I Watugunung : Sosok Dibalik Rangkaian Hari Raya Suci Saraswati yang Mencintai dan Ingin Menikahi Ibunya Sendiri

Kisah I Watugunung merupakan salah satu kisah paling terkenal di Bali. Kisah ini menceritakan sosok bernama I Watugunung yang mencintai dan ingin menikahi ibu kandungnya sendiri. Kisah ini juga yang menjadi cikal bakal dari rangkaian hari Raya Suci Saraswati yang jatuh pada hari Sabtu Wuku Watugunung. Watugunung dengan kekuatannya yang tak tertandingi sangat gemar merampok, mengalahkan kelompok penyerang yang sangat hebat, serta menaklukkan banyak kerajaan termasuk kerajaannya terdahulu yaitu Kerajaan Kundadwipa, tempat di mana ia mulai mencintai ibunya sendiri.

Apr 27, 2024 - 00:55
Dec 27, 2023 - 21:03
I Watugunung : Sosok Dibalik Rangkaian Hari Raya Suci Saraswati yang Mencintai dan Ingin Menikahi Ibunya Sendiri
Patung Dewi Saraswati (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Hari raya saraswati adalah salah satu hari raya suci yang dirayakan setiap 210 hari sekali oleh umat beragama Hindu. Pada hari ini, umat hindu melakukan pemujaan pada Dewi Saraswati sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan karena hari raya Saraswati dimaknai sebagai hari turunnya ilmu pengetahuan. Ternyata, hari raya saraswati erat kaitannya dengan cerita seorang anak yang jatuh cinta dan berniat menikahi ibu kandungnya sendiri. Anak itu bernama I Watugunung. Mungkin banyak yang sudah familiar dengan kata Watugunung, karena Watugunung merupakan wuku terakhir dari siklus 210 hari dalam penanggalan Jawa dan Bali yang tiap wukunya memiliki umur 7 hari.

I Watugunung (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Dalam lontar Medang Kemulan, disebutkan ada sebuah kerajaan bernama Kundadwipa. Kerajaan ini dipimpin oleh Raja Kulagiri yang memiliki dua orang permaisuri yaitu Dewi Sintakasih dan Dewi Sanjiwartia. Suatu ketika Raja Kulagiri sedang bertapa di Gunung Semeru dan meninggalkan istrinya, Dewi Sintakasih yang sedang mengandung. Akhirnya, Dewi Sintakasih memutuskan untuk menyusul Raja Kulagiri ke Gunung Semeru. Namun ternyata, di tengah perjalanan, Dewi Sintakasih melahirkan tepat di atas batu besar yang datar dan bayi yang dilahirkannyapun terjatuh. Anehnya, sang bayi tak cacat sedikitpun dan justru batu yang ditimpa oleh bayi tersebut kemudian terbelah menjadi dua bagian. Bayi inilah yang kemudian akan dikenal dengan nama I Watugunung.

Sejak masih bayi, Watugunung telah menunjukkan kebesaran kehendak dan nafsunya yang melebihi batas normal, yang ditandai dengan kuatnya napsu makan yang makin hari makin meningkat. Karena nafsu makannya yang tinggi, ibunya sering merasa kewalahan untuk meladeninya. Hingga suatu hari, Watugunung meminta makanan dan ibunya yang kewalahan tidak mampu menahan emosinya. Oleh karenanya, kepala Watugunung dipukul oleh ibunya dengan sendok nasi hingga kepalanya luka dan berdarah. Akibat kejadian itu Watugunung memutuskan untuk pergi meninggalkan istana.

Dalam perjalanannya meninggalkan istana, ia mengembara dan bertapa untuk memohon kesaktian yang sangat hebat.  Dengan kesaktian dan kekuatan  yang ia dapatkan, Watugunung berbuat seenaknya terutama dalam hal makanan. Watugunung gemar merampok makanan rakyat dan langsung memakannya. Seluruh lapisan kekuatan daerah merasa gelisah dan menyerang Watugunung dengan memukulnya menggunakan berbagai macam senjata dan mengepung serta menyerangnya dari segala arah. Namun sayang tidak ada satupun serangan dan senjata yang dapat melukai Watugunung. Watugunung kemudian menjadi sangat sombong dan angkuh, ia terus melakukan aksinya untuk merebut makanan, melakukan penyerangan, dan menghancurkan kelompok-kelompok penyerang yang hebat itu.

