Dari Jejak Wayan Rindi hingga Diplomasi Tari Bali: Kiprah Sang Maestro Tari Ni Ketut Arini

Di usia 82 tahun, semangat Ni Ketut Arini untuk melestarikan tari klasik Bali tak pernah surut sedikit pun. Sang maestro tetap setia mendedikasikan hari-harinya untuk mengajar generasi muda secara langsung, memastikan warisan leluhur tetap hidup dan bernapas di tengah perubahan zaman. Sosoknya adalah bukti nyata bahwa pengabdian tulus pada budaya tidak mengenal batas usia.

Dec 14, 2025 - 06:09
Dec 14, 2025 - 11:09
Dari Jejak Wayan Rindi hingga Diplomasi Tari Bali: Kiprah Sang Maestro Tari Ni Ketut Arini
Ni Ketut Arini, sang maestro yang konsisten melestarikan tari klasik Bali. (Sumber Foto : Koleksi Pribadi)

Denpasar siang itu terasa hangat, namun tidak sehangat sambutan yang datang dari sebuah rumah di Gang Soka, Jalan Kecubung. Di sana, seorang perempuan berusia 82 tahun masih tampak begitu energik. Dibalut kebaya kuning cerah dan kamben hijau kecokelatan, sorot matanya masih memancarkan semangat yang menyala-nyala. Beliau adalah Ni Ketut Arini, sosok yang namanya sudah menjadi jaminan mutu dalam dunia tari klasik Bali. Siapa sangka, di balik gerak tubuhnya yang luwes dan penuh taksu, tersimpan kisah perjuangan panjang yang bermula dari sebuah penolakan hingga akhirnya melanglang buana sebagai duta budaya bangsa.

Kisah cinta Ibu Arini dengan seni tari bukanlah cerita yang mulus sejak awal. Lahir di Denpasar pada 15 Maret 1943, Arini kecil sebenarnya sempat diragukan. Keluarganya sendiri awalnya tidak mengizinkan dia menari. Alasannya cukup menyakitkan bagi seorang anak kecil, yakni karena postur tubuhnya yang dianggap kurang menunjang dan warna kulitnya yang agak gelap. Namun, justru keraguan itulah yang menjadi bensin bagi semangatnya. Alih-alih mundur, Arini muda malah semakin terpacu untuk membuktikan diri. Darah seni yang mengalir deras dari sang ayah, I Wayan Saplug (seorang seniman tabuh), serta pengaruh kuat dari maestro tari legendaris yang juga masih kerabat dekatnya, I Wayan Rindi, seolah tak bisa dibendung.

I Wayan Saplug dan Wayan Rindi, dua figur penting dalam perjalanan Ibu Arini (Sumber Foto : Koleksi Pribadi)

Sosok Wayan Rindi memegang peranan yang sangat sentral dalam perjalanan hidup Arini. Sejak usia tiga tahun, Arini kecil sudah sering mencuri pandang saat sang maestro itu mengajar tari. Ia begitu mengagumi figur Rindi yang tidak hanya piawai menari tetapi juga seorang pendidik yang sabar. Rindi mengajarkan filosofi bahwa seorang guru tidak boleh merendahkan muridnya dan harus mengajar dengan hati. Nilai-nilai inilah yang kemudian membentuk karakter Arini. Baginya, menari bukan sekadar gerak raga, melainkan sebuah perjalanan jiwa dan tanggung jawab moral untuk meneruskan warisan leluhur.

Titik balik kehidupan Arini terjadi pada tahun 1957. Saat itu, ia terpilih menjadi penari Sang Hyang Dedari di Banjar Pande, Desa Sumerta Kaja. Ini bukan pencapaian sembarangan. Di masa itu, menjadi penari Sang Hyang Dedari adalah sebuah kehormatan sakral. Penarinya dianggap sebagai bidadari yang disucikan dan sangat dihormati oleh masyarakat. Momen itulah yang menjadi pembuktian Arini kepada dunia bahwa fisik bukanlah penghalang untuk berkarya. Sejak saat itu, jalan hidupnya sebagai penari profesional terbentang luas. Ia memperdalam ilmunya secara akademis di KOKAR Bali (sekarang SMKI) dan STSI Denpasar, serta berguru pada nama-nama besar lain seperti I Nyoman Kaler yang mendidiknya dengan disiplin keras namun penuh kasih.

