Lantunan Harmoni Prosesi Sumping Keladi: Rangkaian Upacara di Pura Desa Lan Puseh Desa Adat Mengwitani

Memasuki bulan Oktober yang lalu, krama Desa Adat Mengwitani menggelar rangkaian upacara suci Ngenteg Linggih, Ngusabha Desa Lan Mepahayu Nini yang diselenggarakan di Pura Desa Lan Puseh Desa Adat Mengwitani. Di antara rangkaian upacara tersebut, terdapat prosesi Mesumping Keladi – sebuah upacara sakral yang diiringi lantunan nyanyian suci. Nyanyian ini mengandung makna mendalam sebagai sarana penyucian dan persiapan segala bebantenan serta sarana upacara yang akan digunakan. Setiap bait yang dilantunkan merangkai kata-kata indah melalui basita paribasa, menghadirkan pesan dan amanat yang menyentuh relung spiritual para krama desa.

Jan 25, 2025 - 11:00
Jan 14, 2025 - 16:34
Lantunan Harmoni Prosesi Sumping Keladi: Rangkaian Upacara di Pura Desa Lan Puseh Desa Adat Mengwitani
Prosesi Mesumping Keladi

Pura Desa Lan Puseh Desa Adat Mengwitani berdiri dengan megah di Desa Adat Mengwitani, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung, Provinsi Bali. Berlokasi strategis hanya 10 menit dari Terminal Mengwi, pura ini mudah dijangkau karena posisinya yang tepat di tepi jalan raya. Keagungan arsitektur khas Bali yang melekat pada pura ini menjadi pemandangan yang mencolok bagi setiap mata yang melintas di jalan raya Mengwi.

Memasuki bulan Oktober yang lalu, tempat suci ini menggelar karya agung berupa rangkaian upacara Nganteg Linggih, Ngusabha Desa Lan Mepahayu Nini. Dalam untaian prosesi yang sakral tersebut, terdapat sebuah ritual khusus yang disebut Mesumping Keladi. Ritual ini menghadirkan dimensi spiritual melalui lantunan nyanyian suci atau yang dalam bahasa Bali dikenal sebagai "tembang" atau "gending". Nyanyian sakral yang dilantunkan ini bernama Mamanda, sebuah gending yang dirangkai dengan struktur yang terdiri dari tema, basita paribasa, dan amanat. Adapun lirik dari gending Mamanda tersebut adalah sebagai berikut. "Nyampat macaniga, mabanten sumping kaladi, Ane nyampat dadi dewa, ane mabanten dadi gusti, Menék-mének reké gusti ka beringin, Tuun-tuun reké gusti kajantaka, Bintang siang reké gusti tumbuh kangin, Kasumbané reké gusti tarik mabunga, Nyai daha apang tangar kayeh kangin, Tarunané reké gusti masang guna, Guna napi reké gusti pasang dané, Guna pulet reké gusti mapuliket, Nyén teka uli kaja mabunga pucuk gading, Ija bakatanga di puseh kaja kangin, Anak luas reké gusti pangélingin, Suba teka reké gusti tani sapa, Baang buah baang basé tani tampi, Anak ngutang adem duduka kin i nyoman, Teka nang kakawa ngaba céngklong kadungklang-dungkling."

Tema yang mengalir dalam tradisi gending Mamanda adalah kesucian – sebuah aspek fundamental yang harus dijaga dengan penuh kebijaksanaan dalam kehidupan bermasyarakat. Karya sastra dalam bentuk nyanyian ini membawa pesan yang begitu mendalam, sebagaimana tercermin dalam liriknya "Nyampat macaniga, mabanten sumping kaladi, Ane nyampat dadi dewa, ane mabanten dadi gusti, Bintang siang reké gusti tumbuh kangin, Nyai daha apang tangar kayeh kangin, Nyén teka uli kaja mabunga pucuk gading, Ija bakatanga di puseh kaja kangin."

Dalam untaian kata-kata tersebut, tersirat makna yang mengajarkan betapa vitalnya menjaga kesucian dalam pelaksanaan upacara, terlebih dalam karya agung yang berskala besar. Lirik ini dengan indah menggambarkan konsep kesucian yang termanifestasi melalui dua aspek: pembersihan areal dan pembersihan diri. Hal ini menegaskan bahwa kesucian bukan hanya tentang menjaga kemurnian diri sendiri, tetapi juga mencakup pemeliharaan kesucian areal pura.

Gending Mamanda merupakan pengingat sakral bagi umat manusia untuk senantiasa memelihara kesucian dalam setiap aspek kehidupan. Kesucian, sebagai nilai yang sangat halus dan mendalam, menjadi cermin yang memantulkan perkembangan spiritual seseorang, sekaligus menjadi penanda keselarasan antara pemahaman dan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari sebagai manusia.

