Tradisi Mekepung: Kesenangan dan Keanggunan Balap Kerbau Tradisional di Bali
Tradisi merupakan kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus karena dianggap bermanfaat bagi sekelompok orang sehingga dilestarikan. Salah satunya adalah Tradisi Makepung yaitu permainan balap kerbau yang dilakukan oleh masyarakat petani di Provinsi Bali, khususnya di Kabupaten Jembrana. Tradisi ini telah diwariskan secara turun temurun dan masih dilestarikan hingga saat ini, sehingga tradisi ini semakin menyatu dalam kehidupan masyarakat. Pada artikel kali ini kita akan mengupas lebih dalam mengenai Tradisi Mekepung.
Mekepung adalah atraksi balapan kerbau yang berasal dari Kabupaten Jembrana, Bali. Kata "Mekepung" sendiri berasal dari kata "mekepung-kepungan," yang artinya "berkejar-kejaran." Tradisi Mekepung ini merupakan perpaduan antara hiburan dan penghormatan terhadap peran penting kerbau dalam pertanian Bali. Tradisi Mekepung memiliki akar dalam tahapan-tahapan pengolahan sawah. Sebelum sawah dapat ditanami, tanah harus digemburkan hingga menjadi lumpur yang cocok untuk penanaman, proses ini dikenal dengan sebutan "membajak." Petani di Bali, terutama di Kabupaten Jembrana, biasanya menggunakan sapi atau kerbau untuk membantu dalam proses membajak ini. Kegiatan membajak sering dilakukan secara bergotong-royong, sehingga satu petak sawah bisa dibajak oleh beberapa pasang kerbau.
Tradisi Mekepung di Jembrana memiliki sejarah yang kaya, dimulai sejak tahun 1920-an. Pada masa itu, para penunggang bajak yang dikenal sebagai "sais" memainkan peran penting dalam acara Mekepung. Mereka tampil dengan pakaian khas yang mirip prajurit kerajaan, mengenakan destar, selendang, celana panjang, selempod, dan tidak mengenakan alas kaki. Selain penunggangnya, kerbau-kerbau yang berlomba juga dihias dengan sangat indah. Mereka mengenakan kain warna-warni dan gerondongan (gongseng besar) di leher mereka. Ketika kerbau-kerbau ini berjalan dan menarik lampit, bunyi yang dihasilkan seperti alunan musik, menciptakan suasana yang sangat khas.
Tradisi Mekepung (Sumber Foto: Koleksi Redaksi)
Tetapi dikarenakan setiap selesai mekepung, tubuh para penunggang “sais” selalu kotor berlumuran lumpur, maka pada tahun 1960 tempat penyelenggaraan mekepung pun bergeser ke jalan kering yang berada di sekitar sawah. Saat itu dua organisasi mekepung dibentuk, yaitu “Regu Ijo Gading Timur” dengan bendera berwarna merah yang meliputi daerah Banyubiru, Kaliakah, Tegal Badeng, Moding, Pala Sari, Melaya sampai dengan Gilimanuk dan “Regu Ijo Gading Barat” dengan bendera berwarna hijau yang meliputi daerah Mendoyo, Poh Santen, Tegal Cangkring, Penyaringan, Yeh Embang, Yeh Sumbul dan Yeh Leh. Organisasi ini memberikan struktur dan aturan bagi pelaksanaan Mekepung, serta menciptakan kompetisi yang sehat antara daerah-daerah yang berpartisipasi dalam tradisi ini.
Lintasan Mekepung memiliki bentuk seperti huruf "U" yang panjangnya sekitar 2-3 kilometer. Hal yang unik adalah bahwa garis start juga merupakan garis finish, sehingga para penunggang "sais" dan kerbau mereka harus melakukan perjalanan pulang pergi di lintasan yang sama. Pada titik ini biasanya para penunggang “sais” akan memukul pasangan kerbau dengan keras agar bisa berlari secepat mungkin dan memenangkan perlombaan.
Tradisi Mekepung (Sumber Foto: Koleksi Redaksi)
Penentuan pemenang dalam Mekepung tidak hanya didasarkan pada pasangan kerbau mana yang mencapai garis finish terlebih dahulu. Hal yang menarik adalah bahwa pemenang juga ditentukan oleh jarak dan kecepatan relatif antar peserta. Seorang peserta akan dianggap pemenang jika dia mencapai garis finish terlebih dahulu dan dapat menjaga jarak 10 meter dari peserta di belakangnya. Ini menciptakan elemen strategi yang menarik dalam perlombaan, karena peserta harus memutuskan kapan waktu yang tepat untuk mempercepat dan menjaga jarak dari peserta lain.
Namun, jika peserta di belakangnya berhasil memperkecil jarak menjadi kurang dari 10 meter, maka peserta di belakang tersebut yang akan keluar sebagai pemenang. Aturan ini memberikan peluang bagi peserta yang lebih lambat untuk mengejar peserta yang berada di depannya dan membuat perlombaan menjadi lebih dinamis.
Tradisi Mekepung (Sumber Foto: Koleksi Redaksi)
Bagi masyarakat Jembrana, Mekepung bukan sekadar balapan kerbau biasa. Tradisi ini memiliki makna yang dalam. Mekepung dianggap sebagai bentuk rasa syukur kepada Sang Hyang Widhi Wasa karena hasil panen yang melimpah. Mekepung juga menjadi ajang untuk mempererat persaudaraan antarwarga dan menunjukkan kegigihan serta semangat pantang menyerah. Pelaksanaan lomba Mekepung juga diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap sektor lain seperti pertanian dan peternakan, karena dengan adanya tradisi mekepung terbukti mampu mencegah terjadinya alih fungsi lahan pertanian.
Dengan melestarikan dan mengembangkan Tradisi Mekepung, mendapatkan manfaat dalam hal pariwisata, ekonomi, dan pelestarian budaya. Dalam setiap balapan Mekepung, kita dapat melihat kerbau yang bekerja keras dihormati dan dirayakan. Tradisi ini adalah contoh nyata bagaimana warisan budaya dapat menjadi daya tarik wisata yang kuat dan memberikan kontribusi yang signifikan bagi perkembangan wilayah dan negara. Dengan demikian, Mekepung adalah contoh sempurna dari bagaimana tradisi budaya dapat dijaga dan dihargai sambil mendukung pertumbuhan ekonomi lokal.