Tradisi Kuno Desa Les: Pantangan Memakai Bajra Bagi Pemangku
Desa Les, sebagai salah satu desa Bali Mula atau Bali Aga, memiliki keunikan dalam tradisi keagamaannya. Meskipun genta biasanya penting dalam upacara Hindu, berbeda dengan Desa Les genta bersifat niskala (tak terlihat dan terdengar) dengan see yaitu mantra lokal yang menggunakan Bahasa Bali atau Kawi. Pantangan penggunaan genta ini diwariskan secara turun-temurun hingga saat ini.
Masyarakat Bali sangat kental dengan tradisi Tatanan pranata, dan sistem kepercayaannya. Istilah Bali Aga dan Bali Mula merupakan dua istilah yang sering dipakai untuk membedakan Wong Majapahit dan Bali Aga. Ada beberapa ciri, salah satunya dari sudut bahasa atau dialek dalam hal pengucapan. Belakangan muncul istilah komunitas Bali Mula yang dikatakan berbeda dengan Bali Aga. Konon Bali Aga itu berasal dari pulau Jawa (desa Aga) yang masuk ke Bali sebelum Majapahit invansi dan menaklukkan Bali. Sedangkan masyarakat Bali Mula adalah masyarakat yang memang tercipta di Bali pertamakali sebelum di Bali ada kehidupan (lihat Babad Kayu Selem). Komunitas masyarakat Bali Mula dikenal pula dengan Catur Sanak yang terdiri dari Kayu Selem, Kayuan, Celagi, dan Tarumenyan (Trunyan). Pusat daerah permukiman Bali Mula ada di seputaran Kintamani dengan pura terbesarnya Pura Pucak Panarajon atau Pucak Penulisan. Kemudian pura yang lainnya, Pura Dalem Balingkang, Pura Baleagung Sukawana, Pura Puseh Panjingan di Desa Les.
Setiap desa di Bali pasti memiliki riwayat masing-masing pada saat berdirinya desa tersebut. Desa Les merupakan sebuah desa yang berada di ujung timur wilayah Kabupaten Buleleng yang memiliki kisah dibalik nama Desa Les itu sendiri. Kisah atau tuturan berdirinya Desa Les ini belum ditemukan data tertulis, akan tetapi diceritakan berdasarkan tuturan dari orang tuanya terdahulu. Artinya tuturan kisah berdirinya Desa Les ini diturunkan secara pelisanan. Konsesuensi dari tradisi pelisanan ini yaitu munculnya banyak versi cerita. Hal tersebut berkaitan dengan ketajaman ingatan dari penerima tuturan yang berbeda-beda.
Berdasarkan penuturan dari salah satu versi tuturan yang diceritakan oleh almarhum I Ketut Wirsa, tersebutlah pada suatu upacara adat di desa Panjingan, rombongan wong Bajo yang dikenal sebagai manusia perahu datang dan tertarik bergabung dalam acara adu ayam. Mereka melihat ayam seginangsi, ayam berbulu putih dengan satu helai bulu hitam yang terkenal selalu menang di adu. Tertarik, wong Bajo meminta para bebotoh desa Panjingan mencarikan ayam seginangsi untuk dibeli dan diadu.
Namun, seorang bebotoh desa berbuat curang dengan memberikan ayam putih biasa yang salah satu bulunya dicap hitam, seolah-olah itu ayam seginangsi. Wong Bajo membelinya dengan harga mahal karena yakin ayam itu akan menang. Namun, saat diadu, ayam tersebut kalah, dan wong Bajo menyadari bahwa mereka telah ditipu. Dengan perasaan marah, mereka pergi dan bersumpah akan kembali. Setelah ucapan perpisahan wong Bajo yang penuh ancaman, ketakutan menyelimuti desa Panjingan. Para bebotoh terus memikirkan kemungkinan balas dendam dari para pelaut Bajo yang dikenal kuat dan tidak kenal takut. Hari demi hari, ketakutan mereka semakin menjadi-jadi, terutama ketika mendengar kabar ada rombongan perahu layar melintas di lautan sekitar.