I Watugunung Menyerang Warga (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Watugunung yang diberkati dengan kekuatan tak tertandingi menaklukkan semua kerajaan yang ia temui termasuk kerajaannya terdahulu, Kerajaan Kundadwipa. Dengan menaklukkan Kundadwipa, ia berpikir untuk menikahi sang permaisuri kerajaan, yaitu Dewi Sintakasih yang merupakan ibu kandungnya sendiri. Dewi Sintakasih yang melihat tanda-tanda bahwa anak muda yang menaklukkan kerajaan tersebut adalah anaknya sendiri kemudian mencari akal untuk menyingkirkan Watugunung. Dewi Sintakasih selanjutnya meminta Watugunung untuk menyerang surga loka terlebih dahulu sebelum menikahi dirinya. Watugunung yang merasa angkuh akan kekuatannya namun tidak memiliki pengetahuan kemudian mencoba menyerang surga loka.  Tentu saja, Watugunung dapat dengan mudah dikalahkan oleh para dewa dan tubuhnya kemudian jatuh ke bumi.

Hari ketika tubuh Watugunung jatuh ke bumi selanjutnya dikenal dengan hari Watugunung Runtuh atau Kajeng Kliwon Pamelastali. Menurut mitos yang beredar di masyarakat Bali, apabila terjadi hujan dihari Kajeng Kliwon Pamelastali, maka dipercaya tubuh watugunung itu jatuh di darat. Hal ini disebabkan karena permohonan Watugunung yaitu apabila ia dijatuhkan di darat maka guyurlah bumi dengan hujan agar dirinya tidak kepanasan. Sebaliknya, apabila tidak terjadi hujan atau langit sedang terang benderang, maka dipercaya tubuh Watugunung jatuh di laut sehingga dengan adanya panas yang terik ia tidak akan merasa kedinginan.

I Watugunung dan Ibunya, Dewi Sintakasih (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Tubuh Watugunung selanjutnya berubah menjadi mayat atau orang Bali biasa menyebutnya dengan watang. Sehingga hari Senin Wuku Watugunung juga dikenal dengan sebutan Soma Candung Watang. Sebagai seorang ibu, Dewi Sintakasih merasa kasihan dengan anaknya sehingga ia memohon kepada para dewa untuk menghidupkannya kembali. Keesokan harinya, mayat Watugunung diseret atau dipaid untuk dihidupkan kembali, sehingga hari Selasa Wuku Watugunung dikenal sebagai Anggara Paid-Paidan.

Pada hari Rabu, para dewa menghidupkan kembali I Watugunung sehingga hari Rabu Wuku Watugunung dikenal dengan sebutan Buda Urip. Setelah dihidupkan kembali, Watugunung diberikan tenaga dan beristirahat sejenak atau mategtegan. Sehingga hari Kamis Wuku Watugunung dikenal sebagai Wrespati Panegtegan. Watugunung selanjutnya melakukan pembersihan diri, melakuan tapa brata, memohon ilmu pengetahuan, dan diajarkan sopan santun serta cara menghormati para dewa yang penuh pengetahuan. Oleh karena itu, hari Jumat Wuku Watugunung dikenal dengan sebutan Sukra Pangredanan.

Dewa kemudian menurunkan ilmu pengetahuan yang selanjutnya dirayakan sebagai hari “Saraswati” yang jatuh pada hari Sabtu Wuku Watugunung. Umat Hindu merayakan turunnya ilmu pengetahuan dengan mengucap syukur, terima kasih, dan memohonan tuntunan ilmu pengetahuan untuk bekal hidup.

Patung Dewi Saraswati (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)

Cerita Watugunung ini sarat akan makna bahwa mampu memerangi kebodohan adalah awal dari turunnya ilmu pengetahuan. Segala ikatan-ikatan kebodohan atau sifat-sifat buruk Watugunung yang ada dalam diri harus dilepaskan. Kita juga harus belajar untuk memuliakan wanita sebagaimana layaknya memuliakan seorang ibu, karena ibu atau wanita adalah aspek dari penciptaan dan penyebab awal dari penciptaan itu sendiri.