Reputasi Arini kian meroket sebagai maestro tari Condong, sebuah peran pembantu putri raja yang selalu hadir dalam drama tari Bali seperti Legong, Gambuh, dan Arja. Tak hanya itu, ia juga dikenal sebagai penyelamat tari Legong Klasik yang nyaris punah. Bayangkan saja, dari empat belas gaya tari Legong yang ada di Bali, Arini menguasai enam di antaranya dengan sangat fasih, mulai dari Legong Pelayon, Lasem, Kuntul, Kuntir, Jobog, hingga Semarandhana. Keenam tarian langka ini bahkan telah didokumentasikan pada tahun 2010 sebagai bahan ajar bagi generasi penerus di ISI Denpasar, memastikan bahwa warisan tersebut tidak akan hilang ditelan zaman.

Suasana Latihan di Sanggar Tari Warini (Sumber Foto : Koleksi Pribadi)

Kecintaan Arini pada dunia pendidikan tari mewujud nyata dengan berdirinya Sanggar Tari Warini pada tahun 1973. Nama "Warini" sendiri memiliki makna historis yang mendalam, merupakan gabungan dari nama sang guru, Wayan Rindi, dan namanya sendiri "Arini". Di sanggar inilah ia menerapkan metode pengajaran yang unik. Arini tidak suka menggunakan hitungan angka satu-dua-tiga dalam mengajar gerakan. Ia lebih memilih menggunakan iringan gamelan dan gong secara langsung. Baginya, menari adalah soal rasa. Dengan mendengar musik, murid-muridnya akan otomatis merasa sedang menari, bukan sedang menghafal matematika gerak. Pendekatan ini terbukti ampuh membuat anak-anak lebih bersemangat dan menari dengan jiwa, bukan sekadar teknik kosong.

Kiprahnya tak hanya berhenti di kandang sendiri. Sejak tahun 1965, Arini telah aktif menjalani misi kebudayaan ke berbagai negara. Bersama murid-muridnya, ia melintasi benua, dari Jepang, Amerika Serikat, hingga ke negara-negara Eropa seperti Swiss. Ia bukan sekadar menari, melainkan melakukan diplomasi budaya, memperkenalkan wajah Indonesia yang ramah dan berseni tinggi kepada masyarakat dunia. Ia bahkan berkolaborasi dengan seniman asing untuk merevitalisasi karya-karya gurunya yang sempat hilang dari peredaran.

Momen wawancara penulis bersama Ibu Arini di Sanggar Warini. (Sumber Foto : Koleksi Pribadi)

Saat berbincang santai di sanggarnya, terasa sekali betapa besarnya harapan Ibu Arini terhadap anak-anak muda zaman sekarang. Pesan beliau sangat sederhana namun menohok. Beliau tidak ingin tari Bali hanya berhenti di panggung perlombaan atau ujian sekolah. Ibu Arini ingin generasi muda benar-benar mencintai tari Bali dan mengimplementasikannya dalam kehidupan nyata. Baginya, puncak dari belajar tari adalah ketika seorang penari bisa "ngayah" atau mempersembahkan tariannya secara tulus dalam upacara keagamaan di pura, serta turut andil dalam memajukan pariwisata Bali.

Kini, di usianya yang sudah senja, Ni Ketut Arini telah melampaui pencapaian materi. Ia sedang menjalani perjalanan spiritual melalui seni. Menari baginya adalah bentuk meditasi dan doa. Sanggar Tari Warini yang ia asuh bukan sekadar tempat latihan, melainkan kawah candradimuka untuk mencetak generasi yang tidak hanya pandai meliuk-liukkan tubuh, tetapi juga memiliki etika dan cinta kasih terhadap budaya sendiri. Arini adalah bukti nyata bahwa ketekunan, rasa cinta, dan bakti kepada leluhur akan membuahkan hasil yang manis, sebuah warisan tak ternilai bagi Indonesia.