Dang Hyang Nirartha: Jejak Spiritual Leluhur Brahmana Hindu di Bali
Para keturunan Danghyang Nirartha di Pulau Bali memiliki peran penting dalam mengawal tradisi keagamaan di wilayah tersebut, terutama dalam lingkup Brahmana Siwa. Keturunan-keturunan ini berperan sebagai pengemban dan pembina utama dalam tatanan kehidupan keagamaan di Bali.
Patung Dang Hyang Nirartha di Pura Uluwatu (Sumber Photo: Koleksi Pribadi)
Pada akhir abad ke-15, Kerajaan Majapahit mengalami kehancuran yang disebabkan oleh sejumlah faktor. Selain konflik internal seperti Perang Paregreg untuk merebut kekuasaan di Majapahit, keruntuhan juga dipengaruhi oleh serangan dari Kerajaan Demak yang menganut agama Islam. Beberapa yang termasuk dalam kasta arya dan para rohaniawan memilih pergi ke Bali, di mana pengaruh agama Hindu masih kuat. Mereka mencari perlindungan di Bali untuk melarikan diri dari pengaruh Islam di Jawa. Salah satu tokoh rohaniawan terkenal yang melakukan perpindahan ini adalah Danghyang Nirartha atau Danghyang Dwijendra.
Pada tahun 1489 M, Danghyang Nirartha datang ke Bali selama dharmayatra di masa pemerintahan Raja Sri Dalem Waturenggong. Namun, dia tidak pernah kembali ke Jawa, karena agama Hindu di Jawa sudah terdesak oleh agama Islam. Dia mengajarkan agama Hindu dengan fokus pada Siwa Sidhanta, dengan mengutamakan Tri Purusa, yaitu Paramasiwa, Sadasiwa, dan Siwa. Danghyang Nirartha sangat mengagungkan Sadasiwa, dan itulah mengapa dibuatkan pelinggih khusus bernama Padmasana untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa.
Sebelum tiba di Bali, Danghyang Nirartha awalnya menetap di Kediri, Jawa Timur, di mana dia memiliki dua keturunan dengan Diyah Komala, putri Dang Hyang Panawaran yang berasal dari Daha, yaitu Ida Ayu Swabhawa dan Ida Kemenuh. Keturunan dari Ida Kemenuh kemudian menjadi Brahmana Kemenuh di Bali.
Setelah Kediri, Danghyang Nirartha pindah ke Pasuruan, di mana ia memiliki empat putra dengan Diyah Sangawati putri Dang Hyang Pandawasikan, yaitu bernama Ida Kuluan, Ida Wetan, Ida Ler, dan Ida Lor. Karena latar belakang ibunya dari Manuaba, keturunan mereka kemudian dikenal sebagai Brahmana Manuaba.
Setelah Pasuruan, Danghyang Nirartha pindah ke Blambangan, di mana ia menikahi Patni Keniten yang merupakan adik Sri Aji Juru raja Blamangan dan memiliki anak-anak bernama Ida Istri Rai, Ida Sakti Telaga, dan Ida Kaniten. Keturunan ini dikenal sebagai Brahmana Keniten. Itulah putra-putri Danghyang Nirartha yang beribu dari Jawa, masing-masing dari Daha, Pasuruhan dan Brambangan.
Patung Dang Hyang Nirartha di Griya Bunutan (Sumber Photo: Koleksi Pribadi)
Setibanya di Bali, Danghyang Nirartha menetap di desa Mas, di mana ia menikahi Diyah Ema putri dari Pangeran Mas pemimpin setempat. Dari pernikahan ini, ia memiliki putra, yaitu Ida Timbul atau dikenal dengan nama Ida Alangkajeng, Ida Penarukan, atau Ida Sigaran. Keturunan ini kemudian dikenal sebagai Brahmana Mas. Dalam perjalanannya, Danghyang Nirartha masih memiliki dua orang putra yaitu Ida Patapan ibunya adalah putri Bendesa Gatling Wani, dan Ida Bindu ibunya bernama Ni Berit. Kedua istri beliau ini adalah bekas pelayan Diyah Ema, dan telah pernah mendengarkan ajaran-ajaran kerohanian dari Danghyang Nirartha.
Jadi, putra-putra Danghyang Nirartha masing-masing menetapkan identitas mereka sendiri: Brahmana Kemenuh, Brahmana Manuaba, Brahmana Keniten, Brahmana Mas, dan Brahmana Patapan.
Selanjutnya, putra-putra Danghyang Nirartha di Bali menurunkan keturunannya masing-masing. Untuk Brahmana Manuaba Ida Kuluan menurunkan Pedanda Penida di Wanasari dan Pedanda Temban di Tembau, Pedanda Weser, dan Pedanda Batulumpang. Ida Wetan berputra Pedanda Panida dan Pedanda Tegal Suci di Manuaba. Pedanda Ler berputra Pedanda Teges beribu dari Srijati. Pedanda Lor berputra Pedanda Mambal yang beribu dari Pasuruan. Pedanda Lor juga memiliki istri yang merupakan putri dari I Gusti Dauh Bale Agung yang menurunkan Pedanda Buruan yang bergelar Pedanda Manuaba yang berasrama di Manuaba, Gianyar. Pedanda Sakti Manuaba beristri dari Bajangan, lalu berputra pedanda Gde Taman di Sidawa, Taman Bali, Bangli yang berasrama di bukit Buwung di Sidawa. Pedanda Sakti Manuaba juga beristri putri Gajah Para dari Tianyar, lalu berputra pedanda wayahan Tianyar, Pedanda Nengah Tianyar, dan Pedanda Ketut Tianyar.
Untuk Brahmana Keniten Ida Sakti Telaga berputra Pedanda Gusti. Untuk Brahmana Mas Pedanda Alangkajeng berputra Pedanda Sangsi dan Pedanda Mas. Untuk Brahmana Patapan Ida Patapan berputra Ida Ketut Tabanan dan Ida Kukub di Tabanan serta Ida Ngenjuk di Lombok. Sedangkan Ida Kemenuh, putra Danghyang Nirartha yang tertua dengan keturunannya disebut Brahmana Kemenuh. Sementara itu, Ida Ayu Swabhawa diabadikan di Pura Pulaki dengan nama Dewi Melanting. Sekianlah banyaknya keturunan Danghyang Nirartha di pulau Bali.