Akhirnya, ketika terlihat beberapa perahu Wong Bajo beriringan dari arah barat, warga Desa Panjingan merasa bahwa hari pembalasan telah tiba. Mereka khawatir bahwa Wong Bajo datang untuk membalaskan kekalahan mereka dalam adu ayam dan penipuan yang terjadi. Perahu-perahu tersebut terus mendekat, dan ketegangan di desa semakin memuncak. Namun, ternyata perahu-perahu tersebut hanya lewat, melanjutkan perjalanan mereka menuju daerah Lombok dan Sumbawa untuk berdagang. Ketakutan yang menyelimuti Desa Panjingan perlahan-lahan memudar, namun peristiwa itu tetap menjadi pengingat akan pentingnya menjaga hubungan baik dengan orang luar, serta dampak buruk dari tipu muslihat.
Setelah iring-iringan perahu Wong Bajo terlihat dari kejauhan, seorang warga Desa Panjingan melapor dengan tergesa-gesa, menyebabkan kepanikan di desa. Warga berasumsi wong Bajo akan menyerang untuk membalas dendam karena pernah ditipu dalam acara adu ayam. Ketakutan meluas, dan warga sepakat untuk meninggalkan desa agar terhindar dari bahaya. Mereka terbagi menjadi dua kelompok: satu lari ke arah bukit Buhu dan yang lain menuju hutan.
Kelompok yang lari ke bukit Buhu mendirikan tempat pengungsian darurat di bawah pohon besar. Mereka membawa delapan batang sanggah kemulan, yang merupakan simbol spiritual penting. Namun, karena bukit Buhu masih terlihat dari laut, mereka memutuskan untuk pindah ke tempat yang lebih aman, yakni bukit Yangudi, yang lebih tinggi dan terlindungi oleh jurang. Di bukit Yangudi, mereka merasa aman karena bisa melihat jika ada serangan dari wong Bajo, meski kondisi di sana kurang layak untuk tempat tinggal permanen karena ketiadaan air dan lahan pertanian
Air Terjun Boboran Mampeh (Sumber: Koleksi Redaksi)
Beberapa warga kemudian menemukan sumber air berupa air terjun di Boboran Mampeh. Mereka juga menemukan lahan datar yang cocok untuk pemukiman dan pertanian. Akhirnya, seluruh warga Panjingan turun ke lokasi tersebut untuk memulai kehidupan baru. Dalam perjalanan rahasia ini, mereka menyelinap dengan hati-hati agar tidak terlihat dari laut. Desa baru yang terbentuk diberi nama Desa Les, yang konon berasal dari kata "makiles" (menyelinap) atau dari kata "Ngenes" yang berarti bersembunyi.
Sementara itu, kelompok warga yang melarikan diri ke arah timur juga bersembunyi di hutan, membawa empat batang kayu sakti dari sanggah kemulan mereka. Setelah situasi dianggap aman, mereka berkumpul kembali dan membentuk desa baru yang diberi nama Penuktukan. Nama ini berasal dari proses mengumpulkan kembali warga yang sempat terpencar (tup-tupang). Kedua desa, Les dan Penuktukan, dulunya satu desa bernama Panjingan. Tradisi spiritual seperti bentuk sanggah kemulan berbeda antara kedua desa, namun keduanya tetap menjaga tradisi leluhur. Sanggah kemulan di Desa Les terdiri dari delapan batang kayu sakti dengan tambahan batu di bawah sebagai simbolik Ibu Pertiwi, sedangkan di Desa Penuktukan, sanggah kemulan hanya terdiri dari empat batang kayu sakti dengan simbol dua batu sebagai pengganti rong yang hilang.
Kekhasan yang kemudian menjadi tradisi kuno di Desa Adat Les, yaitu pantangan bagi Pemangku atau Jero Gede untuk menggunakan bajra ketika muput yadnya. Berbicara tentang bajra atau genta, di Bali identik dengan sulinggih atau pendeta Hindu yang telah melalui proses upacara dwijati (lahir dua kali) seperti: Ida Pedanda, Ida Resi, Ida Sri Empu. Para pendeta Hindu ini merupakan implementasi dari komunitas masyarakat Bali Dataran atau masyarakat Bali yang eksis di Bali setelah Bali ditaklukkan Majapahit. Dari sini Bali mulai mengenal catur warna (Brahmana, Ksatriya, Wesya, Kawula). Masing-masing warna tersebut memiliki pemimpin kerohanian yang tertinggi, yakni pendeta atau sulinggih dengan bajra sebagai sarana pemujaan.
