Mapepade Agung: Ritual Bali yang Menyuguhkan Kenunikan Penyucian Hewan
Pada 6 Oktober 2024, Desa Dlod Tukad di Batubulan, Gianyar, Bali, mengadakan tradisi Mapepade Agung dalam rangkaian upacara Karye. Mapepade Agung adalah prosesi penyucian hewan kurban sebelum digunakan dalam ritual yadnya. Hewan-hewan tersebut dihormati dan dipakaikan pakaian adat sebagai simbol kesetaraan. Tradisi ini mencerminkan penghargaan mendalam terhadap roh hewan dan hubungan harmonis antara manusia dan alam dalam budaya Bali.
Mapepade Agung adalah tradisi sakral di Bali yang bertujuan menyucikan hewan sebelum dijadikan kurban dalam upacara yadnya, yang merupakan ritual persembahan suci. Tradisi ini mengandung makna yang dalam dalam budaya dan spiritualitas Bali, di mana masyarakat memperlihatkan penghormatan dan kasih sayang terhadap roh hewan yang akan dikorbankan. Bagi masyarakat Bali, tradisi ini bukan sekadar upacara, melainkan cerminan dari harmoni antara manusia, hewan, dan alam semesta.
Hewan-hewan dihiasi pakaian adat dalam prosesi Mapepade Agung (Sumber : Koleksi Pribadi)
Istilah “Mapepade” berasal dari kata “pada,” yang memiliki dua makna utama dalam bahasa Bali: “sama” dan “kaki.” Makna pertama, “sama,” menyiratkan konsep penyamaan atau kesetaraan, di mana hewan yang akan dikorbankan diperlakukan dengan hormat dan seolah-olah setara dengan manusia. Prosesi ini melambangkan penghormatan terhadap jiwa hewan, dengan harapan agar roh mereka mendapatkan kehidupan yang lebih tinggi di kelahiran berikutnya dan tidak kembali terlahir sebagai hewan.
Makna “pada” yang kedua, yaitu “kaki,” merujuk pada penggunaan hewan berkaki dua dan empat, seperti sapi, kambing, ayam, babi, bahkan penyu. Hewan-hewan ini dianggap sebagai simbol alam yang beragam, dan keberadaan mereka dalam ritual yadnya adalah simbol penghormatan serta rasa terima kasih kepada alam yang memberi kehidupan.
Di Desa Batubulan, tepatnya di Pura Dalem Delod Tukad, tradisi Mapepade Agung berlangsung dengan melibatkan berbagai jenis hewan seperti sapi, babi, kambing, ayam, dan penyu. Hewan-hewan ini dipakaikan busana adat Bali sebagai simbol penghormatan dan penyucian. Pakaian adat yang dikenakan pada hewan kurban menunjukkan penghargaan manusia terhadap mereka sebagai makhluk hidup yang memiliki jiwa.
Pengarakan hewan mengelilingi pura dalam prosesi Mapepade Agung (Sumber : Koleksi Pribadi)
Dalam prosesi penyucian, hewan-hewan ini diarak mengelilingi pura sebanyak tiga kali, diiringi oleh alunan gamelan Bali yang merdu dan khidmat. Arak-arakan ini adalah bentuk penyucian spiritual, di mana hewan kurban dipersiapkan untuk menjadi bagian dari upacara yadnya. Setelah tiga kali mengelilingi pura, pemangku (pemimpin upacara) memberikan doa serta tanda khusus pada hewan-hewan tersebut, sebagai simbol restu dan izin untuk melanjutkan peran mereka dalam upacara. Hewan-hewan ini kemudian diberi gelang tridatu dan tanda berupa goresan ringan pada tubuh mereka sebagai tanda bahwa mereka telah disucikan dan siap digunakan dalam yadnya.
Prosesi pengarakan diiringi oleh alunan gamelan dari seke beleganjur (Sumber : Koleksi Pribadi)
Dalam tradisi Mapepade Agung, Sanggar Tawang adalah komponen penting dalam upacara Tawur yang merupakan bentuk Bhuta Yadnya. Sanggar Tawang adalah tempat suci yang menjulang, tempat persemayaman simbol Tri Purusa, yang melambangkan tiga aspek Dewa Siwa: Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Tiga aspek ini diyakini akan menyaksikan jalannya yadnya dan memberikan restu atas berlangsungnya upacara. Selain Tri Purusa, Sanggar Tawang juga menjadi tempat persemayaman Ida Bhatara Rare Angon, dewa yang dipercaya berperan dalam mengantarkan roh hewan kurban menuju alam yang lebih tinggi, memfasilitasi reinkarnasi mereka ke kehidupan yang lebih baik.
