Mitos Desa Bengkala Warganya Bisu Tuli Karena Kutukan

Pesona wisata Bali selalu saja membuat wisatawan betah untuk berwisata berkali-kali. Tidak hanya memiliki pantai dan pura yang eksotis, Bali juga menyimpan banyak desa yang memiliki keunikan. Seperti Desa Bengkala di Bali Utara misalnya. Di sini, cerita-cerita tentang kutukan yang membuat warganya bisu dan tuli telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.

Oct 19, 2023 - 06:38
Oct 12, 2023 - 14:56
Mitos Desa Bengkala Warganya Bisu Tuli Karena Kutukan
Tugu Selamat Datang di Desa Bengkala (Sumber : Koleksi Pribadi)

Desa Bengkala merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Kubutambahan, Kabupaten Buleleng. Desa Bengkala ini berjarak sekitar 15,6 kilometer dari pusat kota Singaraja dan kurang lebih berjarak 100 kilometer dari Kota Denpasar. Desa ini memiliki Sejarah serta keunikan yang mungkin sukar ditemukan di daerah lain.

Desa Bengkala kerap disebut sebagai Desa istimewa karena memiliki komunitas tuna rungu wicara (tuli dan bisu) yang cukup besar. Sekitar 2% dari jumlah keseluruhan penduduk Desa Bengkala, lahir dalam keadaan kolok atau tuli dan bisu. Desa Bengkala ini sering disebut juga sebagai Desa Kolok. Desa Bengkala juga memiliki sekolah luar biasa sebagai sekolah khusus mengajarkan Bahasa isyarat yang digunakan di Desa Bengkala. 

Namun, sebelum kita menyelidiki lebih lanjut kisah kolok di Bengkala, ada beberapa asal usul nama desa Bengkala yang dipercayai oleh warga desa Bengkala, salah satunya yaitu, dipercayai dahulu Masyarakat Bengkala itu selalu nomaden alias berpindah-pindah. Mereka merupakan penduduk pendatang. Lalu kemudian mereka menetap di Bengkala, dan bertetangga dengan Desa Batu Pimula yang saat ini dikenal dengan desa Bila. Konon katanya leluhur desa Bengkala kerap diajak adu babi oleh desa Bila. Pada saat diajak adu babi, Masyarakat dari desa Bila atau Batu Pimula mengeluarkan bangkal atau induk babi. Kemudian pihak Bengkala bersiasat membawa anak babi, lalu Ketika diadu anak babi (kucit) itu langsung mencari induk babi (bangkal) dan hendak menyusu. Sehingga larilah bangkal itu hingga desa ini diberi nama Bangkala, yang menggambarkan peristiwa tersebut.

Ada juga versi lain yang mengatakan bahwa nama Bengkala berasal dari kata 'Bang' dan 'Kala'. 'Bang' berarti merah, dan 'Kala' berarti waktu. Menurut cerita para tetua, ada penjarah dari luar Bali yang datang ke Bengkala dan bertanya kepada penduduk setempat, tetapi tidak mendapatkan jawaban karena bahasa yang tidak dimengerti. Kemungkinan besar penjarah ini memiliki postur tinggi, sehingga warga setempat mengutuknya, dan desa ini pun diberi nama Bang Kala, karena kedatangannya saat matahari merah terbenam di ufuk barat, sesuai dengan mitologi setempat.

Sebagai simbol dari peristiwa ini, di Desa Bengkala terdapat Palinggih Ratu Bawi di Pura Puseh. Palinggih ini digunakan dalam upacara Nedeh, dan meskipun awalnya dikenal sebagai Arca Nandi yang melambangkan Siwa, bentuknya mirip dengan babi. Oleh karena itu, orang-orang yang memiliki ternak babi sering mendatangi Palinggih Ratu Bawi untuk memberikan sesajen agar ternak mereka tetap sehat.

