Pura Candri Manik Bulian : Menyelami Energi Spiritual Menuju Portal Kedamaian
Bulian adalah sebuah desa kuno yang terletak di ujung utara Pulau Bali, tepatnya di wilayah Kecamatan Kubutambahan. Desa ini menjadi salah satu desa tertua di Bali yang kaya akan sejarah, budaya, dan tradisi. Salah satu bukti nyata ketuaan dan nilai sejarahnya adalah keberadaan Pura Candri Manik, atau yang juga dikenal dengan nama Pura Yeh Lesung.
Pura Candri Manik memiliki sebelas mata air suci, yang dalam bahasa Bali disebut sebagai "Bulakan." Hingga kini, mata air ini dipercaya memiliki kekuatan spiritual yang tinggi, menarik masyarakat setempat dan umat dari berbagai daerah yang datang untuk memohon berkah dan anugerah.
Pura Candri Manik erat kaitannya dengan sejarah kerajaan Bali kuno pada masa pemerintahan Raja Sri Janasadhu Warmadewa, yang memerintah di Singhamandawa dari tahun 955 hingga 982 Masehi. Setelah wafatnya Raja Sri Janasadhu Warmadewa, tampuk pemerintahan beralih kepada Sang Ratu Wijaya Mahadewi, atau Sang Ajna Dewi, yang dinobatkan sebagai ratu dan memerintah dari tahun 983 hingga 1024 Masehi.
Madya Mandala (Sumber Foto : Koleksi Pribadi)
Pada masa itu, daerah pesisir Bali Utara menghadapi berbagai ancaman dari perompak yang sering mengganggu keamanan masyarakat pesisir. Perompak-perompak ini juga terlibat dalam perdagangan manusia, memperdagangkan orang-orang yang diculik ke berbagai penjuru, termasuk ke wilayah Amerika Selatan. Mereka dijadikan budak untuk mendukung pembangunan peradaban besar seperti Kekaisaran Maya dan Aztec, yang kala itu sedang berkembang pesat dan membangun piramida serta punden berundak yang megah.
Untuk mengatasi ancaman perompak, Sang Ratu Wijaya Mahadewi mengambil tindakan dengan memindahkan pusat istana Singhadwala dari Kawista ke Desa Hyang Putih, yang saat ini diperkirakan bernama Desa Bulian. Di Desa Hyang Putih, beliau membangun istana darurat yang diberi nama Puri Candri Manik. Jejak-jejak sejarah Puri Candri Manik ini dapat ditemukan dalam prasasti Raja Pakiran-kiran I Jero Makabehan Srokadan yang berangka tahun Saka 1246 (1324 Masehi). Salah satu isi prasasti tersebut mencatat bahwa penduduk Desa Hyang Putih dibebani tanggung jawab untuk melaksanakan upacara bagi Dewa Candri Manik.
Seiring berjalannya waktu, bekas lokasi Puri Candri Manik berubah menjadi tempat pemujaan yang kini dikenal sebagai Pura Yeh Lesung atau Pura Candri Manik. Di pura ini, Sang Ratu Ajna Dewi, yang dalam kepercayaan masyarakat dipuja sebagai Dewi Suleca atau Dalem Solo, diistankan sebagai dewi pelindung yang membawa berkah. Hingga kini, umat Hindu dari berbagai wilayah datang untuk berdoa, memohon perlindungan, dan mengharapkan panugrahan dari Dewi Suleca di pura ini.
Nista Mandala (Sumber Foto : Koleksi Pribadi)
Pura Candri Manik tidak hanya menjadi situs spiritual yang dihormati, tetapi juga menjadi simbol kebijaksanaan dan kekuatan para leluhur Desa Bulian yang terus dilestarikan oleh generasi penerus. Kehadiran pura ini mengingatkan masyarakat Bali akan sejarah panjang perjuangan dan kebesaran para raja-raja Bali kuno yang membawa perdamaian dan kemakmuran bagi wilayah mereka.
Selain sebagai tempat pemujaan, Pura Candri Manik juga menjadi saksi bisu dari kehidupan spiritual masyarakat Bali yang memegang erat tradisi dan nilai-nilai leluhur. Bagi penduduk Desa Bulian, pura ini bukan hanya sekadar situs suci, melainkan juga pusat kebudayaan dan identitas yang menghubungkan mereka dengan masa lalu. Tradisi upacara dan pemujaan di pura ini terus dijaga turun-temurun, menunjukkan betapa pentingnya rasa hormat terhadap leluhur dan kepercayaan pada kekuatan alam serta dewa-dewa. Dengan latar sejarah yang mendalam, Pura Candri Manik menjadi salah satu destinasi spiritual yang memiliki daya tarik tersendiri, baik bagi masyarakat Bali maupun bagi mereka yang ingin mendalami kebudayaan Bali yang sarat akan makna spiritual.