Bebek Putih Dalam Padudusan (Sumber Foto: Koleksi Penulis)

Dalam prosesi padudusan, bebek putih memiliki peran yang sangat sakral sebagai lambang pembersihan dari segala kekotoran duniawi. Dipilihnya bebek putih ini bukan tanpa makna, melainkan karena sifat alaminya yang mampu membedakan antara yang kotor dan yang bersih. Dalam ritual yang sarat makna ini, orang yang memegang bertugas memberi makan sang bebek dengan beras manca warna – beras lima warna yang melambangkan empat arah mata angin dan titik pusat. Bebek putih ini dipercaya memiliki kemampuan untuk membebaskan kekotoran di arah atas dari bangunan dan banten.

Bersamaan dengan itu, seekor ayam grungsang turut mengambil peran penting dalam prosesi ini. Dengan cara yang serupa, ayam ini diberikan beras manca warna dan dilambangkan sebagai pembebas kekotoran di arah bawah. Keselarasan antara fungsi bebek putih dan ayam grungsang ini mencerminkan konsep keseimbangan dalam upacara padudusan.

Padudusan sendiri merupakan manifestasi yadnya yang bertujuan membangkitkan kesadaran akan kesatuan alam semesta, baik dalam dimensi sekala maupun niskala. Upacara padudusan tidak hanya berperan dalam mendekatkan diri kepada Ida Sang Hyang Widhi, tetapi juga memperkuat ikatan persaudaraan dan menjaga kelestarian alam – sebuah perwujudan nyata dari filosofi Tri Hita Karana.

Dalam pelaksanaannya, upacara ini memiliki dua fungsi utama: sebagai sarana penyucian dan pendalaman sraddha, yang diwujudkan melalui berbagai bentuk banten. Banten penyucian terdiri dari byakaonan, tebasan durmanggala, dan banten tebasan prayascita. Sementara itu, banten daksina dan banten sesayut berperan sebagai banten perwujudan. Kedua jenis banten perwujudan ini menjadi elemen yang tak terpisahkan dalam hampir setiap upacara yajna umat Hindu. Bahkan, dalam lontar Parimbon Bebantenan ditegaskan bahwa sebuah upacara tidak akan mencapai kesempurnaan tanpa kehadiran daksina, yang dikenal pula sebagai Yajna Patni.

Sulinggih Sebagai Pamuput Karya (Sumber Foto: Koleksi Penulis)

Rangkaian upacara yang penuh makna ini berada di bawah pimpinan Sang Sadaka atau seorang Sulinggih, yang telah mendapat kepercayaan suci dari Yajamana Karya untuk muput (menyelesaikan) rangkaian upacara. Sebagai pelaksana yadnya, Yajamana Karya menaruh keyakinan penuh kepada Sulinggih yang telah melalui proses penyucian sakral berupa Dwijati dan Padiksaan. Proses penyucian ini memberikan wewenang khusus kepada Sulinggih untuk memimpin berbagai tingkatan upacara yadnya.

Dalam setiap pemujaan yang dilaksanakan, Siwa sebagai manifestasi tertinggi dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa senantiasa dihadirkan. Siwakrana hadir sebagai saksi suci yang mengawasi kesucian dan kebenaran setiap prosesi upacara yang dilaksanakan. Di Pura Desa lan Puseh Desa Adat Mengwitani, Sulinggih ini memimpin jalannya prosesi sakral Memben dan Mesumping Keladi dengan penuh kekhusyukan dan kekhidmatan.

Pemangku Dalam Prosesi Mesumping Keladi (Sumber Foto: Koleksi Penulis)

Selain Sulinggih, para pemangku memegang peranan vital dalam menjaga kesakralan dan kelancaran seluruh rangkaian upacara. Setiap pemangku mengemban tugas dan tanggung jawab yang telah digariskan sesuai dengan kewenangannya masing-masing. Tugas-tugas suci ini mencakup mengantarkan persembahan upacara, mempersiapkan segala sarana dan prasarana yang diperlukan dalam yadnya, serta mengawal prosesi dari awal hingga berakhirnya rangkaian upacara di pura.

Di samping itu, para pemangku juga bertugas memimpin persembahyangan pada saat-saat tertentu yang tidak dipimpin oleh Sulinggih. Yang tak kalah pentingnya, mereka bertanggung jawab dalam menjaga kesucian areal pura dari segala bentuk cemer (kekotoran) yang dapat mengganggu kesucian tempat suci tersebut. Dalam tradisi Hindu Bali, pemangku juga berperan sebagai penghubung antara krama desa dengan alam niskala, memastikan keharmonisan antara alam sekala dan niskala tetap terjaga.

Para pemangku ini telah melalui proses pawintenan khusus yang memberikan mereka wewenang untuk menjalankan tugas-tugas suci tersebut. Dedikasi dan pengabdian mereka dalam menjaga kesucian dan kelancaran upacara merupakan wujud nyata bakti kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sekaligus pelayanan kepada masyarakat dalam konteks dharma agama dan dharma negara.