Kreteg Tua Sibanggede: Misteri Jembatan Kuno yang Berusia Ratusan Tahun
Jembatan kuno di Sibang Gede, yang dikenal sebagai kreteg tua, telah berdiri sejak tahun 1749 dan menjadi jembatan penting yang menghubungkan Desa Sibanggede dengan Desa Darmasaba di Kecamatan Abiansemal, Badung. Meskipun letaknya yang tidak dekat dengan jalan besar atau jalan raya, namun jembatan ini tetap digunakan sebagai akses utama bagi masyarakat setempat dalam kegiatan sehari-harinya.
Di Bali, beberapa tempat dikenal memiliki nuansa mistis, dan kerap dikaitkan dengan kisah tentang “penunggu” atau entitas gaib yang diyakini menjaga area tersebut. Salah satu lokasi yang menarik perhatian adalah jembatan tua atau biasa disebut “Kreteg Tua Sibanggede” yang menghubungkan Desa Sibanggede dan Desa Darmasaba di Kecamatan Abiansemal, Badung. Penduduk setempat tidak mengetahui pasti kapan jembatan tersebut dibangun atau siapa pembuatnya. Hanya satu hal yang pasti yaitu jembatan itu terbuat dari batu padas tanpa perekat semen atau tanah, tetapi tetap bisa berdiri kokoh hingga kini. Batu padas adalah batu vulkanik yang terbentuk dari proses sedimentasi dan pelapukan, sehingga menghasilkan batu dengan tekstur berpori yang mudah dipahat. Karena karakteristiknya ini, batu padas banyak digunakan dalam konstruksi bangunan tradisional di Bali.
Uniknya, jembatan ini dianggap memiliki kekuatan yang tidak biasa karena kemampuannya bertahan selama ratusan tahun. Seolah dipertahankan oleh kekuatan gaib atau keajaiban, jembatan ini masih menjadi jalur utama bagi masyarakat sekitar dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Tak hanya sekadar menjadi akses fisik, jembatan ini juga menimbulkan rasa hormat dan kepercayaan dari warga setempat, yang terkadang mengaitkannya dengan cerita leluhur atau kekuatan spiritual yang dipercayai menjaga struktur bangunan dari kerusakan alami.
Kondisi Terkini Jembatan Tua Sibanggede (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)
Cerita sejarah jembatan ini terkait dengan dua tokoh, I Gusti Agung Kamasan Sakti III dan I Gusti Agung Mambal Sakti III, yang tergerak untuk membangun jembatan ini demi memudahkan mobilitas warga yang sebelumnya harus menyeberangi sungai. Menurut cerita yang beredar di masyarakat, pembangunan jembatan ini melibatkan pemanfaatan kekuatan niskala, di mana batu padas yang digunakan dibawa dengan bantuan makhluk halus. Prosesnya meliputi pengumpulan batu padas besar yang dipotong dan direkatkan menggunakan tanah merah. Jembatan yang memiliki panjang kurang lebih 30 meter, lebar 6 meter, dan tinggi 20 meter ini, dibangun dengan metode yang menyesuaikan kontur tebing dan kedalaman sungai di bawahnya yang mencapai 8,5 meter.
Pembangunan jembatan dimulai dengan pemotongan batu padas besar yang direkatkan menggunakan tanah merah. Konsep konstruksinya dirancang dengan batu padas yang disusun ke sisi tebing utara dan selatan serta menjorok ke tengah sungai untuk meningkatkan kekuatan. Bagian teratas jembatan, yang menghubungkan sisi Desa Darmasaba dan Desa Sibanggede, merupakan menjadi bagian yang paling menantang karena berada langsung di atas sungai tanpa dukungan batu padas di bawahnya dan keterbatasan teknologi pada saat itu. Tumpukan batu padas di puncak jembatan dibuat dalam beberapa lapis untuk menahan beban berat yang akan melintasi jembatan tersebut nantinya,
Konon ketika meminta bantuan para warga untuk membangun jembatan ini, I Gusti Agung Kamasan Sakti III, bersama I Gusti Agung Mambal Sakti III, ada beberapa warga yang tidak bisa ikut membantu membuat jembatan tersebut karena alasan sakit. Sebagai seorang pemimpin dengan kesaktiannya kala itu, I Gusti Agung Kamasan Sakti III, bersama I Gusti Agung Mambal Sakti III bahkan menguji kebenaran alasan sakit salah satu warga tersebut dengan cara memindahkan penyakit bisul warga tersebut ke dirinya, bila beliau benar merasa sakit di tubuhnya, berarti warga tersebut tidak berbohong dan izin untuk tidak ikut membangun jembatan direstui.
Pelinggih Disekitaran Jembatan Tua Sibanggede (Sumber Foto: Koleksi Pribadi)
Setelah jembatan selesai dibangun, prasasti yang ditulis dalam aksara Bali diukir di sebuah gua di sisi Sibang Gede. Terdapat dua tulisan di sisi utara dan selatan gua, serta sebuah pelinggih di area tersebut. Hingga kini, warga masih melakukan sembahyang di tempat itu dan mempersembahkan sesajen setiap kali melintas di kreteg tua.
Sekarang jembatan ini sudah memperlihatkan kondisi yang sudah cukup buruk mengingat usia dari jembatan kreteg tua ini sudah berusia ratusan tahun. Bentuk jembatan yang mulai mengikis dan menunjukkan adanya lubang besar di tengahnya, menandakan bahwa struktur bersejarah ini mengalami kerusakan akibat waktu. Bagian yang mengalami erosi menyebabkan lubang besar dan ditumbuhi semak belukar. Pengguna jalan sering kali harus bergantian untuk melintas dengan hati-hati, mengingat bagian yang rusak dapat berbahaya. Peninggalan dari era Kerajaan Mengwi ini terkesan dibiarkan tanpa perawatan dan dibiarkan habis dimakan zaman.