Alas Jerem: Titik Awal yang Menyimpan Asal Mula Desa Ketewel

Pulau Bali merupakan sebuah surga tropis yang memikat hati dengan keindahan alam dan pesonanya yang memukau serta warisan budayanya yang kaya. Di dalam keajaiban pulau ini, terdapat desa-desa yang menjelma sebagai penjaga warisan kuno dan harta budaya yang tak ternilai. Dalam cakrawala yang indah ini, Desa Adat Ketewel menjadi salah satu desa yang berpegang teguh pada tradisi dan budaya Bali yang autentik.

Sep 28, 2023 - 12:00
Sep 28, 2023 - 09:28
Alas Jerem: Titik Awal yang Menyimpan Asal Mula Desa Ketewel
Desa Adat Ketewel (Sumber: Koleksi Pribadi)

Bali, sering dijuluki sebagai “Pulau Dewata” karena keindahan alamnya yang memukau, budayanya yang kaya, dan desa-desa adatnya yang unik. Salah satu desa yang menyimpan cerita sejarah dan warisan budaya yang mendalam adalah Desa Ketewel. Secara geografis, Desa Ketewel termasuk wilayah Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Provinsi Bali. Desa Ketewel memiliki luas wilayah 6,75 Km2 atau sekitar 1,83 % luas Kabupaten Gianyar dan berada pada posisi 8°38’26”S Lintang Selatan dan diantaranya 115°17’43”E Bujur Timur.

 

Letak geografis Desa Ketewel cukup strategis, terletak dekat dengan pusat kecamatan dan pusat ibu kota provinsi yang merupakan pusat perdagangan. Hal ini membuka peluang bagi perkembangan ekonomi masyarakat Desa Ketewel, terutama dengan adanya sarana transportasi yang baik, termasuk jaringan jalan yang berkualitas dan kendaraan yang memadai. Lebih lanjut, adanya Jalan Bypass yang melewati Ketewel juga membuka peluang untuk pengembangan berbagai sektor ekonomi yang baru.

 

Namun, saat kita melangkah lebih dalam untuk memahami bagaimana Desa Ketewel menjadi apa yang kita kenal saat ini, kita harus merenungi akar-akar sejarah yang panjang. Sejarah desa ini merentang kembali hingga zaman yang jauh, ketika sebuah cerita lama yang mengagumkan menjadi cikal bakal lahirnya Desa Ketewel. Dalam catatan sejarah Raja Purana Payogan Agung Ketewel”, Desa Ketewel berdiri pada kurun waktu Pemerintahan Gelgel.

 

Konon, ada seorang Pasek Prawangsa yang datang ke Bali dari Lembah Tulis Majapahit. Beliau bergelar “Mangku Sang Kulputih” yang menjadi Pamongmong Widhi di Pasar Agung Besakih. Beliau sangat bijaksana dan mendalami filsafat ketuhanan. Mangku Sang Kulputih mempunyai dua orang putra yang bernama I Wayan Pasek dan I Made Pasek, yang masing-masing sudah memiliki keluarga mereka sendiri dan juga memahami ilmu pengetahuan ketuhanan.

 

Mangku Sang Kulputih menjalani perannya sebagai pemimpin spiritual di Pasar Agung Besakih untuk waktu yang lama, dan selama periode ini, Bali merasa aman dan damai. Namun, akhirnya, Mangku Sang Kulputih meninggal dengan cara yang disebut "Moksa", yang berarti membebaskan diri dari siklus kelahiran dan kematian. Setelah kematian Mangku Sang Kulputih, putranya, I Made Pasek, memutuskan untuk meninggalkan Pasar Agung Besakih bersama dengan istri dan anaknya. Mereka mengembara ke dalam hutan, tanpa menyadari bahwa mereka diam-diam diikuti oleh seekor burung perkutut putih.

