita Pandawa, khususnya ke perut Uttara yang sedang mengandung. Akibatnya, janin dalam kandungan Uttara hancur.
Krishna mengutuk Aswatthama untuk mengembara selama 3.000 tahun tanpa teman dan penuh dengan penyakit. Meski janin yang terkena senjata itu mati, Krishna memastikan janin tersebut akan hidup kembali sebagai raja bijaksana, Parikesit. Aswatthama kemudian pergi ke hutan dengan penderitaan.
Pandawa kembali dengan permata dan menemui Draupadi yang berduka. Bhima menyerahkan permata sebagai tanda kemenangan. Draupadi, meski ingin membalas kematian anak-anaknya, mengakui kehormatan Aswatthama sebagai putra gurunya dan meminta Yudhishthira mengenakan permata. Dengan kekuatan mental besar, Draupadi melepaskan sumpahnya.