Tari Rejang Keraman: Simbol Kesucian dan Warisan Budaya Spiritual Desa Kedis dalam Upacara Keagamaan Bali
Bali dikenal dengan berbagai tradisi yang sarat akan makna spiritual dan budaya. Salah satu tradisi sakral yang masih lestari hingga saat ini adalah Tari Rejang Keraman, sebuah tarian upacara yang berasal dari Desa Kedis, Kecamatan Busungbiu, Kabupaten Buleleng. Tari ini tidak hanya sekadar tarian adat, tetapi juga memiliki nilai spiritual yang mendalam bagi masyarakat Desa Kedis. Tari Rejang Keraman kerap dipentaskan sebagai bagian dari rangkaian upacara keagamaan yang bertujuan untuk menghormati dan memuja dewa-dewa.
Sejarah dan Makna Tari Rejang Keraman
Tidak ada catatan tertulis yang pasti tentang kapan pertama kali Tari Rejang Keraman mulai dipentaskan. Namun, tradisi ini telah berlangsung sejak zaman dahulu dan diwariskan dari generasi ke generasi. Tarian ini dipercaya sebagai bentuk persembahan kepada para dewa yang diyakini hadir dalam upacara-upacara adat di pura. Kata "Rejang" sendiri berarti "menari bersama", sementara "Keraman" merujuk pada aspek kesakralan dan keramatnya tarian ini.
Tarian ini umumnya ditarikan oleh laki-laki maupun perempuan, baik dari kalangan muda hingga yang lebih tua. Mereka menari dengan penuh khidmat sebagai bentuk persembahan spiritual. Menurut para sesepuh desa, Tari Rejang Keraman tidak sekadar menjadi bagian dari upacara, tetapi juga sebagai ungkapan syukur dan harapan akan berkah yang diberikan para dewa kepada masyarakat. Tarian ini juga merupakan simbol dari kesucian dan harmoni, yang mencerminkan hubungan erat antara manusia, alam, dan Tuhan dalam ajaran Tri Hita Karana.
Tari Rejang Keraman (Sumber : Koleksi Penulis)
Prosesi Pelaksanaan Tari Rejang Keraman
Tari Rejang Keraman biasanya dipentaskan dalam rangkaian upacara besar di Pura Desa, seperti upacara piodalan atau upacara keagamaan lainnya yang berkaitan dengan siklus kehidupan masyarakat setempat. Tarian ini dilakukan oleh baik laki-laki maupun perempuan, mulai dari remaja hingga orang dewasa. Para penari mengenakan pakaian adat Bali, di mana perempuan mengenakan kain songket dan kebaya berwarna cerah, sementara laki-laki mengenakan kain kamben dan udeng (ikat kepala). Hiasan kepala dari janur atau bunga juga digunakan sebagai simbol kesucian.
Sebelum tarian dimulai, para penari biasanya menjalani ritual pembersihan diri atau melukat, yang bertujuan untuk menyucikan tubuh dan pikiran agar layak menarikan tarian sakral ini. Setelah pembersihan, para penari berkumpul di jaba tengah (halaman pura) dan mulai menari mengikuti alunan gamelan Bali yang mengiringi mereka.
Gerakan tariannya lembut dan anggun, mencerminkan ketenangan serta penghormatan kepada para dewa. Tarian ini dilakukan secara berkelompok, di mana para penari membentuk barisan melingkar atau lurus, bergerak selaras tanpa harus dipimpin oleh seorang penari utama. Penari laki-laki dan perempuan saling berinteraksi dalam tarian ini, menciptakan harmoni yang mencerminkan kesatuan dan semangat kolektif dalam menyampaikan doa dan pengharapan kepada dewa.
Tari Rejang Keraman (Sumber : Koleksi Penulis)
Pelestarian dan Tantangan di Era Modern
Meski modernisasi terus berkembang, masyarakat Desa Kedis tetap berupaya melestarikan Tari Rejang Keraman sebagai tradisi sakral. Tarian ini diwariskan dari generasi ke generasi, dengan para orang tua mengajarkan nilai spiritualnya kepada anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan. Namun, tantangan muncul dari ancaman modernisasi yang dapat mengikis kesakralan tradisi ini.
Agar tetap relevan, beberapa aspek tarian telah disesuaikan, seperti durasi prosesi yang kini lebih singkat. Meski demikian, makna spiritualnya tetap dijaga, dan tari ini tetap menjadi bagian integral dari upacara keagamaan, bukan sekadar tontonan. Pelestarian Tari Rejang Keraman adalah tanggung jawab bersama untuk menjaga warisan budaya ini tetap hidup di tengah perkembangan zaman.
Tari Rejang Keraman dari Desa Kedis merupakan simbol kesucian dan ekspresi spiritual yang mendalam bagi masyarakat Bali, khususnya di Desa Kedis. Tarian ini tidak hanya menjadi bagian dari ritual keagamaan, tetapi juga menjadi medium untuk menjaga hubungan harmonis antara manusia, alam, dan Tuhan. Sebagai warisan budaya yang berharga, pelestarian Tari Rejang Keraman adalah tanggung jawab bersama, baik oleh masyarakat Bali maupun generasi penerus, agar nilai-nilai spiritual dan budaya yang terkandung di dalamnya tetap hidup dan lestari di tengah modernisasi yang semakin pesat.