 

 

Pura Payogan Agung (Sumber: Koleksi Pribadi)

 

Suatu hari, ketika I Made Pasek merasa sangat lelah, burung perkutut putih itu mendekatinya dan memberikan tiga butir biji kuning untuk dimakan. Setelah mengonsumsi biji-biji tersebut, I Made Pasek merasa segar kembali dan melanjutkan perjalanannya. Beliau mengembara dalam hutan selama beberapa tahun, hingga akhirnya tiba di "Alas Jerem" atau hutan Jerem. Di sinilah beliau merasa sangat lelah dan tertidur di tepi hutan. Ketika terbangun, beliau merasa seolah-olah telah bermimpi, tetapi kemudian suara gaib dari langit memberikan pesan kepadanya. Pesan itu datang dari Hyang Pasupati yang memberitahu I Made Pasek untuk menghentikan perjalanannya. Beliau diberi tugas suci untuk menjadi Pamongmong Widhi di Pura Agung di Alas Jerem. Ida Hyang Pasupati merubah status I Made Pasek dari wangsa Pasek menjadi wangsa Dukuh bergelar Dukuh Murti/Dukuh Sakti. Selain itu, beliau diminta untuk melupakan identitas wangsa Pasek-nya yang lama. Setelah menerima pesan dari Hyang Pasupati, Dukuh Murti menerima tugasnya dengan sungguh sungguh. Beliau menjalani kehidupan sebagai pemangku di Pura Payogan Agung di Alas Jerem dan mengabdi kepada Hyang Widhi dengan tekun.

 

Putra Dukuh Murti, yang diberi nama Dukuh Centing, hidup di alas Mercika (Mercika Wana). Dukuh Centing menjalani kehidupan yang sangat spiritual dengan melakukan yoga semadi dan menjalani brahmacari (tidak menikah). Pada hari baik yaitu Soma Wage Dukut, Purnamaning Kasa, Dukuh Murti terpanggil pulang ke alam baka (meninggal dunia) dengan jalan “Moksa” tanpa meninggalkan jasad. Beliau hanya meninggalkan bau harum dan setetes darah untuk meyakinkan putranya Dukuh Centing bahwa beliau dan istrinya telah meninggalkan dunia ini.

 

Pada suatu hari, Dukuh Centing merasa terpanggil untuk kembali ke Alas Jerem dan mengunjungi orang tuanya. Namun, ketika tiba di sana, beliau menemukan keheningan yang aneh. Tiba-tiba, beliau mencium bau harum dari angkasa dan menemukan setetes darah yang memberikan bukti bahwa orang tuanya telah meninggal dunia. Dengan penuh penghormatan, Dukuh Centing mengupacarai darah tersebut dan menguburkan abunya di pekarangan pondok beliau.

 

Beberapa waktu kemudian, Dukuh Centing kembali ke Mercika Wana untuk melanjutkan kehidupan spiritualnya. Namun, pada suatu hari beliau kembali ke Alas Jerem untuk menghadap ke kahyangan Payogan Agung. Setibanya di sana, beliau dikagetkan dengan adanya dua pohon nangka kembar yang tumbuh besar dalam waktu singkat. Selain itu, terdengar suara bayi dari dalam pohon nangka tersebut. Dalam ketakutannya, Dukuh Centing mendengar suara gaib dari angkasa yang memberitahunya bahwa pohon-pohon tersebut adalah tanda bahwa orang tuanya telah menjelma kembali ke dunia ini.

 

Dukuh Centing ditugaskan untuk menebang pohon nangka tersebut yang kemudian akan lahir dua orang bayi laki perempuan. Atas petunjuk dari Ida Hyang Pasupati, anak laki-laki tersebut diberi nama I Gede Mawa yang kemudian bergelar I Gede Ketewel. Sedangkan, anak perempuan diberi nama Ni Mawit Sari. Kedua anak tersebut merupakan punarbhawa/reinkarnasi dari Dukuh Murti lanang istri. Ida Hyang Pasupati memberi izin kepada seluruh keturunan mereka untuk menggunakan nama wangsa Ketewel dan menjadikan Alas Jerem sebuah desa yang dinamakan Desa Ketewel.

