Pelestarian Aksara Bali pada Nama Jalan dan Bangunan: Kebijakan Gubernur sebagai Wujud Penguatan Identitas Budaya Bali
Kebijakan Gubernur Bali melalui Peraturan Gubernur No. 80 Tahun 2018 mewajibkan penggunaan aksara Bali pada papan nama jalan, gedung, fasilitas umum, hingga lembaga pendidikan. Aturan ini menempatkan aksara Bali di atas huruf Latin dengan proporsi seimbang, sehingga ruang publik menjadi media pelestarian budaya. Tujuannya bukan sekadar administratif, melainkan untuk memperkuat identitas Bali, menumbuhkan kebanggaan masyarakat, serta mengenalkan aksara Bali kepada generasi muda dan wisatawan.

Coba bayangkan Anda berjalan di Denpasar pada suatu sore. Jalanan ramai, papan nama toko berjejer, lalu pandangan Anda tertumbuk pada sebuah papan jalan. Huruf Latin terpampang jelas, tapi di atasnya terdapat barisan huruf yang bagi banyak orang asing terlihat seperti ornamen eksotis dari masa lampau. Itulah aksara Bali, aksara yang dulu hanya ramai di lontar, pura, atau buku pelajaran sekolah, kini mulai bangkit, hadir di setiap sudut ruang publik.
Aksara Bali pada Fasilitas Publik (Sumber: Koleksi Pribadi)
Kebangkitan ini bukan kebetulan. Ada satu kebijakan penting yang mengubah wajah ruang publik Bali, yaitu Peraturan Gubernur Bali Nomor 80 Tahun 2018 tentang Pelindungan dan Penggunaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali. Peraturan yang disahkan Gubernur Wayan Koster pada 26 September 2018 ini memuat aturan yang sederhana tetapi berdampak besar. Aturan ini menyatakan bahwa Aksara Bali wajib ditulis di papan nama jalan, bangunan, gedung pemerintahan, fasilitas publlik, hingga sarana pariwisata. Aturannya jelas, aksara Bali harus ditempatkan di atas huruf Latin, dan ukuran penulisannya harus seimbang agar terbaca.
Aksara Bali pada Fasilitas Persembahyangan Umat Hindu (Sumber: Koleksi Pribadi)
Mengapa papan nama? Karena ruang publik adalah panggung paling efektif untuk melestarikan sesuatu yang hampir hilang. Bahasa dan aksara tidak akan bertahan hanya di ruang akademik atau museum. Melainkan harus hadir di tempat orang berjalan kaki, di depan sekolah, di jalan raya yang dilalui motor setiap hari. Ketika siswa SMA (Sekolah Menengah Atas) berangkat sekolah lalu membaca papan nama dengan aksara Bali, tanpa sadar mereka sedang berinteraksi dengan warisan leluhur. Begitu juga wisatawan asing, yang mungkin tidak bisa membacanya, tetapi akan tahu bahwa Bali punya identitas yang unik dan berbeda dari destinasi lain di dunia.
Aksara Bali pada Gedung Gubernur Bali (Sumber: Koleksi Pribadi)
Tentu, kebijakan ini bukan sekadar mengganti papan nama lama dengan yang baru. Ada strategi besar di baliknya. Pemerintah Provinsi Bali membentuk Lembaga Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali yang melibatkan akademisi, budayawan, hingga seniman. Lembaga ini memberi rekomendasi teknis, mulai dari standar penulisan, tata letak papan, hingga program pembinaan. Bahkan, pemerintah menetapkan Bulan Bahasa Bali setiap Februari sebagai ajang merayakan bahasa dan aksara dengan lomba, seminar, hingga pameran. Di sinilah politik kebudayaan terasa, tidak hanya lewat aturan tertulis, tetapi lewat momentum yang menghidupkan aksara Bali di hati masyarakat, terutama generasi muda.
Namun, perjalanan ini tidak tanpa tantangan. Banyak papan nama lama harus diganti, biaya tidak sedikit, dan tidak semua orang bisa menulis aksara Bali dengan benar. Di beberapa desa, papan nama dibuat seadanya, aksara Bali hanya jadi hiasan, tanpa pedoman baku. Di sinilah pentingnya edukasi dan pembinaan. Pemerintah menegaskan bahwa proporsi aksara dan huruf Latin harus berimbang, tidak boleh sekadar ditempel seperti aksesoris. Karena tujuan akhirnya bukan mempercantik, melainkan menghidupkan kembali keterampilan membaca dan menulis aksara Bali di tengah masyarakat.
Aksara Bali pada Papan Jalan (Sumber: Koleksi Pribadi)
Dampak kebijakan ini mulai terasa. Jalan-jalan di pusat kota kini dihiasi papan nama ganda. Gedung sekolah menampilkan identitasnya dalam aksara Bali di pintu masuk. Prasasti peresmian pun ditulis dengan dua huruf: Latin dan Bali. Kehadiran aksara di ruang publik memicu rasa bangga. Anak-anak mulai bertanya pada guru, “Bu, ini bunyinya apa?” Wisatawan mengambil foto papan nama jalan bukan hanya sebagai petunjuk arah, tetapi juga sebagai bagian dari pengalaman budaya. Lambat laun, aksara Bali tidak lagi dianggap kuno, melainkan keren, karena hadir dalam kehidupan sehari-hari.
Lebih dari itu, kebijakan ini memberi pesan penting, modernitas dan tradisi bisa berjalan beriringan. Bali bisa membangun jalan, hotel, dan fasilitas pariwisata modern tanpa harus kehilangan jati diri. Justru dengan aksara Bali di papan nama, semua pembangunan itu memiliki akar, tidak melayang-layang dalam globalisasi. Aksara menjadi jangkar budaya, penanda bahwa tanah ini memiliki sejarah dan identitas yang tak ternilai.
Aksara Bali pada Bangunan Sekolah (Sumber: Koleksi Pribadi)
Mungkin tantangan berikutnya adalah konsistensi. Apakah semua kabupaten dan kota akan patuh? Apakah papan nama akan dibuat dengan kualitas baik, bukan asal jadi? Apakah generasi muda akan terdorong belajar menulis dan membaca aksara, atau cukup puas hanya melihatnya? Semua pertanyaan itu masih terbuka. Tapi satu hal sudah jelas, lewat kebijakan ini, aksara Bali tidak lagi berdiam di lontar tua, melainkan kembali ke jalan-jalan, gedung, dan ruang publik yang sehari-hari kita tempati.
Pada akhirnya, pelestarian aksara Bali lewat papan nama adalah tentang kebanggaan kolektif. Kebijakan ini bukan hanya simbol administratif, melainkan cara sederhana namun efektif untuk mengatakan kepada dunia, “Bali berbeda, Bali punya bahasa sendiri, dan Bali bangga menampilkannya”. Inilah wajah baru ruang publik Bali. Modern, tetapi tetap berpijak pada identitas leluhur.
Sumber Referensi:
Pemerintah Provinsi Bali. (2018). Peraturan Gubernur Bali Nomor 80 Tahun 2018 tentang Pelindungan dan Penggunaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali serta Penyelenggaraan Bulan Bahasa Bali. Denpasar: Pemerintah Provinsi Bali.