Bajra ini merupakan sarana menghubungkan Pemangku dengan segala tujuannya dengan para Dewata-Dewati. Hal ini sesuai dengan fungsi bajra berikut. Jika kita mendengarkan suara bajra dengan seksama, suara yang terdengar terasa memenuhi angkasa. Kegunaannya adalah untuk nuhur atau menurunkan para linggih Dewata Nawa Sanga untuk menyaksikan para bhuta-bhuti menerima lelabaan atau caru. Di dalam melaksanakan pemujaan atau melaksanakan upacara yadnya, para sulinggih atau pemangku yang memiliki tradisi memakai bajra, bajra dipegang dengan tangan kiri, tangan kanan mengenter sarana sajen dan lain-lain. Pada saat bajra telah digoyang atau disuarakan, ujaran weda pun tidak henti-hentinya.
Untuk masyarakat Bali Mula yang dikenal pula dengan Masyarakat Gebog Domas sampai ke Kanca Satak-Kanca Sataknya telah memiliki sulinggih atau yang paling disucikan, yaitu Jero Gede. Jero Gede selalu ada dua yaitu Jero Gede Duuran dan Jero Gede Alitan. Sangat berbeda dengan tradisi di Desa Adat Les. Ketika Pemangku atau Jero Gede melaksanakan upacara yadnya, kedua tangan beliau para Pemangku juga tidak pernah diam. Sarana upacara seperti Pasepan, sajen-sajen, dan Pebuat secara bergiliran diangkat, dipegang oleh para Pemangku sambil masesapan atau see. Bahasa see tersebut adalah bahasa Bali Alus dan dapat dimengerti oleh siapa saja yang mendengar, yang isinya menggunakan bahasa Bali untuk menyampaikan bahwa si anu melaksanakan apa, tujuannya untuk apa, kepada siapa ditujukan, dan memohonkan agar si anu yang melaksanakan upacara yadnya diberikan keselamatan.
Muput Upakara Pitra Yadnya (Sumber: Koleksi Redaksi)
Para Pemangku yang tidak memiliki tradisi melaksanakan upacara yadnya dengan memakai bajra, seperti di Desa Adat Les, dari tatanan sarana upakara dan upacaranya memang berbeda. Jika mengubah tradisi (dresta) seperti Pemangku di Les mau memakai bajra saat melaksanakan upacara yadnya, tatanan upakara dan upacaranya harus diubah juga. Pasepan, beberapa sajen yang ada di depan Pemangku saat muput yadnya, dan Pebuat, harus diangkat dan dipegang oleh Pemangku sambil masesapan. Seandainya memakai bajra, kapan kesempatan Pemangku di desa adat Les akan memegang bajra tersebut, atau bajra selalu dipegang Pemangku, berarti Pasepandan dan Pebuat itu tidak berfungsi karena kehilangan kesempatan untuk diangkat. Hal itu dikarenakan tangan Pemangku telah memegang bajra.
Sesungguhnya bukan alasan ini satu-satunya yang menyebabkan Desa Adat Les kukuh dengan tradisi kuno dimana Pemangku dilarang memakai bajra pada saat muput upacara yadnya. Di atas telah dideskripsikan keterkaitan dengan keberadaan pura Griya yang dimaknai sebagai pura tempat berstananya Sulinggih sunia (niskala). Hal ini terkait pula dengan Bhisama, tidak diijinkan mengubah dresta dan aywa amada-mada tidak boleh menyama-nyamai Ida Betara. Sejak dahulu, Desa Les memiliki dua pura utama, yaitu Pura Griya dan Pura Sengguwu. Masyarakat setempat juga meyakini bahwa para pemangku sebenarnya memiliki genta, namun bersifat niskala (tak kasat mata) sehingga tidak terlihat dan terdengar. Selain itu, para pemangku menggunakan penyungsung, sebuah kotak yang berisi pis bolong (uang kepeng bolong) sebanyak 225 biji (satak limang likur), sajen, menyan, dan sampian sebagai perlengkapan saat memimpin upacara. Menurut salah satu pemangku Desa Les, tradisi ini telah dilakukan dan diyakini secara turun-temurun oleh para pemangku pura serta seluruh masyarakat desa sebagai bagian dari etika pelaksanaan upakara mereka.