Eda Ngaden Awak Bisa: Pesan Pupuh Ginada untuk Rendah Hati

Pupuh Ginada merupakan warisan sastra lisan Bali yang sarat pesan moral, khususnya tentang kerendahan hati, kesopanan, dan kebijaksanaan dalam bersikap. Bait terkenalnya, “Eda ngaden awak bisa, depang anake ngadanin”, mengingatkan agar tidak sombong dan membiarkan orang lain menilai kemampuan kita. Pupuh ini mengajarkan bahwa ilmu tidak ada habisnya, sehingga manusia perlu terus belajar sambil menjaga tutur kata dan sikap sopan. Pesan sederhana namun mendalam ini tetap relevan hingga kini, menjadi pedoman hidup lintas generasi di tengah arus modernitas.

EgyEgy
Dec 20, 2025 - 06:44
Dec 6, 2025 - 11:17
Eda Ngaden Awak Bisa: Pesan Pupuh Ginada untuk Rendah Hati
Orang Tua yang sedang membacakan Lontar (Sumber Foto : Ilustrasi AI)

Pupuh Ginada dalam tradisi Bali bukan hanya sekadar tembang, melainkan warisan sastra lisan yang sarat pesan moral. Bait terkenalnya, “Eda ngaden awak bisa, depang anake ngadanin” mengajarkan pentingnya kerendahan hati, kesopanan, dan bijak dalam bersikap. Pesan sederhana namun mendalam ini telah menjadi pedoman hidup masyarakat Bali lintas generasi. Ia menegaskan bahwa kehebatan seseorang tidak diukur dari pengakuannya sendiri, melainkan dari sikap santun yang dirasakan dan dihargai orang lain. Pupuh Ginada pun bukan hanya sekadar tembang, melainkan sebuah tuntunan hidup yang tetap relevan di era modern.

Gunung yang menjulang dan padi yang merunduk sebagai simbol kebesaran dan kerendahan hati (Sumber Foto : Ilustrasi AI)

Pupuh Ginada, sebuah warisan luhur dari sastra Bali yang sarat makna kehidupan. Bait-baitnya bukan sekadar rangkaian kata indah, melainkan nasihat bijak yang diwariskan leluhur untuk generasi penerus. Dalam setiap lariknya, Pupuh Ginada mengajarkan kita untuk menundukkan hati, menjauhkan diri dari kesombongan, dan menata tutur kata dengan penuh kesopanan. Pesan sederhana namun mendalam itu selalu relevan, baik di masa lalu maupun di era modern saat ini. Sebagaimana angin yang berhembus lembut tanpa suara, demikian pula hendaknya manusia: hadir membawa manfaat tanpa banyak bicara, dihargai bukan karena pamer, tetapi karena kerendahan hati dan sikap santun. Seperti padi yang semakin merunduk ketika butirnya semakin berisi di kaki gunung yang kokoh, kebesaran sejati terletak pada kerendahan hati, bukan pada kesombongan.

Berbicara tentang sastra dan seni Bali, tentu tidak bisa dilepaskan dari keberadaan pupuh. Pupuh merupakan bentuk karya sastra tradisional yang dilantunkan dalam bentuk tembang, berisi ajaran moral dan etika yang diwariskan secara turun-temurun. Salah satu pupuh yang paling populer dan sering dikutip dalam kehidupan sehari-hari adalah Pupuh Ginada.

Pengajaran penuh hormat antara guru dan murid, simbol kerendahan hati dan kebijaksanaan (Sumber Foto : Ilustrasi AI)

Pupuh Ginada memiliki keistimewaan tersendiri karena isinya sederhana, mudah diingat, namun penuh dengan pesan kehidupan. Bait terkenalnya berbunyi:

De ngaden awak bisa
Depang anake ngadanin
Geginane buka nyampat
Anak sai tumbuh luu
Ilang luu buka katah
Yadin ririh liu nu peplajahan

Bila diterjemahkan, bait ini berarti: “Jangan merasa diri paling bisa, biarkan orang lain yang menilai. Yang terpenting bukan banyak bicara, melainkan tutur kata yang sopan dan sikap yang santun.” Pesannya menekankan bahwa jangan mengira diri sudah pintar, biarlah orang lain yang menilai diri kita. Ibarat kita sedang menyapu, sampah akan selalu ada terus-menerus, dan sekalipun habis masih ada debu yang tertinggal. Demikian pula dengan ilmu, biarpun kita sudah merasa pintar, masih akan selalu ada hal-hal baru yang harus dipelajari.

Seperti halnya lagu Putri Cening Ayu yang menenangkan hati anak-anak, Pupuh Ginada pun menjadi pengingat yang menenangkan jiwa orang dewasa. Di era media sosial, ketika banyak orang cenderung menonjolkan pencapaian diri, pupuh ini menasihati agar kita tidak larut dalam kesombongan. Dalam dunia kerja, pupuh ini mengajarkan pentingnya sikap rendah hati dan sopan santun untuk membangun hubungan yang harmonis.

Seorang Pria yang sedang menyapa orang yang lebih tua (Sumber Foto : Ilustrasi AI)

Pupuh Ginada membuktikan bahwa ajaran leluhur Bali bersifat abadi. Nilainya tidak lekang oleh waktu, selalu relevan, dan bisa menjadi pedoman hidup. Ia mengingatkan kita bahwa kecerdasan sejati bukan hanya tentang pengetahuan atau keterampilan, melainkan juga tentang budi pekerti dan kerendahan hati.

Pesan yang begitu mendalam hadir dalam Pupuh Ginada. Dengan bahasa yang sederhana dan lugas, pupuh ini mampu menyentuh hati siapa saja yang mendengarnya. Itulah keunikan Pupuh Ginada, ia tidak rumit, tetapi penuh makna yang relevan sepanjang masa. Melalui bait-baitnya, kita diajak untuk belajar rendah hati, menjaga tutur kata, serta menata sikap agar selalu sopan. Sungguh bijak bagaimana leluhur Bali menggunakan seni tembang sebagai media untuk menanamkan nilai moral.