Lebih dari Sekadar Tebakan: Cecimpedan sebagai Cermin Budaya Bali

Cecimpedan adalah teka-teki tradisional Bali yang menghadirkan hiburan sekaligus nilai pendidikan. Tradisi ini mencerminkan cara hidup masyarakat melalui humor dan permainan bahasa. Nilai kearifan lokal terekam dalam susunan kata yang sederhana namun sarat makna. Keberadaan cecimpedan memperkaya warisan budaya lisan dan menjaga kesinambungan generasi. Lebih dari sekadar permainan, cecimpedan menjadi media yang menghubungkan hiburan, pengetahuan, dan kebudayaan Bali.

Nov 22, 2025 - 01:35
Nov 21, 2025 - 20:24
Lebih dari Sekadar Tebakan: Cecimpedan sebagai Cermin Budaya Bali
Brondres, lawak tradisional dengan cecimpedan (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Teka-teki sering dianggap hanya permainan ringan, padahal di balik setiap pertanyaan tersimpan jejak budaya dan cara pandang masyarakat. Begitu pula dengan cecimpedan di Bali, yang bukan sekadar bahan candaan, tetapi juga sarana mengasah nalar, menyampaikan sindiran, bahkan merekam kearifan lokal. Kata cecimpedan berasal dari kata dasar cimped yang berarti “terkaan”. Bentuk ini kemudian direduplikasikan (di dwipurwakan) menjadi cecimped dan mendapat akhiran -an, sehingga terbentuk kata cecimpedan yang berarti “terka-terkaan” (bade-badean).

 

Anak-anak sedang bermain cecimpedan (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

 

Dalam tradisi Bali, dikenal tiga jenis cecimpedan. Cecimpedan alit-alit digunakan oleh anak-anak dengan bentuk singkat, sederhana, dan biasanya bersajak. Selain menghibur, jenis ini memperkaya kosakata dan melatih daya pikir sejak usia dini. Contohnya, pertanyaan “Apa cing-dag?” dijawab dengan “Cicing medemin bodag” (anjing mengubur bangkai). Jenis kedua adalah cecimpedan biasa, yang dipakai oleh masyarakat berusia di atas sepuluh tahun. Teka-teki ini lebih rumit dan menuntut pengetahuan luas, seperti pertanyaan “Apa anak cerik maid cacing?” dengan jawaban jarum, atau “Apa ke mirah asibuh?” dengan jawaban delima. Selanjutnya terdapat cecangkriman, yaitu cecimpedan berbentuk syair atau tembang yang kerap dinyanyikan untuk menidurkan anak. Salah satu contohnya berbunyi:

Nyrekukut,

Majempong ya biana sengguhu,

Masisik dong naga,

Matapuk boya ya manggis,

Tur macunguh,

Nanging tusing bisa ngungas.

Dengan jawabanya yaitu manas (nanas). Bentuk ini bukan sekadar pengantar tidur, melainkan juga sarana melatih kepekaan anak terhadap simbol bahasa. Kehadiran ketiga jenis ini membuktikan bahwa cecimpedan bukan milik satu kelompok umur saja, tetapi hadir dan hidup dalam setiap lapisan masyarakat.

 

Bondres Bali dengan sisipan cecimpeddan (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

 

Pada masa lalu, cecimpedan hadir dalam permainan, percakapan santai, maupun ajang adu kecerdikan. Tradisi ini mempererat hubungan sosial karena berlangsung secara lisan dan akrab. Dalam perkembangannya, cecimpedan juga mendapat ruang dalam seni pertunjukan, salah satunya dalam bondres. Seni lawak tradisional Bali tersebut menampilkan dialog jenaka yang sering diselipi peribahasa, teka-teki, bahkan cecimpedan. Fungsinya serupa, yakni menghibur penonton sekaligus menyampaikan sindiran atau pesan moral melalui humor yang mudah dipahami. Kehadiran cecimpedan dalam bondres makek membuktikan bahwa teka-teki bukan hanya bagian dari percakapan sehari-hari, melainkan juga media seni dan kritik sosial yang hidup di tengah masyarakat.

 

Struktur cecimpedan terdiri atas dua unsur utama, persoalan dan solusi. Persoalan biasanya diawali kata tanya, dilanjutkan subjek dan predikat, serta kadang ditutup formula akhir sebagai penegasan. Solusi dapat berupa kata tunggal, kata majemuk, atau kalimat singkat. Dalam praktiknya, satu jawaban dapat muncul dari berbagai pertanyaan, dan sebaliknya, satu pertanyaan dapat mengarah pada beberapa jawaban. Pola tersebut memperlihatkan kelenturan bahasa Bali dalam mengolah kata dan makna.

 

Permainan bahasa menjadi daya tarik utama cecimpedan. Bentuk yang paling banyak digunakan adalah analogi, baik visual, auditif, olfaktori, taktil, maupun fungsional. Selain itu, terdapat pula penggunaan polisemi dan personifikasi. Kreativitas dalam mengolah bahasa menjadikan pengalaman sehari-hari berubah menjadi pertanyaan yang memancing rasa ingin tahu sekaligus tawa.

 

Tradisi lisan Bali tumbuh Bersama anak-anak (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

 

Cecimpedan pada akhirnya lebih dari sekadar hiburan. Tradisi ini merupakan cermin budaya yang merekam pengalaman kolektif masyarakat Bali. Tema tentang hasil bumi, makanan, dan aktivitas rumah tangga menegaskan akar agraris, sementara kehadiran unsur budaya Eropa memperlihatkan jejak pertemuan budaya akibat kolonialisme. Dengan demikian, setiap cecimpedan bukan hanya permainan, melainkan potret kecil sejarah dan nilai sosial masyarakat Bali.

 

Sebagai warisan budaya lisan, cecimpedan menyimpan nilai yang patut dilestarikan. Di dalamnya terkandung kreativitas bahasa, gambaran kehidupan, serta rekaman interaksi budaya. Pelestarian tradisi ini tidak hanya menjaga identitas Bali, tetapi juga memperkaya khazanah sastra lisan Nusantara. Keberlanjutan cecimpedan dalam percakapan, pendidikan, maupun seni pertunjukan seperti bondres akan menjaga keindahan bahasa sekaligus kebijaksanaan budaya yang menyertainya.

 

Daftar Pustaka

Tinggen, I. N. (2005). Cecimpedan lan beladbadan. Singaraja: Indra Jaya.

Temaja, I. G. B. W. B. (2018). Cecimpedan: teka-teki dalam bahasa Bali. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Jakarta.