 

Suasana Desa Bengkala (Sumber : Koleksi ribadi)

Terkait dengan Masyarakatnya yang mayoritas bisu dan tuli tentunya menimbulkan pertanyaan tersendiri mengapa itu bisa terjadi. Ternyata, ada mitos yang berkembang menjadi cerita rakyat yang melibatkan kutukan dari Sri Maharaja Jayapangus sebagai akibat dari warga Bengkala yang menolak membayar berbagai jenis pajak kepada pihak kerajaan. Penolakan ini kemudian menyebabkan perlawanan berupa mogok bicara dan mogok bekerja.

Namun, ketika kita membahas keberadaan warga kolok di Bengkala, kita juga harus merujuk pada Prasasti Bengkala yang tahunnya pasti tidak diketahui. Prasasti ini mengungkapkan bahwa masyarakat Desa Bengkala diperlakukan tidak adil oleh petugas pemungut pajak dari pihak kerajaan di Indrapura. Mereka diwajibkan membayar 27 jenis pajak, dan sikap sewenang-wenang para pemungut pajak ini membuat masyarakat Bengkala memberontak. Mereka menolak bicara, bekerja, dan bahkan mengabaikan perintah Maharaja Jayapangus. Sebagai akibatnya, mereka dikutuk menjadi kolok (bisu-tuli) selama seribu tahun.

Apakah kutukan dari Maharaja Jayapangus benar-benar yang membuat sebagian besar masyarakat Bengkala menjadi kolok? Masyarakat setempat mungkin tidak bisa memastikan hal ini. Selain sudut mitologi, keberadaan warga kolok di Bengkala juga telah diselidiki secara ilmiah. Penelitian medis yang dilakukan oleh John Hinan dari Universitas Archipelago, Amerika Serikat, pada tahun 1993, menunjukkan bahwa dari 200 sampel darah yang diambil dari masyarakat Bengkala, ada kemungkinan adanya keturunan kolok.

Penelitian lain pada tahun 1995 mengungkapkan bahwa kelainan pendengaran ini termasuk dalam kategori Congenital deafness, yaitu kelainan pendengaran yang ada sejak lahir. Penelitian lain pada tahun 1998 menyebutkan bahwa kelainan pendengaran yang dialami oleh warga kolok di Desa Bengkala adalah kelainan genetik.

Meski Desa Bengkala kerap dijadikan objek penelitian, sejauh ini warga masih tetap memercayai, kekolokan yang terjadi disebabkan oleh kutukan. Selama orang kolok masih ada di Desa Bengkala, warga percaya, kutukan itu belum hilang. Meski demikian, hal tersebut menjadi kelebihan bagi desa tersebut, warga kolok di Desa Bengkala mendapat perlakuan istimewa. Mereka tidak dikucilkan, justru posisinya tetap sejajar dengan warga dengan fisik normal lainnya. Warga penyandang disabilitas diberikan kebebasan untuk tidak ikut gotong-royong hingga kewajiban memberikan iuran untuk mendukung upacara keagamaan.

Tidak hanya mendapatkan perlakuan istimewa, Desa Bengkala juga memiliki kesenian tradisional yang sudah mendunia, yaitu Tari Janger Kolok. Semua penarinya adalah orang kolok alias bisu dan tuli. Pendirian janger kolok ini dikarenakan keunikan dari tarian janger, yaitu tarian yang diiringi nyanyian. Namun, dalam tarian Janger Kolok ini yang dinyanyikan tidak sama dengan nyanyian seperti janger biasanya, janger ini ditarikan hanya menggunakan bahasa isyarat sebagai iringan. Hal itulah yang membedakan Tari Janger biasanya dengan Tari Janger Kolok yang dibawakan oleh penyandang disabilitas dari Desa Bengkala. 

Tugu Desa Bengkala  (Sumber : Koleksi Pribadi)

Jadi, masalah pendengaran ini memiliki dasar genetik. Meskipun suami dan istri normal, anak mereka masih bisa lahir dengan kelainan pendengaran. Atau orang tua yang memiliki kelainan pendengaran juga bisa memiliki anak tanpa kelainan tersebut. Namun disamping itu, masyarakat desa Bengkala sampai saat ini masih mempercayai kutukan dari Sri Maharaja Jayapangus.