Simbolisme Sanggar Tawang sebagai tempat para dewa menyaksikan jalannya yadnya menambah dimensi spiritual pada upacara ini. Hadirnya Ida Bhatara Rare Angon sebagai pelindung dan pengantar roh hewan adalah tanda bahwa setiap makhluk hidup, termasuk hewan kurban, memiliki perjalanan spiritualnya sendiri. Ini menunjukkan bahwa yadnya dalam budaya Bali bukan sekadar pengorbanan fisik, tetapi juga upaya menjaga keseimbangan antara dunia manusia dan dunia spiritual.
Pemangku memimpin prosesi mapedade agung (Sumber : Koleksi Pribadi)
Mapepade Agung adalah cerminan dari pandangan hidup masyarakat Bali tentang harmoni antara manusia, hewan, dan alam semesta. Dalam tradisi ini, manusia menyadari bahwa keberlangsungan hidup memerlukan keseimbangan antara alam dan segala isinya. Hewan-hewan yang disucikan dalam upacara yadnya diperlakukan dengan penuh kasih dan penghormatan sebagai simbol penghargaan terhadap alam yang mendukung kehidupan manusia. Hal ini menggambarkan filosofi keseimbangan alam, di mana manusia tidak berkuasa mutlak atas hewan dan tumbuhan, melainkan hidup berdampingan dalam siklus kehidupan yang saling terkait.
Nilai harmoni yang terkandung dalam Mapepade Agung juga mengajarkan tentang pentingnya rasa syukur dan kerendahan hati. Dengan menyucikan dan menghormati hewan kurban, masyarakat Bali diingatkan bahwa kehidupan adalah anugerah yang harus dihargai dan dijaga. Tradisi ini mengajarkan manusia untuk tidak memanfaatkan alam secara berlebihan atau merusaknya, tetapi menjaga keseimbangan dan saling menghormati antar makhluk hidup.
Pada puncak prosesi Mapepade Agung, hewan-hewan yang telah disucikan dibawa ke masing-masing banjar untuk digunakan dalam yadnya. Pengorbanan mereka dalam upacara yadnya adalah bagian dari Bhuta Yadnya, upacara yang bertujuan untuk menjaga hubungan harmonis dengan alam dan kekuatan-kekuatan spiritual. Bhuta Yadnya berperan penting dalam menjaga keharmonisan antara manusia dan kekuatan alam, yang dalam kepercayaan masyarakat Bali, diwakili oleh Bhuta Kala.
Pemberian pinget dan gelang pada hewan dalam prosesi upacara (Sumber : Koleksi Pribadi)
Dengan memberikan yadnya kepada Bhuta Kala, masyarakat Bali percaya bahwa alam akan menjadi lebih stabil, dan keseimbangan akan terjaga. Mapepade Agung menjadi bentuk nyata dari penghormatan kepada alam, sebagai bentuk rasa terima kasih kepada elemen-elemen alam yang mendukung kehidupan manusia. Dalam filosofi Hindu Bali, yadnya adalah wujud bakti dan pengabdian kepada alam dan dewa-dewa, serta sebuah tanggung jawab moral untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan alam.
Dalam kehidupan masyarakat Bali, Mapepade Agung mengandung makna yang mendalam sebagai pengingat akan pentingnya menjaga keseimbangan dalam segala aspek kehidupan. Manusia tidak hanya membutuhkan alam, tetapi juga bertanggung jawab untuk menjaganya. Mapepade Agung mengajarkan bahwa manusia tidak dapat hidup tanpa adanya hubungan yang harmonis dengan alam dan makhluk hidup lainnya. Dengan menyucikan hewan kurban dalam upacara yadnya, masyarakat Bali menekankan pentingnya menjaga dan menghargai setiap bentuk kehidupan, sebuah nilai yang mendasari semua aspek kehidupan mereka.