Mapepada: Ritual Penghormatan dan Pemuliaan Roh Hewan dalam Tradisi Yadnya untuk Menghindari Himsa Karma
Dalam konteks ini, Mapepada berfungsi sebagai bentuk penghormatan dan pengabdian, yang bertujuan untuk memastikan bahwa tindakan tersebut dilakukan dengan penuh kesadaran dan niat baik. Dengan demikian, ritual ini membantu menghindarkan pelaksana dari himsa karma, atau karma negatif, yang mungkin timbul dari tindakan yang tidak selaras dengan prinsip-prinsip spiritual. Melalui Mapepada, pengorbanan hewan dalam yadnya menjadi sarana untuk mencapai keseimbangan dan harmoni dalam hubungan antara manusia, alam, dan yang ilahi.
Pada Hari Anggara Pon Wuku Warigadean, tanggal 3 September 2024, di Pura Desa Puseh, Desa Adat Mengwitani diselenggarakan ritual Mapepada Caru Alit sebagai bagian dari rangkaian persiapan Karya Agung Ngenteg Linggih, Ngusabha Desa, dan Mapahayu Nini. Ritual Mapepada Caru Alit ini merupakan salah satu dari dua prosesi mapepada yang diadakan dalam rangkaian karya agung tersebut. Prosesi kedua, yaitu Mapepada Tawur (Caru Besar), akan dilaksanakan pada 2 Oktober 2024. Caru Alit dan Tawur (Caru Besar) adalah dua bentuk upacara dalam rangkaian bhuta yadnya mecaru, yang berbeda dalam skala dan tingkatannya. Meskipun keduanya memiliki ukuran dan intensitas yang berbeda, esensi dari upacara mapepada tetaplah sama untuk keduanya.
Mapepada merupakan sebuah upacara suci dalam tradisi Hindu Bali yang menyatukan makna mendalam dari penyucian hewan sebagai bagian dari Bhuta Yadnya. Secara etimologis, "Mapepada" berasal dari bahasa Bali, di mana "pada" dapat diterjemahkan sebagai "sama" atau "kaki". Dalam konteks ini, "pada" mencerminkan prinsip penyamaan atau penyeimbangan roh hewan, menjadikannya sebagai bagian yang harmonis dan selaras dalam upacara keagamaan.
Mapepada adalah upacara yang melibatkan penyucian dan pemurnian roh hewan yang akan digunakan dalam upacara Bhuta Yadnya. Tujuan utamanya adalah untuk mengangkat derajat roh hewan, sehingga setelah kematian, roh tersebut tidak kembali ke bentuk hewan dalam reinkarnasi berikutnya. Ini mencerminkan keyakinan bahwa setiap makhluk hidup memiliki potensi spiritual yang dapat ditingkatkan melalui ritual yang sesuai.
Filosofi di balik Mapepada adalah manifestasi dari prinsip-prinsip keseimbangan dan harmoni yang mendasari ajaran Hindu Bali. Ritual ini tidak hanya berfungsi untuk menyucikan hewan yang akan dikorbankan, tetapi juga sebagai perwujudan dari penghormatan terhadap siklus kehidupan dan kematian. Dalam tradisi Bali, upacara ini dianggap sebagai cara untuk menjaga hubungan yang harmonis antara manusia, makhluk hidup, dan kekuatan spiritual.
Prosesi Menuntun Hewan Mengitari tempat Upacara sebanyak 3 kali
Selama Mapepada, hewan yang akan dikorbankan seperti: ayam, bebek, dan asu (anjing) bang bungkem, dituntun untuk mengitari tempat upacara sebanyak tiga kali. Ini dikenal sebagai Murwa Daksina, yang berarti bergerak menuju tingkat yang lebih tinggi atau arah spiritual yang lebih baik. Ritual ini simbolik untuk proses transendensi, di mana hewan diberi kesempatan untuk mengalami kenaikan spiritual sebelum kontribusinya dalam upacara.
Mapepada Caru Alit dilaksanakan untuk mempersiapkan hewan-hewan yang akan digunakan dalam upacara sakral Nyengker Setra, Ngingsah, serta Caru ring Catus Pada dan Penangun Desa. Ritual ini merupakan langkah persiapan yang sangat penting, memastikan bahwa hewan-hewan tersebut siap secara spiritual dan ritual untuk pelaksanaan upacara yang akan datang. Dengan melaksanakan Mapepada Caru Alit, masyarakat memastikan bahwa hewan-hewan tersebut dihormati dan dimurnikan dengan benar, sejalan dengan makna spiritual dari upacara yang akan dilaksanakan dan berkontribusi pada keharmonisan serta kesucian proses ritual secara keseluruhan.
Ritual Mapepada adalah manifestasi dari keyakinan bahwa pengorbanan hewan dalam yadnya tidak hanya sekadar tindakan fisik, melainkan juga sebuah upaya untuk memuliakan jiwa atau roh hewan tersebut. Dalam konteks ini, Mapepada berfungsi sebagai bentuk penghormatan dan pengabdian, yang bertujuan untuk memastikan bahwa tindakan tersebut dilakukan dengan penuh kesadaran dan niat baik. Dengan demikian, ritual ini membantu menghindarkan pelaksana dari himsa karma, atau karma negatif, yang mungkin timbul dari tindakan yang tidak selaras dengan prinsip-prinsip spiritual. Melalui Mapepada, pengorbanan hewan dalam yadnya menjadi sarana untuk mencapai keseimbangan dan harmoni dalam hubungan antara manusia, alam, dan yang ilahi.