Warisan yang Terpelihara: Potret Baru Taman Pahlawan di Desa Carangsari
Di hamparan luas sawah, berdiri kokoh monumen yang menyimpan sejarah luar biasa seorang pejuang heroik yang lahir di Desa Carangsari, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Pejuang tersebut tak lain adalah Pahlawan Nasional Brigjen (Anumerta) I Gusti Ngurah Rai.

Brigadir Jenderal TNI (Anumerta) I Gusti Ngurah Rai (30 Januari 1917—20 November 1946) merupakan tokoh militer Indonesia yang memiliki jasa besar dalam perang kemerdekaan. Beliau adalah pendiri sekaligus panglima pertama satuan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia di Kepulauan Sunda Kecil. Selain itu, ia memimpin perlawanan bersenjata anti-Belanda di Bali, khususnya dalam pertempuran legendaris yang dikenal sebagai Perang Puputan di desa Marga, Kabupaten Tabanan, bersama pasukannya yang bernama Ciung Wanara.
Sebagai pahlawan nasional, beliau secara anumerta dianugerahi salah satu penghargaan tertinggi militer Republik Indonesia dan dipromosikan menjadi brigadir jenderal (semasa hidupnya berpangkat letnan kolonel). Beliau adalah salah satu tokoh legendaris yang sangat dihormati dalam sejarah Bali modern. Namanya diabadikan dalam berbagai aspek infrastruktur, seperti Bandara Internasional I Gusti Ngurah Rai, Universitas Ngurah Rai, jalan-jalan di Bali, hingga sejumlah daerah lain di Indonesia yang menggunakan namanya.
Bagian Depan Kawasan Monumen (Sumber Foto: Koleksi Penulis)
Monumen Pahlawan Nasional ini pertama kali didirikan pada tahun 1967 dan mengalami renovasi serta diresmikan kembali pada 3 Desember 1999 oleh Bupati Badung, I Gusti Bagus Alit Putra. Hampir dua dekade kemudian, monumen ini kembali direnovasi, tepatnya pada tahun 2016 dan 2024, akibat kerusakan pada patung yang tertimpa pohon. Karena kejadian serupa berulang, keluarga besar I Gusti Ngurah Rai memutuskan, setelah meminta nasihat spiritual, untuk membuat patung baru berbahan perunggu, menggantikan patung sebelumnya yang terbuat dari batu paras.
Patung I Gusti Ngurah Rai (Sumber Foto: Koleksi Penulis)
Proses revitalisasi monumen ini melibatkan pembuatan patung setinggi 2,05 meter dengan bobot 350 kg oleh pematung I Gede Sarantika dari Mas, Gianyar. Proyek tersebut rampung dalam waktu 4,5 bulan. Pada bagian belakang patung utama I Gusti Ngurah Rai terdapat nisan tokoh perjuangan lainnya, seperti Made Merek dan I Marsya dari Banjar Senapan, Kopral Nang Kolag dari Banjar Sangat, Praptu Pan Warta dari Banjar Buangga, dan I Gusti Made Japung dari Samuan. Mereka adalah pahlawan-pahlawan lokal yang berasal dari sekitar Desa Carangsari.
Nisan Prajurit Dari Carangsari (Sumber Foto: Koleksi Penulis)
Sebelum memasuki area utama, pengunjung akan disambut oleh megahnya kori-kori khas arsitektur Bali yang terbuat dari bata merah, dikelilingi pepohonan rindang. Suasana asri sangat terasa di sini, mengingat monumen ini juga berada di kawasan persawahan yang menghadirkan hembusan angin sepoi-sepoi. Pengunjung tidak hanya dapat mempelajari sejarah dan menikmati seni arsitektur, tetapi juga merasakan keindahan alam Bali yang menenangkan.
Kori Areal Utama Monumen (Sumber Foto: Koleksi Penulis)
Monumen ini memiliki detail menarik pada bagian bawahnya, berupa empat sisi persegi yang mengisahkan sejarah perjuangan I Gusti Ngurah Rai. Salah satu narasinya berbunyi: “MERDEKA! Soerat telah kami terima dengan selamat. Dengan singkat kami sampaikan djawaban sebagai berikoet: Tentang keamana di Bali adalah oeroesan kami, semendjak pendaratan tantara toean, poelau mendjadi tidak aman. Boekti telah njata, tidak dapat dipoengkiri lagi. Lihatlah penderitaan rakjat menghebat. Mengantjam keselamatan rakjat bersama. Tambah-tambah kekatjaoean ekonomi mendjerat leher rakjat. Keamanan terganggoe, karena toean memperkosa kehendak rakjat jang telah menjatakan kemerdekaannja.” Kalimat-kalimat ini menunjukkan semangat heroik pejuang dalam memperjuangkan hak-hak rakyat Bali kala itu.
Narasi Pada Bagian Bawah Patung I Gusti Ngurah Rai (Sumber Foto: Koleksi Penulis)
Teks-teks ini diharapkan menjadi pengingat akan kisah perjuangan leluhur Nusantara dalam membela Ibu Pertiwi. Monumen ini tidak hanya sekadar karya seni, tetapi juga medium yang mengingatkan masyarakat akan pentingnya menjaga dan menghormati sejarah, sesuai dengan pesan Ir. Soekarno: “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya. Jangan sekali-kali melupakan sejarah.”
Patung Kera Sebagai Simbol Pasukan Ciung Wanara (Sumber Foto: Koleksi Penulis)
Sebagai penghormatan kepada pasukan Ciung Wanara, di depan monumen utama juga dibangun patung kera sebagai simbol perjuangan. Hal ini menambah nilai historis monumen sebagai tempat untuk mengenang jasa pahlawan.
Tidak hanya fokus pada revitalisasi patung, Pemerintah Kabupaten Badung juga memperluas kawasan monumen ini dan menambahkan berbagai infrastruktur baru. Revitalisasi tersebut mencakup pengadaan lahan seluas dua hektar dengan anggaran Rp18,7 miliar melalui Bantuan Keuangan Khusus Pemkab Badung. Selain itu, melalui anggaran APBD Badung 2023, pemerintah membangun sarana dan prasarana pendukung lainnya dengan anggaran lebih dari Rp24 miliar.
Bangunan yang Akan Dijadikan Museum (Sumber Foto: Koleksi Penulis)
Fasilitas Toilet di Kawasan Monumen (Sumber Foto: Koleksi Penulis)
Sport Center, UMKM Center, dan Taman Bermain (Sumber Foto: Koleksi Penulis)
Fasilitas yang tersedia di kawasan ini mencakup toilet, area parkir, pusat olahraga, pusat UMKM, taman bermain ramah anak, lapangan, dan panggung terbuka yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat. Semua fasilitas ini mendukung keberadaan Desa Carangsari yang sebelumnya telah meraih prestasi sebagai Desa Wisata Inovatif dalam Anugerah Desa Wisata Indonesia (ADWI) 2021.
Kini, kawasan ini dibuka sepenuhnya untuk umum. Banyak masyarakat dari berbagai kalangan datang untuk bermain, belajar sejarah, atau sekadar berkumpul menikmati keindahan kawasan yang asri. Monumen ini tidak hanya menjadi tempat mengenang perjuangan, tetapi juga ruang publik yang menghubungkan sejarah, seni, dan alam Bali dalam harmoni.