Tumpek Wariga Di Mana Harmoni Bunga dan Buah Bercerita Makna Mendalam

Bali, pulau yang menakjubkan, merayakan Tumpek Wariga setiap 210 hari sekali. Dalam tradisi ini, manusia dan alam berkomunikasi melalui prosesi ngatag. Tidak hanya sekadar tradisi, Tumpek Wariga memegang kunci keseimbangan alam sehari-hari. Lebih dari sekadar perayaan keagamaan, ini adalah panggilan untuk menjaga warisan budaya dan alam. Mari ikut serta menjadi bagian dari kisah luar biasa ini yang tak hanya mempesona, tetapi juga mengajarkan makna rasa terima kasih pada berkah alam dan keindahannya.

Jan 1, 2024 - 15:21
Jan 10, 2024 - 22:13
Tumpek Wariga Di Mana Harmoni Bunga dan Buah Bercerita Makna Mendalam
Prossesi Tumpek Wariga (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Bali, pulau yang menakjubkan dengan kekayaan budaya dan keindahan alamnya, memiliki tradisi yang bernama Tumpek Wariga. Tradisi ini merupakan salah satu bentuk penghormatan kepada Dewa Sangkara, manifestasi Ida Sang Hyang Widhi sebagai dewa tumbuh-tumbuhan. Tradisi ini juga mencerminkan filosofi Tri Hita Karana, yaitu keseimbangan antara hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan alam.

Tumpek Wariga merupakan tradisi yang berlangsung setiap 210 hari sekali, atau setiap enam bulan menurut kalender Hindu Bali. Tradisi ini jatuh pada hari Saniscara Keliwon Wuku Wariga, yang berarti 25 hari sebelum Hari Raya Galungan, hari kemenangan kebaikan atas kejahatan. Tumpek Wariga memiliki beberapa nama lain, seperti Tumpek Pengatag, Tumpek Pengarah, atau Tumpek Bubuh. Nama-nama ini menggambarkan prosesi dan persembahan yang dilakukan dalam perayaan ini.

Upacara Tumpek Wariga biasanya dilakukan di kebun, sawah, atau tempat-tempat yang ada tumbuh-tumbuhan. Umat Hindu di Bali menghaturkan berupa canang, banten, dan bubur sumsum yang terbuat dari tepung beras. Bubur sumsum ini disebut juga bubuh, yang melambangkan kesucian, kesederhanaan, dan kerendahan hati. Bubuh yang dihaturkan kepada tumbuh-tumbuhan disertai dengan mantra dan prosesi ngatag, yaitu menggetok-getok batang pohon dengan pisau atau parang. Hal ini dimaksudkan untuk memberi semangat dan arahan kepada tumbuh-tumbuhan agar tumbuh subur, sehat, dan berbuah lebat. Selain itu, prosesi ngatag juga merupakan bentuk komunikasi antara manusia dan tumbuh-tumbuhan, yang menunjukkan rasa hormat dan kasih sayang kepada alam.

Prosesi Ngatag (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Mantra yang diucapkan saat menghaturkan bubuh dan melakukan prosesi ngatag adalah sebagai berikut:

“Kaki kaki, Nini nini, Sarwa tumuwuh. Niki tiyang ngaturin bubuh mangda ledang tumbuh subur, malih selae lemeng Galungan. Mabuah apang nged, nged, nged…”

Artinya:

“Kakek kakek, Nenek nenek, Semua tumbuh-tumbuhan. Ini saya menghaturkan bubur agar tumbuh subur, nanti saat Galungan. Berbuah agar banyak, banyak, banyak…”

Setelah mengucapkan mantra, batang pohon digetok-getok sebanyak tiga kali sambil mengucapkan nged, nged, nged. Hal ini dimaksudkan agar pohon berbuah banyak sehingga bisa menjadi bekal saat Galungan nanti. Selain itu, menggetok pohon juga merupakan cara untuk membangkitkan energi positif dari alam dan tumbuh-tumbuhan. Setelah melakukan prosesi ngatag, bubur sumsum yang dihaturkan ditempelkan pada batang pohon atau daun-daunnya. Hal ini dimaksudkan untuk memberi makan dan menyuburkan tumbuh-tumbuhan.

Menghaturkan Bubur Sumsum (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Tumpek Wariga bukan hanya tradisi keagamaan, melainkan juga memiliki relevansi mendalam dengan kehidupan manusia saat ini. Contohnya melalui menanam pohon, umat Hindu di Bali berperan dalam menjaga keseimbangan alam, mendukung keberlangsungan hidup semua makhluk. Pohon-pohon yang ditanam bukan hanya memberikan manfaat bagi manusia, tetapi juga untuk lingkungan, seperti mengurangi dampak pemanasan global, mencegah erosi tanah, dan meningkatkan kualitas udara. Penanaman pohon juga menjadi simbol sikap peduli, berbagi, dan bersyukur kepada alam, sumber kekayaan dan keindahan tak terhingga.

Tumpek Wariga mengajarkan kita tentang rasa terima kasih yang mendalam terhadap kekayaan alam. Upacara dan persembahan penuh dengan ungkapan terima kasih kepada alam sebagai manifestasi dari Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa. Perayaan ini menjadi contoh harmoni antara budaya, agama, dan alam, memberikan inspirasi kepada dunia dalam menjaga keseimbangan alam dan kesejahteraan manusia. Dengan menjaga alam, kita merawat masa depan bagi diri kita sendiri dan bumi tempat kita tinggal.

Dengan demikian, Tumpek Wariga memberikan pengingat akan pentingnya menjaga dan menghormati alam. Ini adalah pelajaran berharga bagi generasi muda tentang tanggung jawab mereka dalam melestarikan lingkungan dan budaya. Melalui perayaan ini, bukan hanya berkah alam yang dirayakan, tetapi juga kontribusi nyata dalam menjaga keseimbangan alam dan kesejahteraan manusia di Bali. Semoga kita semua merenungkan makna mendalam dari perayaan ini dan mengambil tindakan yang diperlukan untuk melindungi keberlanjutan alam semesta ini. Dengan demikian, kita semua dapat berperan aktif dalam menjaga alam dan mewariskan warisan budaya ini kepada generasi mendatang.