 

 

Tari Legong Ratu Dedari (Sumber: Koleksi Pribadi)

 

Pada setiap sudut Desa Ketewel, jejak-jejak masa lalu terus hidup dalam harmoni dengan kehidupan sehari-hari. Tradisi dan seni tari telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan dan budaya di Desa Ketewel. Tarian yang menjadi ekspresi seni yang paling dihormati dan dilestarikan di Desa ketewel adalah “Legong Ratu Dedari” dan “Topeng Ratu Lanang”. Legong Ratu Dedari merupakan sebuah tarian sakral yang ditarikan oleh anak-anak yang belum menginjak usia remaja atau belum menstruasi. Berdasarkan “Raja Purana Payogan Agung Ketewel” bahwa topeng Ratu Dedari dibuat oleh Ki Lampor dari Kerajaan Daha. Topeng Ratu Dedari terbuat dari kayu Jorjenar sebagai persembahan kepada Ida Sang Hyang Pasupati di Gunung Semeru. Ragam Gerak Tari Legong Ratu Dedari diciptakan oleh I Dewa Agung Anom Karna yang terinspirasi dari mimpi dalam yoga semadinya.

 

Gerakan dalam tari Legong Ratu Dedari melukiskan gerakan bidadari yang sedang menari-nari di kahyangan. Tarian ini diiringi oleh gamelan Semar Pegulingan, yang diberi nama “Tabuh Subandar”. Pementasan Tari Legong Ratu Dedari hanya dilakukan pada saat upacara baik puja wali di pura-pura maupun piodalan di rumah-rumah penduduk se-Desa Ketewel. Tari Legong Ratu Dedari berfungsi sebagai penolak bala. Sehingga, apabila di Desa Ketewel terjadi wabah maka masyarakat menghaturkan geti-geti pisang mas kehadapan Ratu Mas Suci Giri Suci dan Ratu Dedari.

 

 

Tari Topeng Ratu Lanang (Sumber: Koleksi Pribadi)

 

Tari Topeng Ratu Lanang merupakan tarian sakral yang hanya ditarikan oleh laki-laki yang telah mewinten dan mepedambel. Topeng Ratu Lanang terbuat dari kayu maya dan dibuat atas perintah Ida Sang Hyang Pasupati kepada Ida Bhatara Gana untuk meniru wajah dari Raja dan Para Mantri di Kerajaan Majapahit. Ketika selesai dibuat, topeng tersebut dipersembahkan kehadapan Ida Sang Hyang Pasupati yang berstana di Pura Payogan Agung. Tari Topeng Ratu Lanang berfungsi sebagai penolak bala dan hanya dapat dipentaskan pada saat upacara Mapedudusan Agung atau Mapedudusan Alit di kahyangan-kahyangan.

 

Desa Ketewel bukan hanya sebuah tempat, melainkan sebuah kisah panjang tentang kebijaksanaan spiritual, pengabdian, dan ketahanan budaya. Desa Ketewel adalah harta yang tak ternilai, menjaga tradisi-tradisi kuno dengan keanggunan yang tak tergoyahkan. Melalui tarian suci seperti Legong Ratu Dedari dan Topeng Ratu Lanang, serta warisan sejarah yang dalam, Desa Ketewel menceritakan cerita indah Bali yang telah berlangsung selama berabad-abad. Setiap kali kita menginjakkan kaki di Desa Ketewel, kita diingatkan akan kekayaan warisan kuno yang tetap mempesona dalam pulau yang sering disebut "Pulau Dewata". Terlepas dari berjalannya waktu, kekayaan budaya dan rohani Desa Ketewel akan terus mempesona mereka yang memasuki pintu gerbangnya, dan menjadi pengingat yang abadi akan keelokan Bali yang memukau.