Guling Siyu: Persembahan Ribuan Babi dalam Ritual Usaba Sumbu Desa Timbrah, Karangasem

Guling Siyu adalah tradisi persembahan ribuan babi guling dalam ritual Usaba Sumbu di Desa Timbrah, Karangasem. Persembahan ini wujud rasa syukur kepada Tuhan atas hasil bumi dan kesuburan lahan. Tradisi ini mencerminkan kebersamaan warga melalui gotong-royong dan berbagi (ngejot). Selain itu, tradisi ini juga berdampak positif pada perekonomian desa. Guling Siyu menjadi simbol harmoni antara manusia, alam, dan Sang Pencipta.

Jan 27, 2025 - 08:32
Jan 4, 2025 - 22:06
Guling Siyu: Persembahan Ribuan Babi dalam Ritual Usaba Sumbu Desa Timbrah, Karangasem
Tradisi Guling Siyu (Sumber: Koleksi Pribadi)

Tradisi Guling Siyu menjadi salah satu elemen utama dalam perayaan Usaba Sumbu, sebuah ritual adat masyarakat Desa Timbrah, Karangasem. Guling Siyu secara harfiah berarti "seribu babi guling," sebuah persembahan khas yang telah menjadi warisan budaya dan bentuk penghormatan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa).

Guling dalam tradisi ini merujuk pada babi utuh yang perutnya diisi bumbu tradisional, dijahit kembali, lalu dibakar dengan cara diputar-putar di atas bara api. Kata "Siyu" yang berarti seribu melambangkan jumlah babi guling yang dipersembahkan oleh warga. Persembahan ini mencerminkan rasa syukur atas hasil bumi yang melimpah dan kesuburan lahan pertanian, khususnya padi, sebagai sumber utama kehidupan masyarakat Desa Timbrah.

Guling Siyu (Sumber: Koleksi Pribadi)

Usaba Sumbu adalah salah satu upacara adat keagamaan yang berasal dari Kabupaten Karangasem, Bali. Tradisi ini dilaksanakan di beberapa Desa Pakraman, salah satunya Desa Timbrah, Desa Pertima, Kecamatan Karangasem. Yang membuat tradisi ini unik adalah kehadiran Tradisi Guling Siyu, sebuah ritual warisan leluhur yang telah dilestarikan secara turun-temurun oleh masyarakat setempat.

Selain ribuan babi guling sebagai sarana persembahan, Usaba Sumbu juga ditandai oleh kehadiran "Sumbu," simbol yang melambangkan hubungan antara Buana Agung (makrokosmos) dan Buana Alit (mikrokosmos). Sumbu ini dibuat secara bergilir oleh warga Pauman yang memiliki anak gadis (deha). Sumbu yang dihias mencapai tinggi 25 meter ini dibuat dengan penuh estetika menggunakan berbagai bahan seperti bunga lengkuas, rerenteng, reringgitan naga sari, hingga jajanan tradisional.

Guling Siyu (Sumber: Koleksi Pribadi)

Upacara dimulai dengan Nuur Prawayah, yaitu pengaturan upacara secara adat, diikuti oleh ngoreng bahan sumbu (membuat pelengkap sesajen), dan melasti atau pensucian pratima ke pantai Pasir Putih. Puncaknya adalah Nyujukang Sumbu, yakni mendirikan Sumbu di Pura Panti Kaler, dan dua hari kemudian di Pura Bale Agung. Pada sore hari, warga membawa sesajen berupa babi guling ke pura sebagai persembahan.

Rangkaian selanjutnya adalah Usaba Sumbu Kelod, yang diawali dengan ritual mebiasa di mana jempana (simbol Bhatara) diarak mengelilingi desa. Ritual ini melibatkan berbagai pihak seperti prabagus, pragaluh, bapa desa, kubayan, dan krama desa. Setelahnya, digelar tradisi mebarang, di mana teruna adat memperebutkan Jempana sebagai bentuk penghormatan dan pelestarian budaya. Perayaan ditutup dengan nyimpen, yaitu penyimpanan pratima di Pura Bale Agung, dan disemarakkan oleh Tari Rejang Timbrah yang ditarikan semalam suntuk oleh para gadis desa.

Tradisi ini tidak hanya menjadi cerminan keagamaan, tetapi juga memiliki nilai budaya, persaudaraan, dan ekonomi. Nilai budaya tampak dari pelestarian tradisi sebagai identitas masyarakat Desa Timbrah. Nilai persaudaraan tercermin dari tradisi ngejot, yaitu berbagi kepada sesama, terutama bagi mereka yang kurang mampu. Dari sisi ekonomi, permintaan akan babi dan ternak lainnya meningkat, sehingga mendorong masyarakat untuk membuka usaha peternakan yang secara tidak langsung mendukung perekonomian setempat.

Usaba Sumbu dengan Tradisi Guling Siyu adalah simbol harmoni masyarakat Desa Timbrah dengan alam, Tuhan, dan sesamanya, yang menjadikan tradisi ini sebagai warisan budaya yang berharga.